Artikel

Bolehkah Mengajarkan Tasawuf kepada Masyarakat Awam?

23 Nov 2020 06:00 WIB
1946
.
Bolehkah Mengajarkan Tasawuf kepada Masyarakat Awam?

Mengajarkan ilmu tasawuf untuk kalangan awam menjadi polemik di kalangan umat Islam tradisional. Ada yang mendukung namun tak sedikit yang menentangnya. Bagaimanapun ilmu tasawuf adalah ilmu lanjutan yang hanya bisa diajarkan pada murid-murid yang sudah dianggap mapan ilmu syariatnya. Namun sebagian malah memandangnya sejajar karena membersihkan hati, sebagai fokus kajian tasawuf, sama mendesaknya.

Di sini saya tak akan menyinggung pihak yang memang dari awal sudah bersikap antipati terhadap salah satu keilmuan Islam ini. Kelompok yang mengambil posisi berlawanan dengan ilmu tasawuf seperti Wahabi tak layak dibahas di sini. Mereka adalah pengingkar salah satu pilar inti Islam berupa konsep Ihsan dalam hadis Jibril as.

Baca juga: As-Sirâj Al-Munîr: Kitab Tasawuf Karya KH. Utsman Dhomiri, Pejuang Kemerdekaan

Pengajian Tasawuf di Indonesia

Fakta di lapangan, masyarakat tradisional pesantren sangat akrab dengan kitab-kitab seperti Bidayat Al-Hidayat, Ihya Ulumudin, Al-Hikam, Kifayat Al-Atqiya’, Nasha’ih Diniyah dst. Ulama Nusantara juga menulis buku-buku tasawuf seperti Syeikh Ihsan Jampes yang mengomentari Minhaj Al-Abidin milik Al-Ghazali, Imam Nawawi Banten yang mengomentari Kifayat, maupun puluhan buku tentang teknik-teknik tarekat.

Majlis-majlis ilmu, baik di pesantren maupun di luar, juga tak pernah sepi dari kajian ilmu tasawuf. Jadi yang dipermasalahkan bukan ilmu tasawufnya tapi kitab apa yang dibaca dan disuguhkan serta siapa yang menyuguhkannya. Selama kitab yang dijadikan diktat adalah kitab tasawuf sunni, yang tidak falsafi maka sah-sah saja.

Lantas, siapa yang membacanya? Ini juga menentukan penerimaan masyarakat terhadap ilmu tasawuf. Jika yang membaca adalah Kyai Asrori Al-Ishaqi Surabaya, Kyai Anwar Manshur Lirboyo, Habib Ahmad bin Husein As-Segaf Bangil Pasuruan, Kyai Jamaludin Ahmad Jombang dll. maka tidak ada masalah.

Baca juga: Ngopi: Antara Tasawuf, Revolusi dan Kolonialisme

Pengajaran Tasawuf di Masa Klasik

Bagaimana dengan ulama klasik? Mereka juga terbelah dalam dua arus besar berkaitan dengan boleh dan tidaknya mengajarkan ilmu tasawuf untuk masyarakat umum. Ada arus Abu Al-Husein An-Nuri (w. 295 H) yang menentang keras pengajaran tasawuf pada masyarakat awam. Sementara arus kedua adalah mazhabnya Imam Al-Junaid (298 H).    

Saat Al-Junaid ditanya dengan nada sinis oleh ulama lain, “Berapa orang yang telah kamu ajak menuju Allah?”

Imam Al-Junaid menjawab, “Saya mengajak masyarakat umum bersama menuju Allah.” Beliau adalah orang pertama yang mengajarkan tasawuf pada masyarakat awam. Dia juga menambahkan, “Ilmu bisa menjaga dirinya sendiri dari orang-orang yang tidak pantas memahaminya.”

Majlis Al-Junaid di masjid Al-Manshur Baghdad dihadiri oleh semua lapisan masyarakat: awam, fuqaha, ahli hadis, sastrawan, bahkan filsuf. Semua terkesima dengan penyampaian Imam Al-Junaid sebab dahaga ilmu masing-masing terpuaskan.  

Dari sini popularitasnya semakin menanjak sehingga kelak Imam Al-Junaid menjadi ikon tasawuf sunni. Al-Junaid selalu mengaitkan ajarannya pada Al-Qur’an dan Hadits. Sehingga ada ungkapan dia yang menjadi acuan hingga saat ini, “Semua jalan menuju Allah buntu, kecuali mengikuti Rasulullah Saw.”

Abu Al-Husein An-Nuri mengikuti mazhab ulama sebelumnya seperti Al-Hasan Al-Bashri (110 H) yang tak mau mengajarkan ilmu ini kecuali pada murid yang dianggap bisa mencernanya. Bahkan Al-Bashri akan menutup pintu dan hanya mengajarkannya pada Farqad As-Subhi, Malik bin Dinar dan yang dianggap sudah siap.

