Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Keteladanan Imam as-Suyuthi dalam menyikapi nasab

Avatar photo
49
×

Keteladanan Imam as-Suyuthi dalam menyikapi nasab

Share this article

Imam as-Suyuthi, cendekiawan muslim yang oleh Allah dianugerahi kemudahan untuk meraih ilmu sejak kecil, menekuni hampir semua bidang keilmuan. Ia hidup di lingkungan yang penuh dengan nuansa ilmiah bersama keluarganya. Anak yatim yang ditinggal oleh ayahanda sejak berusia lima tahun ini bernama lengkap Jalaludin Abdurrahman bin Abu Bakar As-Suyuthi. Nama yang sudah tidak asing lagi bagi para pelajar pesantren.

As-Suyuthi lahir pada tahun 849 H. ba’da Magrib, tepatnya pada malam Ahad di daerah as-Suyuth Kota Kairo Mesir. Alkisah, beliaulah yang dikenal sebagai seorang ulama yang lahir di antara kitab-kitab (baina al-kutub), sebab menjelang kelahirannya sang ibu diminta oleh ayahanda as-Suyuthi untuk mengambilkannya kitab di perpustakaan pribadinya, hingga akhirnya beliau dilahirkan di sana, di antara kitab-kitab perpustakaan ayahnya. Imam as-Suyuthi wafat pada tahun 911 H. [Biografi as-Suyuthi oleh Muhammad Hasan Ismail]

Beliau dianugerahi keahlian setidaknya dalam tujuh bidang keilmuan, mulai dari ilmu tafsir, hadis, fikih, ma’ani, bayan dan badi’. Selain itu beliau juga menekuni banyak bidang keilmuan yang lain, seperti Ushul al-Fiqh, Qawaid al-Fiqh, Jadal, Shorrof, Fara’id, Tashauf, Tarikh, akhlak hingga ilmu kedokteran. [Husnu al-Muhadharah fi Tarikhi Mishro wa Qahirah]

Dedikasinya dalam literatur keilmuan sangat menakjubkan. As-Suyuthi telah menulis sekitar 300 karya dari pelbagai rumpun keilmuan, bahkan menurut riwayat lain 600 karya. Di antara karyanya ada yang terkenal dan monuomental hingga saat ini. Seperti kitab al-Asybah wa an-Nadha’ir, karya beliau di bidang Qawa’id al-Fiqh. Tafsir Jalalain, al-Durr al-Mantsur fi Tafsiri bi al-Ma’tsur dan masih banyak karya beliau yang lain yang tak kalah populer.

Keteladanan as-Suyuti dalam Menyikapi Nasab

Selain ihwal keilmuan beliau yang sudah barang tentu sangat menakjubkan, ada hal lain dari kepribadian as-Suyuthi yang patut terbaca dan diteladani. Yaitu sikap beliau yang enggan mengandalkan kebagusan nasabnya dan prestasi kemuliaan leluhurnya.

As-Suyuti memang memiliki nasab yang bagus. Nasab keluarganya bersambung kepada keluarga Persia, yang pindah ke Mesir di distrik Khudairiyah, sebelah timur Baghdad, dan kemudian bermukim di daerah Al-Asyuth. Keterangan lain menyebutkan bahwa ayahnya berdarah Arab.

Adapun kakek buyut as-Suyuthi, Syaikh al-Himam adalah seorang pembesar tarekat di masanya. Sedangkan leluhur as-Suyuthi yang lainnya, kebanyakan berprofesi sebagai seorang hakim dan seorang pedagang. Dan ayahanda beliau, Syaikh Abu Bakr bin Muhammad sebagai seorang pengajar ilmu agama yang tersohor di daerahnya. [Husnu al-Muhadharah fi Tarikhi Mishro wa Qahirah]

Namun demikian, mulai proses belajar, menjadi ahli hingga menulis karya-karyanya beliau tidak pernah mengandalkan kemuliaan leluhurnya dan kebagusan nasabnya. Menjadi terkenal tidak karena leluhur. Menjadi mulia tidak dengan nasab. Padahal seandainya mau, bukan tidak bisa beliau menjual leluhurnya untuk harga popularitasnya, bisa saja bermodal kebagusan nasabnya untuk kelarisan karya-karyanya. Namun beliau enggan dengan kepribadian dan sikap yang kurang baik itu.

Sebagaimana yang beliau ungkapkan pada mukadimahnya dalam kitab al-Asybah wa al-Nadha’ir:

عَلَى اَنَّا لَا نَتَّكِلُ عَلَى الْأَحْسَابِ وَالْأَنْسَابِ وَلَا نَكِلُّ عَنْ طَلَبِ الْمَعَالِي بِالْإِكْتِسَابِ

“Namun sesungguhnya kami tidak sedang mengandalkan prestasi kemuliaan leluhur dan kebagusan nasab. Dan kami tidak pernah lelah untuk mencari kedudukan tinggi dengan usaha/kerja keras sendiri”.

Pernyataan beliau barusan dilanjutkan dengan syair indah yang sarat akan makna keteladanan:

لَسْنَا وَإِنْ كُنَّا ذَوِي حَسَبٍ   #    يَوْمًا عَلَى الْأَحْسَابِ نَتَّكِلُ

“kendati kami memiliki garis keturunan yang bagus dan mulia tetapi kami tidak mengandalkannya”

نَبْنِي كَمَا كَانَتْ أَوَائِلُنَا        #    تَبْنِي نَفْعَلُ مِثْلَ مَا فَعَلُوا

“kami berjuang menapak tilasi leluhur kami dan kami mengikuti jejak langkahnya”. [al-Asybah wa al-Nadha’ir: 25]

Kendati demikian, bukan berarti sama sekali boleh mengabaikan nasab. Karna di pelbagai keadaan, nasab menjadi penting dan harus diperhatikan. Dalam konteks fikih misalnya, standar nasab merupakan salah satu yang harus diperhatikan dalam urusan kafa’ah (kesetaraan antara pasangan suami istri). Bahkan boleh jadi bila standar nasab tidak diperhatikan dan dipenuhi dapat menyebabkan tidak absahnya akad nikah ijbar (nikah paksa oleh wali). Pun dalam konteks akhlak, budi pekerti, bukan hal yang salah menghormati keluarga atau keturunan sang guru, bahkan menjadi keharusan.

Jika sulit menemukan alasan untuk menghormati keluarga/keturunan insan-insan terhormat nan mulia, maka ungkapan yang mudah diterima mungkin begini: Hormati keluarga guru karena gurunya, hormati keluarga auliya’ karena leluhurnya. Begitu pun para habaib, durriyah insan agung nan sempurna, Muhammad Rasulullah Saw. Bahwa ada sebagian sikapnya yang kurang baik—secara lahiriah—boleh diingkari, tetapi tidak ada satu pun alasan untuk tidak menghormatinya sebagai garis keturunan Rasulullah.

Mengandalkan nasab, bermodalkan leluhur adalah kepribadian yang naif mungkin juga memalukan. Betapa pun Imam as-Suyuthi memiliki nasab yang bagus dan leluhur mulia, beliau cukup mensyukuri tetapi enggan mengandalkan itu semua. Namun, mengabaikan nasab dalam seluruh keadaan juga bukan sikap yang baik. Wallahu a’lam bi ash-sawab.

Kontributor

  • Syarif Hidayat

    Santri PP. Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo. Bertempat tinggal di pulau Sapudi, Sumenep, Jawa Timur. Sedang Berjuang Mengkaji Fikih dan Ushul Fikih