Jumat malam itu, usai
mengikuti seluruh prosesi pemakaman Ibu tercinta, Prof. Huzaemah, melalui ruang
zoom yang kemudian dilanjutkan dengan doa bersama untuk mengantarkan kepulangan
beliau kepada Sang Maha Dekat, kuusap embun di mataku yang tidak berhenti
mengalir sedari pagi.
Aku termenung di atas
alas shalatku usai menunaikan ibadah Isya, mengatur nafasku yang mulai
berkejaran, sesak terasa sebab belum bisa menerima kenyataan bahwa dunia telah
kehilangan mutiaranya. Mutiara itu berasal dari Donggala, sebuah kabupaten yang
terletak di Provinsi Sulawesi Tengah.
Sesenggukan, terisak,
lalu menangis, terus seperti itu. Ada orang-orang yang namanya masyhur di bumi,
namun justru tidak dikenal oleh penduduk langit. Ada pula yang tidak masyhur di
bumi, namun disebut-sebut oleh penduduk langit. Ah tapi mutiara yang akan
kuceritakan kali ini, sangat kuyakini insya Allah, ia merupakan sosok yang tidak
hanya terkenal di bumi. Lebih dari itu, ia juga masyhur dan disebut-sebut oleh
penduduk langit. Nasyhadu anna Ibu Prof. Dr. Hj. Huzaemah Tahido Yanggo,
MA. min ahlil khair wa insyaAllah min ahlil jannah.
Pada heningnya malam,
kucoba membuka album di laptop, kutemui beberapa foto bersama Ibu mentereng di sana.
Kuklik satu per satu, kuperbesar hingga mendekat ke wajah Ibu, kuamati
lekat-lekat, tiap garis wajahnya, perlahan, bergetar jemariku mengusapnya. Air mataku
kembali melebat, tidak bisa kutahan sesak yang menyeruak. Kututup album
tersebut lalu kucoba mengatupkan mataku, bukan karena mengantuk, sebab aku
tidak benar-benar tertidur, pikiranku melompat tidak karuan, mengingat kembali
beberapa momen yang pernah dilalui bersama mendiang Ibu. Sekelebat bayangan Ibu
datang hadir menemani. Kupungut bongkahan teladan dan hikmah yang ditinggalkan
Ibu, yang terserak dimana-mana, sedikit demi sedikit.
Awal perjumpaanku
dengan Ibu adalah ketika aku menjadi mahasiswi baru, di masa orientasi kami Ibu
hadir memberi sambutan dan mauizah hasanah. Di tengah momen tersebut, panitia
orientasi memberikan kesempatan kepada siapa saja yang ingin bertanya. Tanganku
mengacung begitu saja ketika melihat wajah teduh di depanku ternyata adalah
seorang Professor wanita dengan kiprahnya yang mendunia. Aku sebagai orang
kampung, melihat wanita dengan pendidikan tinggi dan prestasi spektakuler
seperti itu membuatku tidak berhenti berdecak mengaguminya.
Kala itu aku mengajukan
pertanyaan mengenai hukum wanita haid membaca Al-Qur’an. Belum selesai
pertanyaanku, Ibu sudah menyambarku dengan jawabannya yang lugas dan komplit. Di
akhir sesi, diberikannya aku karya beliau yang berjudul “Hukum Keluarga
dalam Islam” yang mana karya ini sangat bermanfaat untukku sebagai bekal
mengarungi lautan kehidupan yang berbuih dan berbatu ke depan.
Selanjutnya saat
menjalani perkuliahan, tidak jarang kami bertemu atau berpapasan dengan Ibu ketika
beliau hendak menjalani tugasnya sebagai pimpinan kampus kami, IIQ (Institut
Ilmu Al-Qur`an). Kesannya selalu menghangatkan, sebab Ibu kerap memberi
lambaian tangan ketika tidak cukup waktu untuk bersalaman satu per satu.
Suatu hari kala
mengikuti sebuah event, Ibu hadir sebagai pengawas. Ketika akan kembali menuju
Jakarta, kami bertemu di ruang tunggu bandara. Ibu duduk bersama jajaran
guru-guru besar lainnya, berbincang soal duka yang baru saja menyelimuti
keluarga besar IIQ, asrama kami baru saja dilahap si jago merah. Aku mendekat
menawarkan diri untuk membantu para guru membawa tas tentengan mereka, beberapa
guru mengiyakan untuk dibantu. Ketika aku menawarkan bantuan kepada Ibu, Ibu
menolak dengan alasan beliau masih kuat, aku pikir itu adalah bentuk
kemandirian Ibu, jika masih bisa dilakukan sendiri, Ibu akan lakukan sendiri.
Sebab tidak jarang aku menawarkan bantuan, namun kerap Ibu menolak, ternyata
cerita dari asisten beliau memang begitulah watak Ibu, sangat mandiri.
Kemandirian Ibu juga
kerap aku dengar dari teman kamarku yang berasal dari Sulawesi. Teman-teman
Sulawesi biasa memanggil Ibu dengan panggilan “Ustadzah”. Jika mereka sowan ke
rumah Ibu, pulangnya kadang diantar oleh Ibu bersama suami menggunakan mobil.
Mereka pasti kembali dengan segudang cerita perihal Ibu dan sang suami.
