Imam Al-Ashma’i menuturkan, dahulu kala
ada seseorang yang berasal dari kalangan orang-orang shaleh melewati sebuah
sumur yang berada di lembah Barhut pada malam hari. Seketika
dia mencium bau busuk yang mengganggu salah satu panca inderanya. Tak lama, dia
sadar bahwa dirinya berada dekat dengan lokasi sumur Barhut. Ternyata hari itu
bertepatan dengan wafatnya pembesar orang kafir. Akhirnya dia mengetahui jikalau bau
tersebut berasal dari roh pembesar kafir yang dipindahkan ke sumur itu.
Alkisah, seorang lelaki pergi menunaikan
ibadah haji ke Baitullah, Makkah.
Sesampainya di sana ia ingin memberikan sejumlah uang kepada keluarganya. Akhirnya
ia menitipkan uang tersebut kepada seseorang yang shaleh.
Setelah menyelesaikan ibadahnya di
Arafah, ia kembali ke Makkah dan mendapat kabar bahwa orang yang
dititipinya telah wafat. Dia kemudian bergegas menanyakan perihal uang yang
dititipkannya kepada keluarga mayit. Namun tidak ada satupun orang yang
mengetahui keberadaan uang itu.
Bertanya-tanya dengan apa yang terjadi
pada hartanya, ia pergi menemui salah seorang syekh yang berada di Makkah
untuk mengadukan permasalahnya. Syekh alim itu berkata, “Jika
sepertiga malam tiba, datanglah kamu ke sumur Zamzam dan panggilah namanya di sana
sebanyak 3 kali. Insyaallah dia termasuk ahli surga.”
Mendengar sarannya, lelaki ini mendatangi sumur Zamzam dan
memanggilnya, namun tidak ada jawaban.
Kecewa tak
mendapatkan hasil, dia
kembali menemui syekh dan menceritakannya. Sontak syekh alim itu terlihat kaget
sekaligus sedih. Karena pada dasarnya jika ruh seorang yang dianggap sholeh tidak
ada di sumur Zamzam, berarti dia termasuk ahli neraka.
Lalu dia berkata “Jika begitu, pergilah kamu
ke sumur Barhut di sebuah lembah yang ada di Hadramaut Yaman. Panggilah
namanya di sepertiga malam.”
Laki-laki itu kembali
menurutinya dan pergi ke sumur Barhut.
Sesampainya di sana ia langsung
memanggil nama orang sholeh tersebut, “Wahai fulan bin
fulan.”
Dan ternyata dia mendengar jawaban. Ia bertanya, “Di manakah kau menyimpan
hartaku?”
Lalu
dijawab, “Aku simpan di bagian dalam rumahku. Temuilah keluargaku dan
suruhlah anakku untuk menggalinya.”
Heran dengan keberadaannya di sumur itu,
ia kembali bertanya, “Mengapa kamu ada di
sini?”
Ia menjawab, “Aku memiliki seorang sepupu perempuan yang fakir, dan aku tidak
menaruh belas kasihan kepadanya sehingga Allah menghukumku dengan menempatkanku
di sini.”
Setelah kembali ke Makkah dan
bertanya kepada anak dari orang itu, ternyata apa yang dikatakannya terbukti benar. Wallahu a‘lam bis shawab.
Referensi:
–
Al-Hawi lil Fatawa, Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi.
–
Ar-Ruh fi al-Kalam ala Arwahi Ahya wa
al-Amwat, Muhammad
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah.
–
Bughyah at-Tholab fi Taariki al-Halab, Ibnu Adim.
–
Lawami’ul Anwar al-Bahiyyah wa Sawathiul
Asraril Asariyyah,
Syamsuddin Muhammad Al-Hanbali.
–
Lisanul Arab, Muhammad Mukrom bin Mandzur Al-Afriki
Al-Misri.
–
Muroatul Mafaatih Syarah Misykatul
Mashobih, Imam
Al-Mubarokfuri.
–
Tafsir Ruhul Bayan, Ismail Haqqi bin Musthafa Al-Istanbuli.
–
Tafsir Hadaiqi ar-Ruh wa ar-Raihan, Syekh Muhammad Amin bin Abdullah
Al-Armi.