Sepeninggal Rasulullah Saw, keadaaan umat Islam mulai tidak kondusif. Pemberontakan dan perpecahan turut mewarnai kehidupan mereka kala itu. Kekacauan pun semakin membara ketika masa kekhalifahan Utsman, hingga mengakibatkan adanya pembunuhan Utsman bin Affan.
Pada masa kekhalifahan Ali, hal yang serupa pun terjadi. Masih ada beberapa pihak yang tidak menyetujui pembaiatan beliau. Puncak kekacauan ini mengakibatkan terjadinya perang Shiffin. Perang yang terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Perang ini diakhiri dengan arbitrase (tahkim) antara kedua belah pihak. Hasil dari arbitrase ini, dimenangkan oleh pihak Muawiyah. Sehingga Ali harus turun dari jabatan kekhalifahannya, dan Muawiyah ditetapkan sebagai pemegang kekhalifahan selanjutnya.
Terdapat pihak yang kecewa terhadap keputusan yang telah ditetapkan. Mereka yang akhirnya memilih keluar dari komando Ali ini, kemudian dikenal sebagai kelompok Khawarij. Dari kelompok inilah, yang menjadi datang dalang atas pembunuhan Ali bin Abi Thalib. Kelompok yang senantiasa mendendangkan jargon dengan lantang, “La Hukma illa Allah!”
Kisah syahidnya Ali
Ali bin Abi Thalib terbunuh pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. Adapun kronologi pembunuhan beliau, pada waktu itu, terdapat tiga orang dari kelompok Khawarij yang sedang berkumpul. Tiga orang ini, di antaranya Abdurrahman bin Muljam Al-Muradi, Burak bin Abdullah At-Tamimi, dan Amr bin Bakr At-Tamimi As-Sa’di. Mereka mengenang saudara-saudara mereka yang banyak terbunuh ketika terjadi perang Nahrawan, perang yang terjadi antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan kaum Khawarij.
Menurut ketiganya, orang yang harus bertanggung jawab atas kekacauan dan darah saudara mereka ialah Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Shufyan, serta Amr bin Ash. Kemudian mereka berdiskusi apa yang hendaknya mereka lakukan. Hingga akhirnya ketiganya memutuskan untuk mengorbankan diri mereka, dan membunuh pembesar-pembesar yang sesat. Dengan begitu, mereka berharap keadaan umat Islam bisa menjadi tenang seperti sedia kala.
Lantas Ibnu Muljam berkata, “Aku yang membunuh Ali!”
Perkataan tersebut lalu disusul oleh Burak, “Aku yang membunuh Mu’awiyah!”
Yang terakhir, Amr bin Abu Bakr berkata, “Aku yang membunuh Amr bin Ash!”
Ketiganya pun berjanji atas nama Allah, untuk tidak berbalik sebelum sasaran masing-masing terbunuh. Mereka lalu mengambil pedang, dan melumurinya racun. Mereka bersepakat membunuh mangsa mereka tepat pada 17 Ramadan.
Masing-masing dari mereka bergerak menuju tujuan. Ibnu Muljam pergi ke Kufah, menemui kawan-kawannya. Dia berkumpul dengan kawan-kawannya dari Bani Ar-Rabab sambil mengenang apa yang terjadi saat perang Nahrawan, ketika Ali menumpas tidak sedikit dari keluarga mereka. Datanglah seorang wanita bernama Qatham binti Asy-Syajnah. Wanita yang kehilangan ayah dan saudaranya sebab perang tersebut.
Melihat wanita tersebut, Ibnu Muljam dibuatnya jatuh hati. Ia pun berniat mempersunting wanita tersebut. Qatham pun menerima pinangannya, tetapi setelah Ibnu Muljam memenuhi beberapa syarat yang ia buat. Salah satu syarat tersebut ialah membunuh Ali bin Abi Thalib. Hal ini tentunya membuatnya tambah bersemangat membunuh Ali bin Abi Thalib.
Ibnu Muljam pun menyetujui permintaan wanitanya seraya berkata, “Demi Allah, aku datang ke sini memang hanya untuk membunuh Ali. Maka akan kulaksanakan apa yang kau pinta.” Qatham pun mengirimkan untuknya lelaki yang akan membantu melancarkan aksinya, yakni Wirdan.
Ibnu Muljam mencari bantuan satu orang lagi, yakni Syubaib. Syubaib awalnya enggan untuk melakukan hal ini, seraya berkata, “Celaka, kalau seandainya yang hendak dibunuh bukan Ali, tentu ini hal yang enteng.”
