Di antara kitab dan buku yang terjejer rapi di rak perpustakaan “mini” saya, kitab Tafsir al-Mishbah adalah kitab yang paling berkesan. Tentu ini bukan tentang isi kitab tafsir setebal 15 jilid itu. Tapi tentang pengalaman tak terlupakan bagaimana saya bisa memiliki kitab fenomenal yang ditulis mufassir kenamaan Indonesia abad ini, Prof. Quraish Shihab tersebut.
Sekitar dua tahun lalu, pertengahan 2019, saya bertekad bulat memiliki tafsir itu. Harga cetakan terbarunya yang mencapai 3 jutaan, membuat saya sedikit menurunkan standar. “Bekas pun tidak apa-apa, yang penting original, tidak bajakan,” demikian prinsip saya.
Di sejumlah lapak online, beberapa penjual mematok harga bekas sekitar satu juta setengah. Kebanyakan adalah cetakan lama. Saya masih ingat, di antara pelapak ada seorang ibu yang menjual Tafsir al-Mishbah cetakan terbaru, masih bersegel, dengan harga dua juta rupiah. Kok bisa?
“Ini mahar pernikahan dari suami saya. Daripada jadi pajangan, lebih baik saya jual,” ujar pelapak wanita asal Lamongan tersebut ketika saya japri.
Dua juta tentu masih terlalu mahal bagi saya. Saya cancel, dan lanjut mencari. Tiba-tiba, di akhir penelusuran dunia maya itu, saya menemukan satu lapak yang “aneh”. Tafsir al-Mishbah cetakan lama, dia lepas dengan harga super murah, 300 ribu. Awalnya saya mengira, dia hanya menjual beberapa jilid saja. Tapi ternyata itu harga satu set, lengkap 15 jilid.
“Serius ini, Mas ?” tulis saya via message.
“Iya, serius. Tapi ada syaratnya, Mas harus datang langsung ke rumah saya, transaksi di tempat. Tidak melalui kurir pengiriman,” jawabnya.
“Oke, sepakat,” jawab saya tanpa ragu sama sekali.
Saya langsung berangkat hari itu juga ke alamat penjual. Turun di stasiun Depok Lama, langsung naik Gojek ke alamat yang diberikan. Lokasinya terletak di perumahan elit. Sampai di rumah dua lantai berhalaman luas itu, saya dipersilakan masuk.
“Ini kitabnya,” kata pemuda yang ternyata masih jomblo itu sembari membuka lemari buku yang terpajang megah di ruang tamu. Ternyata Tafsir al-Mishbah hanya satu di antara buku-buku yang terpajang di seluruh ruang tamu yang luas itu. Rata-rata didominasi buku keislaman.
“Serius dijual semurah ini, Mas?” tanya saya karena masih tidak percaya.
“Iya. Sebenarnya ingin saya gratiskan, tapi setelah saya pikir, saya pasang harga seadanya saja.”
Percakapan semakin hangat. Kami pun makin akrab. Seorang pembantu menyajikan secangkir teh tarik di atas meja. Saya kembali melempar pertanyaan basa-basi, “Kalau boleh tahu kenapa Tafsir al-Mishbah ini dijual, Mas?”
Mendengar pertanyaan saya tadi, raut wajahnya berubah. Dia menjawab dengan kalimat yang sama sekali di luar dugaan. “Saya tidak suka Quraish Shihab!”
Saya tertegun, tapi berusaha tenang. Jawaban itu lantas dilanjutkan dengan uraian panjang lebar yang pada intinya, menurut dia, Quraish Shihab bukan agamawan yang bisa dijadikan panutan. Sebagai perbandingan, dia menyebut nama-nama yang dalam pandangannya adalah sosok ideal yang teguh dalam memperjuangkan syariah, dan layak dijadikan panutan.
Diceramahi seperti itu, apalagi dengan kata-kata tak layak pada sosok ulama yang otoritas keilmuannya diakui dunia dengan sesekali mengacungkan jari telunjuk ke atas, darah muda saya bergejolak. Kuping saya panas. Tapi saya berusaha mengendalikan diri. Sebenarnya saya ingin bertanya lagi, apakah dia sudah tuntas atau setidaknya pernah membaca karya-karya pakar tafsir jebolan al-Azhar Mesir tersebut?
Tapi melihat gerak-geriknya yang militan, saya mengurungkan niat. Pragmatisme saya muncul. Jangan sampai sikap saya yang melakukan kontra narasi justru membuat dia batal menjual Tafsir itu ke saya. Untungnya setelah itu dia melanjutkan cerita yang sekaligus menjawab uneg-uneg saya tadi.
“Ini buku-buku warisan almarhum ayah saya,” lanjutnya. Kini nada bicaranya mulai menurun, tidak ngegas seperti di awal.
“Saya kurang suka membaca. Agar pahala ayah saya mengalir, lebih baik saya jual saja.”
Saya manggut-manggut mendengarkan. Ia bercerita bahwa sang ayah semasa hidupnya adalah pendakwah, di samping juga aktif menulis buku. Ibunya adalah orang Pattani, Thailand, yang bertemu jodoh dalam salah satu kegiatan dakwah. Almarhum sendiri asli Jawa Tengah. Setelah wafat, istrinya kembali ke Thailand, sedangkan dua orang anaknya memilih menetap di Indonesia.
“Ini buku karya ayah saya,” ujarnya sambil menyodorkan dua buku kepada saya. Keduanya bertema tasawuf. “Itu buat Mas Fahmi, gratis”. Siang itu, saya benar-benar mendapat rejeki nomplok.
Pikiran saya kembali liar. Jika alasannya adalah karena “kurang suka baca,” berarti ada peluang untuk melepas buku-buku dia yang lain suatu saat nanti. Saya kembali bertanya, “Selain tafsir al-Misbah, ada yang ingin dilepas juga, Mas ?
Dia tersenyum. “Saya pikir-pikir dulu,” jawabnya singkat.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua minggu setelah saya membopong Tafsir al-Misbah, dia menghubungi. “Saya mau menjual semua buku-buku di rumah, sebab mau pindah rumah. Kalau Mas Fahmi berminat silahkan ke rumah. Harganya gak jauh beda sama yang kemarin. Per kilo saya jual dua puluh ribu rupiah,” ungkapnya melalui pesan wa. Buku-buku keren dijual per kilo?
Saya seperti disambar petir di siang bolong. Saya membayangkan warisan paling berharga di rumahnya sebanyak itu, akan segera menjadi milik saya (ungkapan “berharga” tentu saja relatif, karena bagi dia yang tak suka membaca, buku-buku itu seakan tak ada harganya).
Ada sekitar tujuh judul ensiklopedi yang tebalnya berjilid-jilid, yang tentu saja harga aslinya sangat mahal. Sisanya adalah buku para pemikir ternama di Indonesia dan Timur Tengah. Setiap buku dibubuhi tanda tangan almarhum, lengkap dengan tanggal pembelian, dan harga buku tersebut. Debut almarhum dalam dunia dakwah dan keilmuan sangat luar biasa.
Setelah ditimbang, total yang harus saya bayar sekitar tiga juta lebih. Namun, uang yang saya bawa hanya 700 ribu. Setelah berusaha merayu, sisanya bisa dibayar via transfer. Lega rasanya.
Dalam perjalanan pulang di atas pick-up sewaan yang mengangkut buku-buku, saya tak henti-hentinya mengirimkan doa untuk sosok almarhum, yang kini warisan keilmuannya telah menjadi milik saya. Semoga saja beliau tersenyum melihatnya.