Dalam
sejarahnya, Al-Quran mengalami pembukuan (kodifikasi) sebanyak tiga kali, yaitu
pada masa Rasulullah SAW, pada masa khalifah Abu Bakar RA, dan pada masa
khalifah Utsman bin Affan RA.
Pada
masa terakhir inilah, Al-Quran sudah terkumpul dalam satu mushaf, dan dikenal
dengan Mushaf Utsmani, disalin dalam enam naskah yang memiliki satu cara
baca (cara baca ini sesuai dengan tujuh huruf atau tujuh cara baca yang mana
Al-Quran turun dengannya), untuk kemudian disebarkan ke beberapa kota Islam.
Sebagaimana
yang disampaikan oleh Imam Bukhari dalam Fadhail Al-Quran, dari Anas bin
Malik RA, bahwa Huzhaifah bin Al-Yaman menghadap Khalifah Utsman bin Affan RA
seraya menceritakan bahwa ketika ia mengikuti peperangan bersama orang-orang
Syam dan Irak untuk menaklukkan Armenia dan Azerbaijan, ia terkejut dengan
perbedaan bacaan Al-Quran mereka. Kemudian Hudzaifah berkata kepada khalifah
Utsman, “Wahai Amirul Mukminin, selamatkanlah umat ini sebelum mereka
berselisih tentang Al-Quran sebagaimana perselisihan kaum Yahudi dan Nasrani.”
Khalifah
Utsman lantas mengirimkan pesan kepada Hafshah dengan mengatakan, “Kirimkan
lembaran-lembaran catatan Al-Quran karena kami akan menyalinnya ke dalam
mushaf, nanti kami akan mengembalikannya kepadamu.”
Setelah
mendapatkan lembaran-lembaran tersebut, Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit,
Ibnu Zubair, Said bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits untuk menyalinnya dalam
beberapa mushaf.
Khalifah
berpesan kepada mereka, “Kalau kalian berbeda pendapat dengan Zaid bin Tsabit
mengenai suatu ayat, maka tulislah dengan dialek Quraisy karena Al-Quran turun
dengan dialek mereka.”
Setelah
proses pembukuan tersebut selesai, Utsman pun mengembalikan lembaran-lembaran
tersebut kepada Hafshah, dan mengirimkan sebuah mushaf hasil salinan itu ke
setiap penjuru wilayah Islam. Penulisan dengan dialek Quraisy dalam mushaf
Utsmani ini kemudian dikenal dengan istilah Rasm Utsmani.
Salah
satu syarat agar suatu ayat atau lafal dalam Qira’ah dapat disebut Al-Quran
adalah ditulis sesuai dengan Rasm Utsmani ini, selain harus sesuai
dengan kaidah-kaidah gramatika Arab, dan juga harus diriwayatkan secara
Mutawattir.
Rasm
Utsmani inilah
yang beredar dan berlaku setelah Al-Quran mulai dicetak di Al-Bunduqiyyah (kota
Venesia, sebuah kota pelabuhan pantai utara laut Adriatik di Italia) pada tahun
1530 M, dan cetakan berikutnya pada tahun 1787 M di St. Petersburg Rusia, kemudian
di Istanbul Turki, sebagaimana yang dikemukakan oleh As-Sijistani dalam kitab Al-Mashahif.
Imam
Suyuthi dalam Al-Itqan mengemukakan pendapat mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa Al-Quran wajib ditulis seperti penulisan Rasm Utsmani,
dan haram menulisnya dengan tulisan yang berbeda dalam segala bentuk penulisan
mushaf, karena Rasm ini menunjukkan Qiraat yang beraneka ragam dalam satu
lafal.
Dalam
majalah Ar-Risalah tahun 1937 dan majalah Al-Muqtathaf tahun 1933,
Komisi fatwa Al-Azhar memandang bahwa lebih baik mengikuti cara penulisan
mushaf yang ma’tsur demi kehati-hatian agar Al-Quran tetap seperti aslinya
dalam bacaan maupun penulisannya dan demi memelihara cara penulisan pada era
Islam yang lampau, selain itu juga untuk mengetahui Qiraat yang dapat diterima
dan yang tidak. Wallahu a’lam.