Beberapa waktu lalu ketika acara Istihlal dan Silaturahmi Santri alumni PP. Langitan, KH. Ubaidillah Faqih salah satu pengasuh menyampaikan satu cerita perihal keutamaan bersedekah dan berinfak untuk menghidupkan agama Allah. Beliau menyitir cerita dari Abu Dahdah al-Anshari (w. 6 H), salah seorang sahabat Anshar yang sering ikut berperang bersama Rasulullah.
Suatu ketika Abu Dahdah mendengar bahwa telah turun satu ayat yang menerangkan bahwa jika orang yang meminjami Allah dengan pinjaman yang baik, Allah akan membalas dengan balasan yang berlipat ganda. Lebih tepatnya ayat yang dimaksud adalah surat al-Baqarah ayat 245:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً
“Barangsiapa meminjami Allah dengan pinjaman yang baik maka Allah melipatgandakan ganti kepadanya dengan banyak.” (Al-Baqarah: 245)
Mendengar kabar tersebut, Abu Dahdah bergegas mendatangi Rasulullah untuk klarifikasi dan menanyakan perihal kebenaran ayat tersebut:
“Apakah benar wahai rasulullah, Allah hendak meminta pinjaman kepada kami?”
“Benar sekali wahai Abu Dahdah,” jawab Rasulullah.
Ia pun semakin bersemangat setelah mendengar jawaban dari Rasulullah.
“Lantas kalau demikian, mohon izin ulurkan kedua tanganmu, wahai Rasulullah.”
Abu Dahdah lantas memegang erat tangan mulia Rasulullah seraya berkata:
“Sungguh saya akan memberikan kebun kurmaku ini sebagai pinjaman untuk (agama) Allah, di mana di situ terdapat 600 pohon kurma produktif.”
Abu Dahdah tidak sedang bergurau dengan ucapannya tersebut. Rasulullah pun begitu mengapresiasi atas apa yang dikatakan oleh Abu Dahdah.
Setelah memberikan tersebut Abu Dahdah lantas bergegas berlari bersemangat menuju kebun kurma tersebut lalu memanggil istri dan anaknya yang juga tinggal disitu.
“Wahai istriku, keluarlah!” Panggil Abu Dahdah
Sang istri pun keluar.
“Seluruh isi kebun ini telah aku pinjamkan kepada Allah,” lanjutnya menjelaskan.
Ia pun segera mengeluarkan segala barang-barang miliknya. Semua perabot serta barang-barang pun ia pindahkan ke tempat lain. Ia benar-benar mengikhlaskan semua isi kebun kurma tersebut kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Allah. Sang istri pun, segera tahu maksud dari sang suami. Ia pun ikhlas memberikan semua properti yang ia punya untuk kepentingan Agama Allah.
“Semoga Allah memberkahi, atas apa yang engkau beli wahai suamiku.” Ucap sang istri kepada Abu Dahdah.
Melihat hal tersebut Rasulullah pun sangat kagum dan mengapresiasi keikhlasan dan totalitas pengorbanannya tersebut. Hingga beliau memuji Abu Dahdah:
كَمْ مِنْ عِذْقٍ رَدَاحٍ لِأَبِي الدَّحْدَاحِ فِي الْجَنَّةِ
Artinya: “Alangkah banyak tandan penuh kurma milik Abu Dahdah di surga.”
Rasulullah Saw. mengisyaratkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Abu Dahdah tidaklah sia-sia. Walaupun sekilas, Abu Dahdah telah kehilangan hektaran lahan kurma miliknya, namun Allah membalas dengan balasan yang jauh lebih layak dan banyak di surga, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah. Dan hal tersebut membuktikan memang pada dasarnya Allah tidak main-main dengan janji yang telah Allah firmankan dalam ayat diatas. Bahkan Allah juga membalas dengan balasan yang jauh berlipat ganda; Adh’âfan katsîrah.
Mengapa dengan redaksi meminjam?
Mungkin sebagian dari kita akan bertanya, mengapa Allah memilih menggunakan redaksi meminjam dalam ayat tersebut? Bukankah cukup semisal dengan menawarkan barangsiapa yang berinfak di jalan Allah, maka Allah akan membalas dengan balasan yang banyak. Tapi kenapa justru menggunakan redaksi meminjam, dimana hal tersebut merupakan hal yang mustahil dilakukan oleh Allah.
Tentu kesimpulannya tidak sesederhana itu. Di balik ayat tersebut pasti ada tujuan dan hikmah tersendiri yang tidak akan diketahui jika tidak berusaha memahami maksud dari ayat tersebut.
Berangkat dari pertanyaan skeptis tersebut pula, kaum Yahudi dahulu ketika mendengar ayat ini selalu meremehkan umat Islam dan Allah. Mereka berseloroh:
ان الله فقير ونحن أغنياء، فهو يطلب منا القرض
“Wah Allah itu fakir, sedangkan kita (Yahudi) lah yang kaya, toh itu buktinya Allah masih butuh pinjaman dari kita.” begitu mereka meremehkan.
Menurut Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya, redaksi qardh (meminjam/hutang) dalam ayat tersebut adalah hanya bersifat majaz atau kiasan semata. Hal tersebut karena berdasar tiga hal.
Pertama, biasanya hutang atau pinjaman hanya dilakukan oleh orang yang sangat membutuhkan dan hal tersebut tentu sangat mustahil bagi Dzat Allah.
Kedua, pada umumnya balasan dari hutang adalah sama dengan nilai yang dipinjam. Akan tetapi dalam ayat ini Allah akan melipatgandakan balasannya. Sehingga lebih tepat dikatakan itu bukan balasan, akan tetapi adalah hadiah yang luar biasa.
Ketiga, semua harta benda yang dimiliki oleh manusia pada dasarnya adalah milik Allah. Lantas bagaimana mungkin Allah meminjam harta yang memamg sebenarnya adalah milik-Nya sendiri.
Oleh sebab itu, maksud dan hikmah dari ayat tersebut adalah agar manusia benar-benar percaya dengan balasan atas sedekah tersebut. Ayat ini adalah bentuk penegasan Allah atas ketetapan-Nya. Semua harta benda yang telah diguanakan untuk berjuang di jalan Allah pasti akan ada balasannya. Sebagaimana hutang, dimana orang yang berhutang wajib untuk membayar hutangnya. Maka Allah pun juga pasti akan membalas infak-infak tersebut.
,والحكمة فيه على أنّ ذلك لا يضيع عند الله, فكما أنّ القرض يجب أداءه ولا يجوز الإخلال به فكذا الثواب الواجب على هذا الإنفاق واصل الى المكلف لا محالة
“Hikmah dari ayat di atas adalah bahwasannya Allah tidak akan menyia-nyiakan apapun yang telah dialokasikan untuk berjuang di jalan Allah. Sebagaimana hutang yang wajib untuk ditunaikan dan tidak boleh untuk diingkari. Begitupula balasan pahala atas infak-infak atas agama Allah yang sudah pasti akan sampai pada seseorang tersebut” [Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghoib, (Beirut: Darul Fikr) vol. 6 hal. 180]