Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Al-Azhar Sebagai Sebuah Universitas dan Komunitas

Avatar photo
49
×

Al-Azhar Sebagai Sebuah Universitas dan Komunitas

Share this article

Mustafa Al-Azhari, seorang sarjana muslim Al-Azhar Mesir pernah menulis sebuah novel menceritakan dinamika mahasiswa Al-Azhar yang beragam latar belakangnya.

Novel itu berjudul Sayyiduna sebagai simbol “Al-Azhar”. Tokoh utamanya bernama Yunus seorang Azhari. Kemudian disusul oleh tokoh-tokoh lainnya semisal, Rabi seorang Sufi, Hudzaifah seorang Salafi-Wahabi, Abdussalam seorang ISIS (Islam State of Iraq and Syria), Hazem seorang Liberal dan Mus’ab seorang Ikhwanul Muslimin (IM).

Keenamnya tinggal dalam satu atap yang sama. Sehingga menimbulkan banyak problem dan pro-kontra satu sama lainnya.

Sekilas novel ini menggambarkan realita dan kenyataan yang ada dalam sebuah institusi tinggi Al-Azhar. Bahwa dari sekian banyak Mahasiswa yang terdaftar di lembaga tertua di dunia ini, memang memiliki latar belakang beragam.

Ada yang memiliki ideologi fundamental, liberal, sekuler, islamis, jihadis, sufis, bahkan ekstrimis. Keberadaan mereka di tubuh Al-Azhar merupakan representasi dari ketinggian sikap toleransi Al-Azhar itu sendiri.

Baca juga: Tanda Seseorang Keluar dari Manhaj Al-Azhar Mesir

Al-Azhar tidak melarang siapapun yang hendak menimba ilmu di ladang keilmuannya. Ia membuka pintu lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin belajar di Al-Azhar.

Namun, bukan berarti Al-Azhar tidak memiliki sebuah identitas diri, prinsip dan aturan yang dibakukan. Al-Azhar sebagai instansi Islam mempunyai itu semua.

Hal itu bisa kita lihat dari sikap Al-Azhar terhadap penolakan beberapa tesis dan disertasi yang tidak sejalan dengan visi-misi, metodologi dan epistemologi Al-Azhar. Al-Azhar berhak menganulir bahkan menolak apapun yang tak sesuai dengan khittah.

Sebab dengan meloloskan karya tulis ilmiah berlawanan dengan Al-Azhar, itu jelas sebuah musibah dan kontra-produktif.

Maka sebetulnya, siapa pun yang tidak menerima aturan main Al-Azhar maka siap-siaplah menerima konsekuensinya, meski terkadang bukan Al-Azhar yang memutuskan, melainkan Pemerintah.

Peraturan tersebut, tak hanya berlaku bagi strata S2-S3 saja, namun berlaku bagi semuanya. Berapa banyak mahasiswa Strata S1 yang dikartu-merah oleh Pemerintah lantaran kasus kamuflase ideologi.

Peran Al-Azhar Dalam Konteks Bakti Negara

Al-Azhar berperan serta memajukan dan mempertahankan keutuhan Negara Republik Arab Mesir.

Tragedi kudeta yang digaungkan masyarakat Mesir pada kolonial Inggris di tahun 1919 adalah tinta sejarah yang sangat membekas dalam memori masyarakat Mesir. Pun di tahun 1952 ketika kolonial Perancis. Iitu semua tak lepas dari campur tangan Al-Azhar.

Aksi Al-Azhar dalam membela negara tidak berhenti sampai situ. Pada bulan Ramadhan tanggal 6 Oktober tahun 1973 tentara Mesir atas seruan pimpinan tertinggi Al-Azhar saat itu, Syekh Abdul Halim Mahmud berhasil memukul rata Israel.

Hari bersejarah itu diabadikan oleh Mesir dengan memperingatinya setiap tahun dan menamakan salah satu kawasan dengan nama “Sitta Oktober” (Kota 6 Oktober) sebagai simbol kemenangan atas tentara Israel.

