Syekh Muhammad al-Ghazali, salah seorang ulama pembaharu Islam abad 20 dari Mesir, pernah ditegur oleh ulama al-Azhar Syekh Ahmad Hasan al-Baquri. Teguran itu membuat dia sampai bertobat karena pernah membenci dan menyerang sahabat Amr bin al-Ash.
Guru dari Yusuf al-Qardhawi itu bercerita kalau dia diundang Syekh al-Baquri, salah satu ulama al-Azhar terkemuka pada masanya untuk datang ke rumahnya.
“Aku ingin bertemu denganmu. Ada urusan penting,” kata Syekh al-Baquri.
Datanglah Syekh Muhammad al-Ghazali ke rumahnya. Saat dia duduk di kursi yang dekat dari posisinya, tak disangka Syekh al-Baquri justru menyuruhnya berdiri agar duduk di tempat lain.
Syekh al-Baquri pada waktu itu sudah lumpuh. Yang mengagetkan Muhammad al-Ghazali adalah pertanyaan menikam dari Syekh al-Baquri, “Ada masalah apa antara dirimu dan Amr bin al-Ash?”
Dia merasa aneh mendapatkan pertanyaan tersebut. “Aku tidak punya masalah dengan Amr bin al-Ash. Aku hanya khatib di masjidnya,” jawab Muhammad al-Ghazali.
Di Mesir tepatnya di Fustat (Kairo Lama), berdiri Masjid Amr bin al-Ash. Masjid itu masih berdiri kokoh hingga saat ini, dan termasuk masjid tertua dalam sejarah Islam.
“Tidak,” tukas Syekh al-Baquri, “Pasti ada sesuatu!”
Syekh Muhammad al-Ghazali pun heran dan terkejut. “Memang ada masalah apa?” kata dia balik bertanya.
Maka Syekh al-Baquri berkata, “Kalau begitu, akan aku ceritakan mimpi yang baru saja kualami. Silakan kamu yang menafsirkan.”
Syekh al-Baquri bercerita, ketika tengah tertidur, dia merasa ada seseorang mengetuk pintu rumahnya. Ternyata orang yang datang ke rumahnya itu adalah sahabat Amr bin al-Ash.
Tidak diperkirakan olehnya, dia pun beranjak berdiri menghampiri sahabat Nabi penakluk Mesir itu, padahal dia dalam kondisi lumpuh.
“Amr bin al-Ash masuk ke rumah dan duduk di tempat kamu duduk sekarang. Posturnya pendek, namun kulihat ada kesedihan luar biasa dari sorot matanya,” kata Syekh al-Baquri.
Amr bin al-Ash berkata, “Sampaikan kepada Syekh al-Ghazali bahwa aku telah memaafkannya lantaran dia mengkritik dan menyerangku. Aku memaafkannya karena dia telah menghidupkan masjidku. Itu adalah masjid keempat dalam sejarah Islam, yang menjadi tempat berkumpul para prajurit setelah mereka mengalahkan bangsa Romawi di Mesir.”
Sontak, Syekh al-Baquri ketakutan. Belum selesai dia dengan apa yang baru saja didengarnya, sahabat Amr bin al-Ash pun pergi. Dia pun terbangun tepat bersamaan azan fajar. Usai salat Subuh, dia kembali tidur. Anehnya, dia mengalami mimpi yang sama.
Fiqh as-Sirah (fikih sejarah Nabi), salah satu karya Syekh Muhammad al-Ghazali
“Aku mengundangmu datang ke sini, karena aku ingin tahu bagaimana kamu bisa mengkritik seorang Amr bin al-Ash,” kata Syekh al-Baquri kepada Syekh al-Ghazali.
Syekh Muhammad al-Ghazali menjawab, “Mendengar mimpimu tadi, aku jadi gemetar. Aku ingin menangis.”
Akhirnya dia pun bercerita kalau suatu kali, dia pergi ke Masjid Amr bin al-Ash dengan membawa perasaan benci kepada sahabat Nabi itu. Terbersit dalam pikirannya, kata-kata yang melawan sikap politik yang diambil oleh Amr bin al-Ash.
Syekh al-Ghazali memang sempat membenci Amr bin al-Ash karena menganggap dia adalah biang kerok dari kejatuhan Ali dari kursi kekhalifahan akibat langkah politisnya dalam peristiwa tahkim. Saat itu, dia menjadi perwakilan Muawiyah bin Abu Sufyan, sementara Ali diwakili oleh sahabat Abu Musa al-Asy’ari.
“Aku benci kepada orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib,” ujar dia.
Syekh al-Ghazali melanjutkan, “Namun sekarang setelah mendengar cerita mimpimu tadi, aku bertobat kepada Allah karena mengatakan yang tidak selayaknya tentang salah satu sahabat Nabi itu. Kalau bukan karena dia dan orang-orang mukmin yang ikut bersamanya, Islam tidak bakal masuk ke Mesir, dan aku pun tidak akan memeluk Islam.”
Legalah hati Syekh al-Baquri mendengar kesaksikan Syekh al-Ghazali. “Yang penting sekarang Amr bin al-Ash telah memaafkanmu.” kata beliau, “Bahkan dia menyebutmu sebagai orang yang menghidupkan masjidnya setelah sebelumnya mati.”
Syekh Muhammad Al-Ghazali menimpali, “Allah mengampuni apa yang telah kuperbuat. Aku berjanji selama aku masih hidup, lisanku hanya akan berkata-kata baik untuk para sahabat Nabi.”
Kisah tobat Syekh Muhamamd al-Ghazali ini menegaskan keyakinan yang dianut oleh kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah bahwa para sahabat Nabi secara keseluruhan adalah orang-orang mulia sehingga wajib dicintai dan tidak boleh dibenci. Penganut Ahlus Sunnah memilih mengambil sikap diam dan tidak terlibat dalam perselisihan yang terjadi di antara para sahabat.
Sumber kisah ini, saya baca dari buku ad-Da’iah asy-Syahir Syekh Muhammad al-Ghazali, karya penulis Mesir, Abdullah al-Mashri.
Syekh Muhammad al-Ghazali dikenal sebagai tokoh pembaharu pemikiran Islam modern di Mesir, yang keras menolak kecenderungan ekstrem dalam beragama. Menulis banyak buku yang diterima publik secara luas karena pikirannya yang moderat dibalut dengan keindahan bahasa dalam tulisan-tulisannya.
Syekh al-Ghazali pernah bergabung dengan kelompok Ikhwanul Muslimin pada saat mudanya (waktu itu dia menjadi mahasiswa al-Azhar) karena terkesan dengan pendirinya, Hasan al-Banna, hingga kemudian keluar dari jamaah tersebut karena berkonflik dengan salah satu petingginya. Alasan dia keluar dari IM antara lain dia ceritakan dalam salah satu bukunya yang berjudul Min Ma’alim al-Haqq fi Kifahina al-Islami al-Hadits.