Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Ulama yang menulis karya di penjara (1): As-Sarakhsi, tokoh besar mazhab Hanafi

Avatar photo
30
×

Ulama yang menulis karya di penjara (1): As-Sarakhsi, tokoh besar mazhab Hanafi

Share this article

Ketika cinta pengetahuan sudah terpatri dalam dada, rasanya tidak ada yang tidak mungkin dilakukan. Termasuk menulis di balik kejamnya penjara.

Meski menghuni jeruji besi penjara, para ulama tetap menjalankan aktifitas sebagaimana sedia kala. Mereka menalaah, mengajar, bahkan menulis karya. Kungkungan dan pembungkaman aktifitas sosial tidak begitu berarti bagi mereka.

Walau secara jasad mereka ditahan dan dimatikan geraknya, akan tetapi pemikirannya sejatinya selalu hidup bahkan juga ‘menggerakkan’ banyak orang.

Dalam khazanah sejarah Islam, catatan-catatan ulama yang tekun semacam itu banyak sekali terekam dalam lembaran tarikh. Di antaranya adalah Imam As-Sarakhsi (w. 483 H).

As-Sarakhsi merupakan salah satu tokoh ulama besar kalangan hanafiyyah. Nisbat Sarakhs dalam namanya mulanya nisbat dari daerah asalnya. Sarkhas adalah salah satu kota tua di antara Moro dan Naisabur. Sekarang daerah ini menjadi salah satu bagian di Negara Turkmenistan. Nama lengkapnya Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahl As-Sarakhsi.

Dalam kalangan mazhab Hanafi, nama al-Sarakhsi cukup diperhitungkan. Ia terkenal sebagai pakar fikih dan ushulnya. Karyanya al-Mabsuth merupakan salah satu kitab pegangan pokok dalam mazhab Hanafi. Uniknya, kitab ini ia tulis ketika sedang berada di penjara.

Kala itu pada tahun 466 H, ia sedang berpolemik dengan salah satu raja Khaqan. Pasalnya, sebelumnya ia mengeluarkan fatwa yang cukup keras atas apa yang dilakukan oleh Khaqan. Menurutnya perkawinan Khaqan dengan salah satu budaknya tidak sah dan haram. Hal itu disebabkan sang budak belum selesai masa ‘iddahnya. Dalam pandangan As-Sarakhsi pernikahan itu tidak absah secara syariat.

Sebagai raja yang punya otoritas yang kuat, ia pun tidak tinggal diam. Khaqan tidak terima dengan fatwa as-Sarakhsi, ia pun memutuskan untuk mengirimnya di penjara daerah selama 15 tahun.

As-Sarakhsi menerima dengan lapang dada keputusan dari Khaqan. Ia tidak peduli dirinya akan menderita di penjara selama itu. Yang terpenting menurutnya ia telah menyampaikan kebenaran ilmu yang ia ketahui. Ia pun percaya apa yang dilakukannya adalah benar.

Di penjara ia begitu menikmati masa-masa hukumannya. Seperti biasa ia masih menulis karya sebagaimana sebelumnya. Kitab al-Mabsuth yang fenomenal itu juga lahir ketika di penjara. Bersama murid-muridnya yang juga ikut dipenjara karena mendukungnya, ia mendikte bakal kitab al-Mabsuth ini. Setiap hari rutinitas itulah yang ia lakukan. Keistimewaannya lagi, kitab setebal 30 jilid itu, ia diktekan kepada muridnya setiap tanpa membuka referensi satu pun. Tapi jangan tanyakan kualitas dan otentitasnya, kecerdasannya memang luar biasa.

Dalam akhir kitab al-Mabsuth tersebut ia menuliskan secara tertulis bahwa ia menulisnya ketika di penjara:

انتهى شرح كتاب الإقرار المشتمل من المعاني ما هو سر الأسرار، وإملأ المحبوس في موضع الأشرار مصليا على النبي المختار

Telah selesai syarah Bab Iqrar yang memuat makna-makna yang merupakan rahasia dari segala rahasia. Ditulis dan didikte oleh seorang tahanan di penjara tempat orang-orang yang jelek, seraya memanjatkan shalawat kepada Nabi Muhammad Saw.”

Kelak, walaupun ditulis dengan serba keterbatasan, kitab ini mampu menjadi salah satu kitab induk dari perkembangan mazhab hanafiyah. Jika dibandingkan dengan kitab dalam lingkup mazhab Syafi’i kitab ini setara dengan Majmu’ Syarh Muhadzab milik Imam An-nawawi.

Tidak berhenti sampai di situ, dalam sel tahanan ia juga menulis kitab lain dalam bidang Ushul Fikih. Ia menulis syarah atas kitab Sair al-Kabir milik as-Syaibani (w. 189 H), salah satu murid kinasih Imam Hanafi. Ketika menulis kitab ini, tepatnya ketika menginjak bab Syuruth, ia dibebaskan dari masa hukumannya. Setelah keluar, ia selesaikan penulisannya.

Semua torehan karya as-Sarakhsi yang begitu luar biasa semasa di penjara merupakan buah dan hasil dari kecerdasannya yang luar biasa. Mengenai kredibilitas keilmuannya mungkin bisa sedikit kita intip dalam salah satu fragmen dalam kehidupannya. Suatu ketika dalam suatu perkumpulan, ia ditemui oleh salah seorang pemuda. Pemuda tersebut sedikit memancing.

“Konon, Imam Syafi’i menghafal lebih dari tiga ratus halaman.

Mendengar itu, ia menjawab secara diplomatis sambil merendah. Tapi tetap berkelas:

حفظ الشافعي زكّاة ما أحفظ

Hafalan Imam Syafi’i itu setara dengan (nishab) zakat dari apa yang saya hafal.

Maksudnya jika Imam Syafii hafal 300 halaman, maka yang dihafal oleh As-Sarakhsi adalah sekitar 40 kali lebih banyak atau sekitar 12.000 halaman.

Dua belas ribu halaman pada waktu itu bukan angka yang sedikit. Bahkan sudah terhitung jumlah yang sangat besar tentunya. Kita hari ini hafal sepuluh halaman saja sudah luar biasa.

Karya lain as-Sarakhsi juga terhitung banyak. Di antaranya, Syarh Jami’ al-Shaghir, al-Fawaid al-Fiqhiyyah, Syarh Mukhtashar Thahawiyyah, Tamhid fi al-fushul fi Ilm al-’Ushul dan lain sebagianya.

Selain karyanya yang berjibun ia juga dikenang sebagai sosok yang pertama kali memperkenalkan ‘ide’ keabsahan kartu kredit dalam fikih muamalah hanafi. Ide itu juga ia tuangkan dalam al-Mabsuth.

As-Sarakhsi wafat pada tahun 483 H di daerah Auzjand di negara Kirgistan.

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.