Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah perpustakaan Ibnul Amid dibakar pria yang mengaku Imam Mahdi

Avatar photo
46
×

Kisah perpustakaan Ibnul Amid dibakar pria yang mengaku Imam Mahdi

Share this article

Dalam catatan sejarah, perpustakaan yang seharusnya menjadi warisan intelektual yang mesti dirawat eksistensinya seringkali mendapat musibah besar, yang kemudian mengakhiri perannya. Tak sekali dua kali, perpustakaan dari berbagai macam zaman hangus dan hancur.

Ada yang karena ulah manusia sendiri dengan membakar dan memusnahkannya, ada pula yang dikarenakan faktor-faktor lain, seperti bencana alam dan lain sebagainya. Di antara yang paling masyhur adalah kala pasukan Tartar menaklukkan kota Baghdad. Perpustakaan menjadi target utama dalam penaklukkannya.

Beberapa sejarawan mencatat, kejatuhan kota Baghdad dan perpustakaannya meninggalkan duka yang tak sedikit. Sungai Dajlah, yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat selama berbulan-bulan berubah warna menjadi hitam pekat; akibat saking banyaknya buku yang dibuang.

Hal tersebut, sekalipun merupakan musibah besar bagi sebuah peradaban. Akan tetapi di sisi lain juga merupakan kekayaan khazanah sejarah yang mesti didokumentasikan. Dengan harapan peradaban yang ada saat ini, dengan membaca khazanah tersebut tidak akan mengalami musibah yang serupa. Karena bagaimanapun, satu perpustakaan dalam suatu masa merupakan ikhtisar dari berbagai pemikiran yang ada pada peradaban tersebut.

Petaka pria yang mengaku Imam Mahdi

Di antara salah satu fragmen dalam catatan sejarah Islam tentang hangusnya perpustakaan adalah yang terjadi ketika zaman Dinasti Buwaihi (934-1062 M) pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah.

Dinasti Buwaihi merupakan pecahan kekuasaan Bani Abbasiyah yang mulai melemah. Dinasti Buwaihi merupakan satu dinasti berhaluan Syiah yang berpusat di kota Syiraz di awal-awal perjuangannya. Kemudian mulai menyebar hingga Baghdad dan Ray.

Menurut catatan Ibnul Jauzi dalam al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk, pada tahun 483 H, tepatnya pada bulan Jumadil Awal di Kota Bashrah, Irak kedatangan seorang pemuda tak dikenal. Ia mengaku bernama Talia.

Ia mendakwa dan mengenalkan dirinya sebagai orang yang mahir dalam urusan astrologi dan perbintangan. Dengan kamuflasenya itu ia menipu dan mengelabui banyak masyarakat. Ia juga mendaku sebagai Imam Mahdi. Sebuah pengakuan yang cukup menggemparkan kala itu.

Ia datang dengan gelagat yang aneh, dan tidak henti-hentinya memobilisasi masyarakat agar ikut doktrin yang dibawanya. Sekalipun sendirian ia tampak tidak gentar. Ia terus bergerilya dan memobilisasi masyarakat. Bahkan kemudian langkah-langkahnya sangat destruktif dan mulai bertindak radikal.

Ia mulai membuat kericuhan dengan membakar seluruh Kota Basrah. Bahkan perpustakaan yang menjadi pusat aktivitas intelektual masyarakat setempat tak luput dari serangan bengisnya. Lembaran kertas yang menumpuk dalam hitungan detik, beterbangan menjadi abu.

Ibnul Jauzi tidak menyebutkan secara pasti perpustakaan apa dan milik siapa yang dibakar. Akan tetapi kalau melihat latar tahun terjadinya kejadian ini, besar kemungkinan perpustakaan yang dimaksud adalah Perpustakaan milik Ibnul Amid (w. 970 M) yang merupakan seorang menteri dari Ruknud Daulah Abu Ali al-Hasan bin Buwaih yang tidak lain adalah deklarator dan pimpinan pertama Dinasti Buwaihi.

Kejadian itu sontak membuat seisi penduduk Bashrah panik dan dirundung kesedihan. Ketenangan kota yang telah dibangun sejak lama dihancurkan seketika oleh pria baru yang tak dikenal. Bashah saat itu tidak hanya kehilangan bangunan-bangunan kota, melainkan juga warisan peradaban penting dan paling berharga.

Ibnul Amid, sosok pecinta buku

Ibnul Amid, sang pemilik perpustakaan dikenal sebagai sosok politikus sekaligus sastrawan. Dalam ranah birokrasi, ia menjabat sebagai menteri dari Ruknud Daulah Abu Ali al-Hasan bin Buwaih.

Karir kesusastraannya dikenal berbagai kalangan. Oleh beberapa aktivis sastra ia bahkan disemati gelar “Al-Jahiz yang Kedua”. Tak lain karena kepiawaiannya dalam menorehkan syair.

Di sela-sela aktivitas politiknya ia juga dikenal sangat peduli dengan dunia perbukuan. Ia sadar pada zaman itu, tidak semua orang bisa mendapatkan akses untuk membaca buku dan kitab. Karena memang, percetakan dan penulisan kitab yang masih sangat minim dan mahal. Sehingga aktivitas-aktivitas intelektual dan perbukuan hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang.

Oleh sebab itulah, ia membuat semacam perpustakaan pribadi di kediamannya yang mengoleksi berbagai buku dan kita. Ia ingin masyarakat sekitar bisa mendapatkan akses yang mudah dalam memperoleh informasi dan pengetahuan.

Ketika perpustakaannya dicuri

Perhatian besar Ibnul Amid terhadap perpustakaannya sangat terlihat kala suatu ketika ia mendapatkan kabar bahwa rumahnya baru saja disatroni kawanan pencuri. Bukan harta-harta yang tersimpan di dalamnya yang sangat ia khawatirkan. Justru koleksi perpustakaannya yang sangat ia cemaskan. Ia bergegas menghubungi Ibnu Miskawaih, salah seorang staf perpustakaannya.

Ibnu Miskawaih mencatat detail kecemasan yang dialami oleh bosnya tersebut dalam catatan pribadinya:

اشتغل قلب الوزير ابن العميد بدفاتره، ولم يكن شيء أعزَّ عليه منها، وكانت كثيرة، فيها كل علم وكل نوع من أنواع الحكم والآداب

“Ibnul Amid sangat mencemaskan kondisi koleksi bukunya. Tidak ada hal lain yang lebih berharga baginya daripada buku-bukunya. Koleksi bukunya sangatlah banyak, yang terdiri dari berbagai macam disiplin ilmu, mulai tentang hukum hingga sastra.”

Saat ditanya mengenai kondisi bukunya, Ibnu Miskawaih menjawab, “Aman pak, tak satu pun tangan menjamahnya.”

Ia terlihat lega sekali mendengar jawaban dari staf perpustakaannya. Hilang sudah kerisauan yang sedari awal mengganggu konsentrasinya. Ia berkata, “Aku bersaksi engkau berjiwa berkah. Semua harta bisa diganti tetapi perpustakaan ini tidak ada gantinya.”

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.