Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah murid Abu Hanifah salah berfatwa dan mengoreksi kekeliruannya

Avatar photo
47
×

Kisah murid Abu Hanifah salah berfatwa dan mengoreksi kekeliruannya

Share this article

Suatu kali, Imam Hasan bin Ziyad dimintai fatwa tentang suatu permasalahan. Ia pun menjawab pertanyaan penanya sesuai dengan apa yang ia ilmui.

Namun setelah si penanya pergi, Hasan bin Ziyad merenung-renungkan kembali jawabannya. Ia sadar bahwa fatwanya salah. Ia ingin mengoreksi kembali fatwa tersebut, namun si penanya sudah pergi dan ia tidak mengenal siapa orangnya.

Apa yang kemudian dilakukan Hasan bin Ziyad? Di sini hebatnya.

Hasan bin Ziyad mengupahi seseorang untuk menyorakkan di tempat-tempat ramai: “Hasan bin Ziyad dimintai fatwa pada hari sekian, jam sekian tentang suatu permasalahan dan ia salah dalam memberikan fatwa. Orang yang merasa meminta fatwa pada Hasan bin Ziyad pada waktu itu datanglah kembali menemuinya.”

Berhari-hari itu disorakkan, dan selama itu pula Hasan bin Ziyad berhenti berfatwa. Sampai akhirnya ia bertemu kembali dengan si penanya dan menjelaskan bahwa fatwanya beberapa hari yang lalu adalah salah dan yang benar adalah begini.

Kisah ini adalah salah satu kisah yang sangat berkesan bagi saya pribadi tentang kehati-hatian dan takutnya seorang ulama dalam berfatwa.

Hasan bin Ziyad adalah murid langsung dari Imam Abu Hanifah. Kefakihannya tidak perlu diragukan lagi. Namun yang lebih hebat adalah bagaimana orang sealim itu berlapang hati mau mengoreksi diri ketika salah.

Terang-terangan ia “mempermalukan dirinya” dengan meminta orang untuk menyorakkan bahwa ia telah salah dalam berfatwa. Bahkan sampai berhari-hari lamanya dan ia bayar orang untuk itu.

Jika kita berada di posisi yang sama sanggupkah kita melakukan itu?

Dari sini kita dapat memahami mengapa ahli agama yang ingin tampil di masyarakat hendaknya sudah matang terlebih dahulu. Bukan hanya dari sisi keilmuan, tapi juga dari sisi ketakwaan. Dan itu menuntut proses yang panjang

Ahli agama yang sudah matang dalam dua sisi ini, selalu menyadari bahwa menjadi ulama rujukan sebagaimana memiliki pahala yang amat besar, juga membawa ancaman yang luar biasa jika tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Mengakui kesalahan di hadapan umum berpotensi menjatuhkan citra dan nama baiknya di mata penyanjungnya, atau bahkan dibuli habis-habisan oleh orang-orang yang tidak senang dengannya. Karirnya bisa meredup. Pandangan orang-orang yang selama ini mengelu-elukan bisa berubah seketika.

Bagi orang yang mencari penghidupan dari sanjungan orang lain, tentu ini hal yang amat menakutkan. Namun bagi orang yang telah memupuk dirinya dengan nilai-nilai ketakwaan, apalah arti semua itu dibandingkan dengan ancaman murka Allah saat ia salah menyampaikan ajaran agama-Nya. Pertanggungjawaban kepada Allah lebih menakutkan dibandingkan pertanggungjawaban kepada manusia.

Dan ini baru dalam persoalan fatwa personal yang mungkin mudaratnya tidak dirasakan di kehidupan dunia dan tidak dirasakan oleh orang banyak.

Lalu bagaimana dengan fatwa-fatwa instan dan serampangan yang disampaikan kepada banyak orang? Disiarkan live di berbagai media dan diabadikan hingga dikonsumsi oleh jutaan orang.

Bagaimana dengan orang-orang yang selama ini menyebarkan ajaran-ajaran sesat?

Bagaimana dengan orang-orang yang menyebarkan syubhat-syubhat yang membuat orang meragukan ajaran agama?

Bagaimana cara pertanggungjawabannya? Apakah cukup dengan minta maaf ke publik? Dari awal memangnya ada niat untuk minta maaf dan mengoreksi pendapatnya ke publik? Bagaimana dengan orang-orang yang sudah terlanjur membenarkan syubhat-syubhat itu?

Untuk urusan agama ini memang berat. Kalau bisa sebetulnya jangan memaksakan diri untuk tampil kalau memang belum menjadi ahli. Kalau sudah terpaksa tampil karena tuntutan keadaan, maka janganlah kita bicara di permasalahan yang belum dikuasai secara matang. Dan jika salah janganlah tunggu viral dulu untuk mengoreksi.

Nasihat untuk diri saya pribadi dan yang bernasib sama.

Kontributor

  • Khalilul Rahman

    Khalilur Rahman, Lc. Dipl. Mengenyam pendidikan Madrasah Sumatera Thawalib Parabek dan Universitas Al-Azhar.