Suatu
kali ada seseorang hendak berhaji, dia berpamitan pada Bisyr Al-Hafi (seorang
tokoh sufi w. 227 di Baghdad), “Saya hendak melaksanakan haji. Saya mohon nasehatmu.”
“Berapa
ongkos haji yang kamu bawa?” sahut Bisyr dengan pertanyaan. Dia menjawab, “2000 dirham.”
Di
masa itu belum ada angkutan cepat seperti saat ini. Orang itu tinggal di satu
kota dengan Bisyr Al-Hafi, kota Baghdad.
Jarak tempuh ke Mekah kisaran 1.788 km.
Jadi ongkos 2000 dirham merupakan ongkos dan perbekalan orang kaya masa itu.
“Apa
yang kamu cari dengan hajimu? Rekreasi? Kerinduan pada Baitullah? Atau mengharap
ridla Allah?” lanjut Bisyr Al-Hafi.
Lelaki
itu menjawab, “Ridha Allah.”
Dengan
serius Bisyr berbisik,
“Seandainya kamu bisa
mendapat ridla Allah tanpa meninggalkan rumah: dengan cara menginfakkan 2000
dirham milikmu, dan kamu yakin akan mendapat ridha-Nya karena hal itu; apa kamu mau
melakukannya?”
lelaki
itu menjawab tegas,
“Iya.”
“Jika
demikian,” perintah Bisyr “sekarang juga berikan uangmu ke 10 orang yang
membutuhkan: berikan pada orang yang terlilit hutang, fakir yang kelaparan, bapak-bapak
yang menanggung beban keluarga, orang yang mendidik anak yatim dst. Jika hatimu
kuat berikan pada mereka! Sesungguhnya membahagiakan hati seorang muslim,
membantu mengeluarkan seseorang dari kesusahan, membantu orang yang terdesak
jauh lebih baik dari melaksanakan haji setelah haji islam (wajib).”
“Nah,
pulanglah! Lakukan apa yang saya perintah. Bila tidak, maka coba tanyakan lagi
hatimu.” Pungkasnya.
Pria
itu menunduk kemudian mendongak lagi seraya berkata, “Wahai Abu Nashr
(Al-Hafi), di hatiku keinginan untuk pergi menuju tanah haram jauh lebih kuat.”
Mendengar
pernyataan ini Al-Hafi hanya tersenyum, kemudian menghampirinya sambil berbisik,
“Harta yang dikumpulkan dari kerja yang subhat selalu menarik pemiliknya agar
mementingkan perbuatan lahir. Sementara Allah tak akan menerima amal perbuatan
kecuali yang muncul dari seorang yang bertakwa.”
Fikih
Prioritas
Kisah
ini menyimpan pesan pada kita tentang pentingnya mamahami fikih prioritas (fiqh
awlawiyat), yang sering diabaikan atau memang belum diketahui oleh kaum
muslimin masa kini. Bisyr Al-Hafi tidak menghalangi orang tersebut untuk
melaksanakan haji, dia hanya mengarahkan ke amal perbuatan yang harus
diprioritaskan.
Sebab
lelaki tersebut sudah pernah melaksanakan haji islam (wajbnya). Haji-haji
selanjutnya adalah sunnah. Sementara membantu orang yang terdesak, terlilit
hutang, menanggung anak yatim bisa jadi bernilai wajib. Maka jelas, amal wajib
lebih didahulukan dari yang sunnah.
Belum
lagi, jika naik haji berikutnya ditunggangi kepentingan hawa nafsu karena ingin
pamer (riya’). Maka ibadah tidak ada nilainya di sisi Allah. Hanya menghabiskan
uang dan dapat capeknya saja. Betul, dia akan menjadi buah bibir dan mendapat
pujian karena prestasinya ini. Tapi kelak di akhirat dia akan menyesal sebab
pahalanya nol. Hilang karena sifat-sifat tercela yang ada dalam dirinya dan
niat jelek di balik ibadahnya.
Kekayaan
Bisa Melaknat
Bila
ternyata tetangganya ada yang kelaparan sementara dirinya sibuk membangun
reputasi dan membesarkan egoismenya sendiri maka dia dilaknat oleh para
malaikat dan seluruh umat manusia, seperti dalam hadis ملعون
من بات شبعانا وجاره جائع terlaknat orang yang menginap dalam keadaan
kenyang sementara tetangganya kelaparan. (HR. At-Thabrani dan Al-Bazzaz)
Menurut
banyak ulama yang meneliti redaksi (matan) hadis menyimpulkan bahwa hadis yang
memakai kata “mal’un” atau yang berasal dari akar kata “لعن” maka itu bisa dipastikan “dosa besar”. Selain salah menurut
agama, perilaku buruk semacam itu juga menodai kemanusiaan kita. Ke mana sifat
simpati dan empati kita terhadap kaum fakir miskin?! Itu pesan yang ingin
disampaikan oleh Bisyr Al-Hafi.
Amalan-amalan
Setara Pahala Haji dan Umrah
Semakin
menjamurnya travel didukung dengan kecanggihan teknologi dan kecepatan informasi,
orang-orang kaya banyak yang lupa diri tergiur oleh iklan-iklan manis bagian pemasaran
jasa travel. Tanpa terasa pergi umroh atau haji berubah menjadi habit, bukan
lagi kekhusuan ibadah tapi menjadi ajang gengsi dan pamer di medsos. Berbagai
macam alasan keluar dari mulutnya: rindu baitullah, rindu Rasulullah, namun
sebenarnya ia hanya ingin jalan-jalan menghabiskan duit dengan cara yang
terlihat islami.
Padahal
jika mau—menurut Majma’ Al-Buhust Al-Islamiyah (Badan Riset Keislaman Al-Azhar)—ada
amalan wajib disekitarnya yang jauh lebih besar pahalanya dari haji atau umrah kedua
yang bernilai sunnah. Atau setara dengan haji-umrah bagi yang belum pernah.
Rasulullah menjanjikan pahala setara haji dan umrah, tanpa dikurangi
sedikitpun:
1. Seorang yang berniat sungguh-sungguh dalam
hati tapi hingga ajal menjemput dia tak diberi anugerah untuk melaksanakannya.
Maka kelak akan dicatat pahala sesuai apa yang diniatkan, termasuk niat
haji-umrah, seperti dalam HR. At-Tirmizi.
2. Berbakti pada orang tua. Diriwayatkan bahwa
seseorang menghadap Rasulullah Saw mengutarakan, “Saya
ingin berjihad tapi tidak bisa.”
Rasul bertanya, “Apa kedua orang tuamu masih
hidup?” Dia menjawab, “Ibuku masih hidup”.
Rasulullah berpesan,
“Bertakwalah dan berbaktilah
pada ibumu. Jika kamu melaksanakan maka kamu sama dengan orang yang haji, umrah
dan berjihad.” (HR. Al-Baihaqi)
3. Duduk di masjid setelah shalat subuh
berjemaah hingga muncul matahari menjelang waktu Dhuha. Sebagaimana sabda Nabi,
“Barangsiapa yang shalat Subuh berjemaah, duduk berzikir hingga matahari naik,
lantas shalat dua rakat (Dhuha) maka pahalanya setara haji dan umrah sempurna,
sempurna, sempurna.” (HR. At-Tirmizi)
4. Melaksanakan
shalat wajib di masjid secara berjamaah, sesuai sabda Nabi “Barang siapa keluar
dari rumahnya dalam keadaan suci menuju shalat wajib maka pahalanya sama dengan
pahala haji yang sudah memakai ihram.” (HR. Abu Daud)