Namun Ibnu Muljam terus membujuknya dengan iming-iming kebaikan dunia akhirat. Karena mereka hendak membunuh dalang dari kekacauan umat Islam. Ia juga mengingatkan Syubaib tentang perang Nahrawan yang amat membekas di lubuk hatinya, ketika tidak sedikit dari saudara-saudara mereka yang telah dihabisi Ali. Akhirnya, Syubaib pun menerima tawaran Ibnu Muljam.
Tepat malam Jumat, malam di mana tiga orang lelaki dari Khawarij sepakat untuk membunuh tiga pembesar Islam, Ibnu Muljam dan Syubaib sudah bersiap dengan pedangnya. Sedangkan Wirdan berjaga di depan pintu. Ketika Ali keluar untuk mengajak orang-orang salat, Syubaib pun menebasnya dengan pedang. Kemudian disusul oleh Ibnu Muljam, seraya berkata “Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, bukan kamu, wahai Ali, atau sahabatmu!”
Usai kejadian tragis ini, Ali menyuruh untuk menangkap ketiga tersangka kejadian ini. Wirdan lantas melarikan diri ke kediamannya. Namun kemudian seorang lelaki datang menghampirinya, kemudian membunuhnya. Sebab lelaki tersebut telah mengetahui apa yang telah terjadi. Sementara Syubaib, ia berhasil melarikan diri.
Sedangkan Ibnu Muljam, kepala dari pembunuhan ini berhasil ditangkap dan dihadapkan kepada Ali bin Abi Thalib.
“Hai musuh Allah, bukankah aku telah berbuat baik kepadamu?” tanya Ali.
Ibnu Muljam lantas menjawab, “Ya, benar.”
Lalu Sayidina Ali kembali bertanya, “Lantas apa yang mendorongmu untuk melakukan hal ini?”
Ibnu Muljam menjawab, “Aku telah mempersiapkannya 40 hari, dan aku telah meminta Allah agar membunuh makhluk terburuknya.”
Mendengar jawaban tersebut, Ali berkata, “Aku tidak melihatmu kecuali akan dibunuh, dan aku tidak melihatmu, kecuali seburuk-buruknya makhluk Allah.”
Kemudian beliau menyusul perkataannya, “Nyawa dibayar nyawa. Jika aku meninggal, maka bunuhlah ia, jika aku masih hidup, aku tahu bagaimana memperlakukannya.”
Inilah kronologi pembunuhan tragis Ali bin Abi Thalib. Ibnu Muljam, yang memiliki catatan kelam dalam sejarah Islam, akhirnya dikenai hukum kisas sepeninggal Ali bin Abi Thalib. Meski begitu, Ibnu Muljam ini tetap menjadi sosok pahlawan yang dielu-elukan kelompoknya. Dengan dalih ia telah mengorbankan dirinya untuk kebaikan umat Islam, serta mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Sosok Ibnu Muljam
Ironisnya, sosok yang dikenal sebagai pembunuh ini, ternyata semasa hidupnya adalah sosok yang gemar beribadah dan juga seorang ahli Al-Quran. Bahkan ia dipercaya sebagai pengajar Al-Quran semasa pemerintahan Umar bin Khattab.
Sebagaimana sabda Rasul Saw, “Akan keluar manusia dari arah timur dan membaca Al-Quran namun tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka melesat keluar dari agama sebagaimana halnya anak panah yang melesat dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepadanya hingga anak panah kembali ke busurnya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini barangkali senada dengan apa yang terjadi pada Ibnu Muljam. Ia pandai membaca Al-Quran, namun hanya sampai kerongkongan. Tidak sampai ke hati, yakni tidak mampu mencegahnya dari melakukan perbuatan keji.
Barangkali benar, bahwa Ibnu Muljam memang sosok saleh nan alim. Namun ia menganggap hanya dirinya dan orang-orang darinya saja yang paling saleh dan paling alim. Ia dengan mudah melabeli orang lain kafir. Orang-orang selainnya tidak lebih baik darinya, bahkan orang-orang terdekat Rasul sekalipun.
Pemikiran-pemikiran seperti ini, barangkali juga telah membiak di masa sekarang. Contoh nyata, seperti munculnya terorisme, dengan dalih jihad menuju jalan Allah. Mereka bergegas seakan-akan menjadi sosok pahlawan. Padahal yang mereka lakukan, tidak lain dan tidak bukan ialah mengucurkan darah-darah umat Islam, mengibarkan bendera peperangan, serta mencoreng nama baik Islam yang seharusnya rahmatan lil’alamin.