Sebagai anak rantau yang
kerap menjalani hari raya Id di Jakarta, aku dan beberapa teman pernah
berkesempatan sowan ke kediaman Ibu usai menjalankan shalat Id, kami disambut
suami beliau kala itu, disuguhkannya kami aneka jajanan sembari menunggu Ibu
yang kala itu berada di kamar. Ternyata Ibu sedang beristirahat. “Ibu merasa
sedikit meriang usai silaturrahim ke beberapa tempat,” ungkapnya ketika turun
menemui kami. Namun Ibu tetap menemani kami di ruang tamu bersama sang pujaan
hati, bercerita banyak hal, bercanda tawa, berkelakar, hingga berfoto ria,
ditawarkannya kami untuk menyantap masakan beliau, namun kami menolak dengan
alasan masih sangat kenyang. Ah Ibu, betapa baiknya dirimu!
Ibu memang dikenal sebagai
wanita yang sangat mandiri. Jika ada acara zikir akbar bulanan di asrama pun,
aku kerap menawarkan diri untuk membawakan alas kaki beliau, namun tidak jarang
beliau menolak lalu menenteng sendiri alas kakinya. Selama menjadi divisi
konsumsi pada acara zikir akbar bulanan yang berlangsung di asrama, aku
diam-diam memperhatikan setiap gerak Ibu dengan seksama, betapa Ibu sangat
menjaga asupan makanan atau minuman yang hendak masuk ke dalam rongga mulut dan
perut beliau, pengamal ajaran Kanjeng Nabi untuk tidak berlebihan, dan hanya
mengambil porsi secukupnya saja, bahkan selama pengamatanku, aku menyaksikan Ibu
hanya menyentuh buah anggur dan jeruk, padahal untuk ukuran tamu agung seperti
beliau, berbagai jenis menu tersedia khusus.
Pada 2020, Ibu datang menghadiri
penutupan Musabaqah yang dihelat oleh Kedutaan Arab Saudi, layaknya orang tua
yang sedang menyaksikan putra-putrinya, itulah perasaan kami kala melihat wajah
teduh dan semringah Ibu. Kami bergiliran mencium tangan halusnya, meminta momen
indah itu diabadikan dalam sebuah bidikan kamera, cekrak cekrek! Waktu berlalu
hingga tersisalah hanya aku kala itu, teman-temanku yang lain melanjutkan
obrolan bersama teman dan kerabat masing-masing. Perasaan kikuk tidak bisa aku
sembunyikan kala berada di dekat Ibu, tapi dengan hangatnya Ibu tetap mengalir
dengan obrolannya, dipegangnya tanganku, kali ini beliau meminta tolong untuk
dituntun berjalan menuju pintu mobil, kala itu beliau akan diantar menuju
(kalau aku tidak salah ingat) kantor MUI, untuk menghadiri rapat. Kulitku yang
kasar beradu dengan kulit lembutnya, betapa jantungku berdegup sekaligus
berbunga-bunga, “Beginilah kalau sudah tua seperti saya, Istiqomah,”
ucapnya terkekeh. “Ya Allah betapa bahagia orang-orang yang setiap saatnya
bisa berdekatan dengan Ibu, menyesap lautan ilmu Allah yang dititipkan pada
dirinya,” batinku.
Sesampai di pintu
mobil, sang sopir menyambut Ibu hingga duduk dengan posisi yang nyaman, Ibu
menepuk pundakku. “Belajar terus, ya!” pesannya, aku terdiam tanpa
kata kala mendapat pesan itu. Ibu melambaikan tangan tanda pamit, aku masih
mematung hingga mobil yang membawa Ibu hilang dari pandanganku. Termenung aku,
betapa pesan Ibu menjadi mantra dan cambuk bagiku untuk terus belajar dan
mengasah diri.
Di rumah, aku sering
bercerita kalau rektorku adalah seorang ulama wanita ternama, wanita sederhana
namun luarbiasa, dengan kostum khasnya; gamis atau pakaian potongan dengan rok
bermotif senada, tidak lupa dengan selendang yang melingkari tubuhnya, aduhai
cantiknya rektorku. Dalam pandanganku (bahkan pandangan orang banyak), dia
merupakan seorang wanita dengan paket komplit. Dia adalah potret wanita idaman.
Rektorku ini adalah seorang pembela hak-hak kaum wanita, ia selalu berkata
bahwa wanita boleh berdaya dalam berbagai sektor, wanita boleh memasuki
berbagai profesi asal tugasnya diselaraskan dengan sifat dan kodrat mereka dan
ia tidak meninggalkan kewajiban-kewajiban sebagai ibu rumah tangga, serta tetap
mempertahankan hukum-hukum yang ditentukan agama.
Di hari wafat Ibu
kemarin, Jumat 23 Juli 2021, bukan hanya aku saja yang berduka, tapi juga
Ibuku, Bapakku juga Kakakku terlihat lemas ketika mengetahui kabar itu, hingga
mereka turut mengabadikan fotonya untuk dikenang. Ibuku sampai berkata, “Isti,
nanti kalau kamu punya anak, kamu beri saja nama Huzaemah agar keluberan berkah
Ibu rektormu.” Ya, Huzaemah Tahido Yanggo (Huzaimah Tauhid Yanju), seorang
wanita perkasa yang namanya harum di mana-mana. Melegenda dan diceritakan
banyak manusia, dengan berbagai kisah kebaikan lainnya.
Allahummaj’alil jannata
matswaaha. Amin
27 Juli 2021