Imam besar Al-Azhar sekaligus pimpinan tertinggi institusi Majelis Hukama al-Muslimin (Muslim Council of Elders), Al-Allamah Shahibul Fadilah Grand Syekh Ahmad Muhammad At-Tayyeb dalam silsilah muhadarat Al-Imam seri kedua yang berjudul Fi Manhaj Al-Azhar (Dalam Metodologi/Manhaj Al-Azhar) mengulas tentang cinta tanah air dengan Rasulullah Saw. sebagai figur :

لما أخرج من مكة المكرمة، وودعها بكلمات جسدت ما في قلبه الشريف من بر بالوطن، وتعلق به، فقد قال مخاطبا مكة المكرمة: ما أطيبك وأحبك إلي، ولولا أن قومك أخرجوني منك ما سكنت غيرك . أخرجه الترمذي: ٣٩٢٦

“Manakala Rasulullah Saw diusir dari Makkah Al-Mukarramah, beliau mengucap salam perpisahan kepada negerinya itu dengan menggunakan kalimat yang sudah mendarah-daging di dalam relung hatinya, sebuah kalimat yang mengekspresikan bakti dan cinta terhadap tanah airnya, kepada Makkah Al-Mukarramah. Beliau berujar, “Sungguh betapa baik dan sayangnya engkau kepadaku, andai saja pendudukmu tidak mengusirku dari sini, niscaya aku akan tetap tinggal di sini.” (HR. At-Tirmidzi)

Rasulullah Saw. pada awal dakwah Makkah disiksa, disakiti dan diintimidasi oleh penduduknya. Makkah, tanah kelahiran beliau, merupakan sarang bagi penyembah berhala (paganisme) dan markasnya kaum musyrikin.

Kendati demikian, di detik-detik terakhir hendak meninggalkan Kota Makkah Al-Mukarramah, beliau mengucapkan kalimat selamat tinggal kepada tanah air dan penduduknya dengan kalimat penuh rasa cinta itu.

Tak hanya Rasulullah yang bersedih meninggalkan Makkah. Para sahabat juga demikian. Sayyidina Abu Bakar dan Sayyidina Bilal -Radhiyallahu anhuma- juga bersedih.

Bahkan, Sayyidina Bilal apabila ditimpa sakit demam kemudian sembuh dan sadar, beliau mengekspresikan sakitnya panas demam itu seperti berpisah dari tanah airnya seraya mendendangkan syair:

ألا ليت شعري هل أبيتن ليلة

بواد وحولي إذخر وجليل

هل أردن يوما مياه مجنة

وهل يبدون لى شامة وطفيل

أخرجه البخاري: ١٧٧٩

“Apakah aku bisa bermalam di sebuah lembah yang dikelilingi oleh Idhkhir dan Jalil (dua macam rumput berbau harum). Apakah itu suatu hari aku akan minum air dari Majinna? Tampak padaku bukit Shama dan Tafil (dua bukit di Makkah).”

Rasulullah Saw. berhasil mengintegrasikan antara kaum Ansor dan kaum Muhajirin, beliau membuat perjanjian madani antara dua belah pihak; Muslimin dan Non-Muslimin, demi menjaga keutuhan sebuah negara baru (Negeri Madinah).

Di antara buah positif dari perjanjian tersebut adalah, warga Yahudi yang bermukim di Madinah adalah bagian dari warga Negara Islam, kemudian Rasulullah Saw. menuliskan:

 أن يهود بني عوف أمة مع المؤمنين

“Sesungguhnya umat Yahudi dari kalangan Bani Auf merupakan satu kesatuan bersama orang-orang mukmin.”

Begitulah Grand Syekh  Ahmad Muhammad At-Tayyeb mengurai khazanah cinta tanah air dengan lugas dan tegas. Sejatinya, sebagai Azhari, para mahasiswa berdiri tegak di belakang mengikuti langkah beliau sebagai suri teladan.

Kontributor

  • Ahmad Fauzan Azhima

    Achmad Fauzan Azhima, pemuda asal Banten. Mahasiswa Universitas al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Ushuluddin. Dept. Teologi-Filsafat. Peminat kajian Filsafat, Teologi dan Teosofi. Pernah jadi anak bawang di SASC (Said Aqil Siradj Center) Mesir dalam kajian Historis Islam Klasik.