Dikisahkan dalam Ihya’ Ulumiddin:
Ada seorang fasik, pemabuk yang tak
dikenal oleh tetangganya, meninggal dunia. Tak satu pun tetangganya
mendekat untuk membantun mengurus jenazah pemabuk. Setiap tetangga merasa bahwa
orang ini tak pantas menerima belas kasih. Kesehariannya hanya meresahkan
tetangga.
Melihat kondisi ini, sang istri lantas
menyewa 2 pembawa keranda mayat. Setelah dimandikan sendiri oleh istrinya,
jenazah kemudian dibawa ke masjid. Namun sayang, tak ada seorang pun yang mendekat
untuk menyolati jenazah.
Dengan wajah tertunduk lesu, si istri
meminta kedua lelaki sewaannya untuk mengangkat jenazah menuju pemakaman di
bawah bukit. Sesampainya di sana, mereka dikagetkan oleh seorang yang terkenal
zahid, seorang pertapa yang tak pernah turun dari bukit tersebut. Sang zahid
meminta ijin untuk menyolatkan jenazah kemudian menguburkannya.
Setelah prosesi fardu kifayah selesai,
istri lelaki yang wafat itu mendekat ke arah sang zahid. Wanita itu bertanya, “Apa yang membuat tuan
turun gunung?”
“Saya bermimpi” kata sang zahid,
“seseorang memintaku turun untuk menyolatkan jenazah di bawah bukit.”
“Sebelum tuan turun, tak seorang pun
mau menyolati jenazah suami saya karena dia lelaki fasik, pemabuk dan hanya
mengganggu tetangga,” si wanita menimpali.
“Apa yang dilakukan suamimu hingga tak seorang pun
mau menyolatinya?” kejar sang zahid.
“Kerjaannya hanya mabuk,” jawab wanita itu.
“Apa ada kebaikan yang kau lihat
darinya?” lanjut sang zahid.
“Tak ada,” wanita menjawab ketus.
“Pasti ada,” kata sang zahid,
“coba diingat-ingat kembali.”
Setelah berpikir keras, si wanita
akhirnya menemukan jawaban, “Setiap menjelang subuh, suamiku terlihat mandi,
mengganti pakaiannya, kemudian pergi ke masjid untuk shalat berjaaah. Setelah
itu, dia kembali mabuk
lagi. Begitu kelakuannya setiap hari.”
“Kedua, keseharian suamiku adalah
menyantuni satu atau dua anak yatim. Dia lebih perhatian pada mereka daripada
anak sendiri. Ketiga, saat tersadar tengah malam dia selalu menangis: ‘Tuhan, apakah
neraka Jahannam akan diisi oleh orang sepertiku?!’”
Sang zahid pergi menuju tempat munajatnya
setelah menemukan jawaban peristiwa hari itu.
Kisah ini menyimpan pesan kuat agar
kita berbaik sangka pada setiap jenazah. Sebab kita tidak pernah tahu amal
perbuatan yang mana yang akan diterima di sisi Allah Swt. Seorang yang sudah
wafat tak selayaknya dibuka aibnya. Nabi menyarankan agar mengingat amal baiknya
saja. Pendosa lebih berhak untuk dishalatkan dan didoakan dari orang shaleh
supaya mendapat tempat yang layak di alam barzakh.
Selain itu, seorang pendosa tak boleh menunggu
bertobat untuk berbuat baik. Ada beberapa pelaku dosa yang enggan melakukan kebaikan
dengan alasan “nanti kalau saya benar-benar bertobat”. Ucapan semacam ini
adalah bisikan setan yang ingin menghalangi dirinya dari kebaikan. Sebab kata
Nabi Saw, “Dan iringin keburukan
dengan kebaikan maka kebaikan akan menghapusnya.” (HR. At-Tirmizi)
Jangan pernah menunda kebaikan dengan alasan dan kodisi apapun.