Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Syaikhina Maimoen Zubair, Wali Zambil dan Nabi Khidir

Avatar photo
37
×

Syaikhina Maimoen Zubair, Wali Zambil dan Nabi Khidir

Share this article

Syaikhina Maimoen Zubair bercerita bahwa di Makkah ada seorang ulama yang terkenal dengan sebutan Wali Zambil.

Wali Zambil merupakan salah satu ulama yang sering bertemu dengan Nabi Khidir.

Suatu hari ada tiga santri yang sowan kepada Wali Zambil. Ketiga santri itu ingin bertemu dengan Nabi Khidir.

Ketiga santri itu adalah Kiai Baqir Jogjakarta, Kiai Nahrowi Sarang, dan satu orang lagi yang namanya dirahasiakan oleh Syaikhina Maimoen Zubair.

Dan Alhamdulillah beliau pernah menyebutkan nama dan daerahnya kepada saya, tetapi saya tidak berani menulisnya.

Ketiganya pergi menghadap kepada Wali Zambil dan mengutarakan keinginannya untuk bertemu Nabi Khidir.

Wali Zambil menjelaskan cara agar ketiganya bertemu dengan Nabi Khidir, yaitu melakukan tirakat di dekat sumur Zamzam selama tiga hari pada pertengahan bulan Sya’ban.

Wali Zambil menjelaskan bahwa saat Nishfu Sya’ban, bila ada orang yang datang dengan naik kuda, maka masing-masing dari ketiga santri itu diperintahkan untuk memeluknya. Ketiganya tidak diperbolehkan untuk saling menceritakan pengalaman satu sama lain.

Setelah mendapatkan petunjuk, mereka pun melakukan tirakat sesuai arahan.

BACA: 

Pada saat pertengahan bulan Sya’ban bersamaan dengan melimpahnya air Zamzam, tiba-tiba datanglah seorang yang naik kuda. Ketiganya seketika memeluk orang itu.

Setelah peristiwa tersebut, ketiganya satu persatu sowan dan menceritakan pengalaman masing-masing kepada Wali Zambil.

Kiai Baqir bercerita bahwa beliau memeluk orang yang berjubah.

Wali Zambil berkata, “Kamu kelak akan menjadi kiai besar. Kamu harus menetap di tanah Arab.”

Dan memang benar, Kiai Baqir menetap di Arab. Beliau terkenal dengan sebutan Syaikh Baqir Jogja. Salah satu murid beliau adalah Mbah Zubair bin Dahlan Sarang. Mbah Zubair mempunyai murid, salah satunya Mbah Maimoen Sarang. Dan Mbah Maimoen mempunyai murid, salah satunya penulis.

Kiai Nahrowi Sarang bercerita bahwa beliau memeluk anak kecil.

Wali Zambil berkata, “Kelak kamu akan menjadi kiai kecil.”

Wali Zambil memerintahkan agar Kiai Nahrowi pulang ke tanah air, sebab menurut wali zambil ia tidak akan menjadi ulama besar bila tetap berada di Makkah. Ia diperintahkan untuk mencari daerah yang masih sepi. Bila berada di daerah seperti itu, maka Kiai Nahrowi akan memiliki santri.

Setelah beberapa kali berpindah tempat tinggal, beliau menetap di daerah sepi yang berada di tengah hutan, tepatnya di desa Merkawang, Tambakboyo, Tuban, Jawa Timur.

Mbah Maimoen Zubair suatu saat diundang mengisi acara di daerah tersebut. Saat itu beliau masih berusia empat puluhan tahun. Mbah Maimoen bercerita tentang ketiga santri tersebut. Saat itu, Kiai Nahrowi juga mendengarkan ceramah Mbah Maimoen.

Setelah selesai acara, Kiai Nahrowi menemui Mbah Maimoen. Saat itu Kiai Nahrowi menyebut Mbah Maimoen dengan sebutan Gus Maimoen.

Kiai Nahrowi menjelaskan bahwa dirinya adalah kiai kecil yang dimaksud dalam kisah itu. Kiai Nahrowi meminta agar Mbah Maimoen ikut serta menghormati jenazahnya bila suatu saat meninggal dunia.

Tidak berselang lama, hanya sekitar tujuh hari setelah pertemuan tersebut, Kiai Nahrowi meninggal dunia dan Mbah Maimoen ikut menghormati jenazahnya sebagaimana permintaan beliau. Ada orang bercerita bahwa Mbah Maimoen saat itu datang dengan mengendarai sepeda motor.

Pada akhirnya di daerah itu dibangun sebuah madrasah yang bernama Madrasah Nahrowiyyah. Lokasinya ada di sini.

Ada ungkapan yang menyebutkan, “Kiai cilik-lah, ananging iso ketemu Nabi Khidir (tidak apa-apa menjadi kiai kecil, tapi dapat berjumpa Nabi Khidir).”

Santri yang terakhir bercerita bahwa ia memeluk seorang wanita.

Wali Zambil berkata, “Kamu akan jadi kiai yang senang dengan wanita (berpoligami).”

Wanita adalah simbol dari kesenangan duniawi yang disenangi oleh manusia.

Wali Zambil memerintahkan agar ia kembali ke tanah air.

Syaikhina Maimoen Zubair tidak menyebutkan nama dan daerahnya saat menceritakan kepada orang banyak. Tetapi saat bersama dengan beliau di kamar Ndalem, penulis pernah diberitahu oleh beliau tentang siapa dan dari daerah mana santri itu berasal. Tetapi dilarang untuk menulis atau menyebutkannya.

Dari sini kita ketahui bahwa santri Mbah Maimoen Zubair memiliki silsilah spiritual yang sambung dengan Nabi Khidir.

Mbah Maimoen bin Zubair –> Mbah Zubair bin Dahlan bin Warijo bin Munandar –> Syaikh Baqir Nur Jogja –> Nabi Khidir.

BACA: 

Mbah Maimoen saat mondok di Lirboyo juga pernah bertemu dengan Nabi Khidir. Setelah pulang dari Setono Gedong, Mbah Maimoen ditemui Nabi Khidir yang menyamar sebagai seorang petani yang membawa cangkul dan memakai caping khas petani.

Nabi Khidir berkata bahwa Mbah Maimoen saat itu mempelajari ilmu agama dengan kitab berbahasa Arab. Akan tetapi suatu saat, Mbah Maimoen akan menemui zaman yang ilmu agama diajarkan dengan terjemahan.

Mbah Maimoen diperintahkan untuk memegang erat tata cara mempelajari ilmu agama dari kitab berbahasa Arab. Akan tetapi tidak boleh anti terhadap pelajaran ilmu agama dengan terjemahan.

Setelah dewasa, Mbah Maimoen Zubair membangun musholla yang menjadi cikal bakal pondok pesantren Al-Anwar. Di sana diajarkan ilmu-ilmu agama dari kitab berbahasa Arab. Mbah Maimoen juga membangun Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, SMK, STAI dan Ma’had Ali.

Di samping pengajaran yang mengikuti kurikulum, beliau juga tetap mempertahankan dan memajukan pendidikan dengan kitab berbahasa Arab.

Alhamdulillah, sebagian santri dan alumni Mbah Maimoen juga mendapatkan talqin dzikir yang melalui jalur Nabi Khidir dari Rasulullah.

Ditulis di dekat Sarang, Rembang.

Kontributor

  • Wahyudi

    Pernah belajar di Lembaga Pendidikan Muhadloroh PP. Al-Anwar Sarang Rembang dan sekarang menjadi pengajar di Muhadloroh PP. Al-Anwar Sarang.