Baca juga: Al-Faqih Al-Muqaddam, Penggagas Tarekat Alawiyah dan Jejak Apolitiknya

Menurut Ibn Ajibah Al-Hasani, mazhab An-Nuri adalah mazhab Jumhur sebelum kedatangan Imam Al-Junaid. Hal ini didasarkan pada sikap prefentif agar tasawuf tidak disalah pahami oleh pihak-pihak yang tidak kompeten, atau dijadikan alasan bagi para pengingkar ilmu tasawuf.

Lihat saja sikap Imam Al-Qusyairi dalam Ar-Risalah yang melarang mengajarkan ilmu ini pada awam. Atau Imam Ali Zainal Abidin (cicit Nabi Saw) yang mengatakan, “Di dadaku ada puluhan ilmu, yang kalau aku ungkapkan maka aku akan dipenggal.”

Titik Perselisihan

Yang menjadi tiik polemik bukan pada ilmunya tapi tema dan substansi yang diajarkan. Kedua, siapa pengajarnya. Dalam tasawuf ada tema-tema yang memang sensitif karena ungkapan yang muncul dari lisan maupun tulisan mereka berasal dari meluapnya pengalaman kesufian yang tak terbendung kemudian disalahpahami (biasanya disebut syatahat), atau berasal dari maksud memberi petunjuk.

Untuk yang berasal dari pengalaman kesufian tertentu akan selalu mengundang kontroversi. Pengalaman ini pula yang mengantarkan Al-Hallaj dan Seikh Siti Jenar pada tiang eksekusi; sebagian yang lain dituduh zindik, sesat dan gila.

Adapun tasawuf normatif yang dimuat dalam kitab-kitab populer di atas, maka tak akan menimbulkan masalah. Meski saat saya mengaji Ihya pada Habib Zain bin Hasan Baharun sewaktu di Bangil, beliau akan melewati begitu saja penjelasan tasawuf falsafi yang dimuat dalam Ihya. Teknik mengajar seperti ini adalah cara mengajar ulama Yaman dan dianggap jalan tengah yang aman. Toh, muatan falsafi yang ada biasanya berasal dari pengalaman pribadi Imam Al-Ghazali yang sangat privatif.

Baca juga: Dimensi Sufistik dalam Kitab Nahwul Qulub Imam Al-Qusyairi

Sementara ulama Al-Azhar, biasanya, lebih terbuka dalam menjelaskan muatan tasawuf falsafi. Tentu dalam koridor ilmu yang absah bukan penjelasan ngawur ala kaum liberal. Dengan kelengkapan ilmu-ilmu pendukung, semacam mantiq dan balaghah, anasir falsafi dalam Ihya bisa dijelaskan karena setiap yang tertulis pasti bisa dijelaskan meski belum tentu benar karena menyangkut pengalaman seseorang, bukan pengalaman diri.

Siapa Yang Layak

Legalitas mengajarkan tasawuf bersifat dinamis. Imam Al-Junaid baru mau mengajarkan tasawuf setelah didatangi oleh Rasulullah Saw dalam mimpi yang mengatakan takallam ‘ala an-nas “Kamu sudah waktunya berbicara pada orang-orang.” Atas dasar inilah Imam Al-Junaid merasa mantap mengajarkan tasawuf pada masyarat.

Perjumpaan batin dengan Rasulullah merupakan otoritas tertinggi dalam tasawuf. Setelah Al-Junaid masih banyak ulama yang mendapat mandat dan perintah langsung dari Rasul. Tapi tak sedikit yang menjadikan perintah guru tarekat (mursyid) atau kyainya serupa dengan ijazah. Tentu pengaruh dan fungsinya tidak sama. Majlis Imam Al-Junaid dihadiri puluhan ribu peserta; berhasil membuat ribuan orang tobat atau masuk Islam.

Baca juga: Traveling Ala Kaum Sufi

Ada lagi legalitas akademik yang diraih para sarjana di kampus. Mereka menempatkan tasawuf sebagai sebuah ilmu saja. Penguasaan mereka terhadap sejarah, tokoh-tokoh dan ajaran tasawuf tak tertandingi tapi, biasanya, miskin pengamalan. Tasawuf menjadi kurikulum kuliah yang kering karena tercerabut dari akarnya: amaliah. Persis seperti prediksi Imam Az-Zarruq bahwa tasawuf tanpa diamalkan tak bisa disebut sebagai tasawuf.

Abdul Munim Cholil
Abdul Munim Cholil / 44 Artikel

Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya

Fazli
19 July 2023
Referensinya ustadz

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: