Merujuk pada ‘Ulamā’ min Ḥalab fī al-Qarn al-Rābi‘a ‘Àshar karya Muhammad Adnan, Syekh Muhammad Najib bin Muhammad bin Yusuf Sirajuddin al-Husaini merupakan ulama alim yang masyhur di Aleppo (حلب) Syria. Beliau yang lahir pada tahun 1274 H dan wafat pada tahun 1373 H. Terdidik dalam keluarga yang sangat taat beribadah, menjadikan beliau sebagai figur ulama yang dihormati di masanya.
Hampir seluruh hidupnya digunakan untuk mengajar dari satu masjid ke masjid lainnya, juga dari madrasah ke madrasah yang lain. Atas kesibukan beliau yang demikian ini membuat kita tidak mendapati karya-karya dari beliau yang terbukukan dan tercetak. Namun demikian, setiap kitab Tafsir, Hadis dan Fikih yang beliau baca dan beliau sampaikan dalam pengajian-pengajian terdapat coretan dan catatan-catatan dari beliau.
Dari kitab-kitab yang telah diberi catatan-catatan tersebut kemudian kita jumpai bagaimana kealiman beliau dalam menjelaskan. Hal ini dapat kita baca dari berbagai kitab yang disusun oleh putra beliau; Syekh Abdullah bin Muhammad Najib Sirajuddin (1342-1422 H.) yang mewarisi sanad ilmu dan kitab ayah beliau. Syekh Abdullah sendiri mempunyai putra dan diberi nama Muhammad Najib, tabarrukan pada ayah beliau. Syekh Muhammad Najib bin Abdullah bin Muhammad Najib Sirajuddin (w. 2020 M.) merupakan lulusan doktoral Al-Azhar di bidang Fikih Perbandingan tahun 1984 M.
Karomah Syekh Muhammad Najib Sirajuddin
Syekh Abdullah Sirajuddin dalam Ḥawla Tarjamah Faḍīlah Sayyidī al-Wālid al-Shaykh Muḥammad Najīb menceritakan Saat saya dan al-Wālid (yaitu Syekh Muhammad Najib bin Muhammad Sirajuddin) naik bus dalam suatu rombongan perjalanan haji (yang sebagian besar beliau tidak ketahui sesiapa saja orang dalam rombongan tersebut) dan di waktu sore di tengah perjalanan, al-Wālid berkata pada saya, “Abdullah, ambil ketelmu dan isi air untuk kita buat wudlu dan shalat Ashar sebelum kita kehabisan waktunya,” maka saya pun bilang ke supir untuk berhenti agar kami dapat mencari air dan shalat.
Namun kala itu supir tidak menghiraukan sebab ia ingin segera sampai ke tempat tujuan sebab ia ditarget untuk tidak banyak berhenti dan melewati batas waktu sehingga ia tidak mengindahkan permintaan Syekh Abdullah. Maka Syekh Abdullah pun menunggu sejenak, berharap si Supir akan berhenti beberapa menit lagi di suatu tempat untuk rehat sejenak.
Sampai datanglah waktu Ashar yang semakin mepet dan habis. Syekh Muhammad Najib berkata lantang pada sang anak, “Abdullah! isi ketelmu dengan air untuk wudlu agar bisa shalat…” Tidak sampai semenit dari teriakan Syekh Muhammad Najib, tiba-tiba supir diberi isyarat untuk berhenti oleh tiga orang berpakaian Polisi dari kejauhan.
Sesampai di depan polisi yang memberhentikan itu, si supir diminta untuk memperlihatkan dokumen perjalanan. Dokumen-dokumen perjalana itupun diberikan pada salah satu polisi, terlihat bahwa polisi itu tidak suka sehingga dokumen tersebut dilempar ke mukanya dan memintanya untuk turun dari bis.
Syekh Muhammad Najib berkata, “Ayo, isi ketelmu dengan air” dan kala itu Syekh Abdullah mendapati di dekat bis ada sumber air yang melimpah. Polisi-polisi yang ada kemudian meminta semua rombongan turun dari bis. Keadaan ini dimanfaatkan oleh rombongan untuk rehat, membersihkan diri, wudlu dan melaksanakan shalat. Maka Syekh Abdullah adzan dan mengajak semua rombongan shalat Ashar berjamaah.
Tidak hanya shalat berjamaah, Syekh Abdullah juga menceritakan bahwa selepas shalat Syekh Muhammad Najib yang menjadi Imam juga sempat mengajak para akmum membaca wirid ba’da shalat sampai tuntas. Baru kemudian para polisi meminta rombongan untuk masuk naik lagi ke Bus. Dan di saat semua rombongan sudah naik bis, terlihat bahwa tidak ada tanda-tanda di situ ada sumber air, tidak pula mobil patrol polisi yang tadinya terlihat. Semua hilang sekejab mata.
Sang supir segera menyelakan bis dan pergi dari tempat tersebut dengan cepat. Sepanjang perjalanan, ia bergumam dan merasa sial atas kejadian barusan. Dia berkata, “Entah apa tadi, surat-surat ini lengkap dan tidak ada yang salah, kok polisi tadi bentak-bentak saya dan menyalahkan saya, ini pertama kali saya selama nyupir mengalami kejadian seperti ini.”
Syekh Abdullah dan beberapa rombongan meyakini bahwa polisi tadi adalah para Malaikat. Jika supir tidak mau berhenti dengan sukarela untuk memenuhi permintaan Syekh Muhammad Najib yang ingin dapat air untuk shalat, maka ia dipaksa oleh keramat beliau. Al-Fātiḥah ilā Syekh Muhammad Najib qaddasa Allāh sirrahu.