Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Cara Berlogika Ibnu Mālik dalam Alfiyah Menjelaskan Akidah Asy’ariyah

Avatar photo
40
×

Cara Berlogika Ibnu Mālik dalam Alfiyah Menjelaskan Akidah Asy’ariyah

Share this article

Dalam dunia literasi Islam, khususnya dalam hal ilmu gramatika bahasa Arab, ada satu kitab yang tidak asing dan jamak diketahui oleh pelajar Muslim seluruh dunia. Bahkan mungkin dianggap sebagai kekurangan, jikalau ada seorang pelajar ilmu-ilmu keislaman kok tidak mengetahui kitab ini.

Kitab tersebut tak lain dan tak bukan adalah Nadzam Alfiyah buah karya Al-Imam Jamāluddīn Muhammad bin Abdullah bin Mālik al-Andalūsi al-Jayyāni. Atau lebih dikenal dengan nama Alfiyah Imam Ibnu Mālik. Nama lainnya lagi adalah Al-Khulashah alias ringkasan.

Penyematan nama Alfiyah pada kitab tersebut, sebab ingin menunjukkan bahwa jumlah bait atau badzam yang digubah itu berjumlah 1000 bait. Dengan ada tambahan dua bait yang diambil dari karya orang lain dan lalu dimasukkan sebagai contoh dalam kitab tersebut.

Pada kesempatan singkat ini, saya tidak ingin membahas secara detil keistimewaan dan kekhasan Imam Ibni Mālik melalui Nadzam Alfiyah-nya tersebut. Karena sudah banyak yang melakukan.

Tetapi secara pribadi, saya tergelitik saat kemarin belajar bersama teman-teman santri dan sampai pada Bab tentang Badal. Setelah Ibnu Mālik menuturkan bait pertama tentang definisi badal, beliau menuturkan pembagian Badal pada bait ke-2. Beliau berkata:

مطابقا أو بعضا أو ما يشتمل * عليه يلفى أو كمعطوف ببل

Badal yang pertama, dinamai oleh Imam Ibnu Mālik dengan Badal Muthābiq yang secara bahasa bermakna cocok. Padahal, umumnya kitab Nahwu–tentunya yang saya ketahui–itu memberi nama badal pertama ini dengan sebutan Badal Kull Min Kulli, artinya Ganti semua dari semua juga. Lalu apa gerangan alasan Ibnu Mālik menggantinya dengan istilah Badal Muthābiq ini?

Pertanyaan di atas secara lugas dan singkat dijawab oleh Al-Imam As-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dalam Syarah beliau atas Nadzan Alfiyah yang berjudul Al-Azhār Az-Zainiyyah. Di sana beliau mengatakan:

(وسماه الناظم المطابق تأدبا مع الله تعالى لوقوعه في أسمائه. نحو (إلى صراط العزيز الحميد. الله

“Nādzim (penggubah Syair) memberi nama (pada Badal pertama ini) dengan nama Muthābiq, sebagai bentuk menjaga Adab pada Allah SWT. Karena Badal pertama ini juga terjadi pada nama Allah. Contoh pada ayat ( إلى صراط العزيز الحميد. الله )”

Bagaimana maksud Sayyid Ahmad Zaini Dahlan di atas?

Dalam kajian Ilmu Kalam/ilmu Tauhid Ahlussunnah Wal Jama’ah (Asy’ari-Maturidi) dijelaskan bahwa salah satu Sifat Allah adalah Wahdāniyyah. Artinya “tunggal” atau sering juga kita sebut dengan “esa”.

Wahdāniyah ini masuk dalam kategori salah satu Sifat Salbiyah yang artinya meniadakan dan menafikan segala hal yang tidak layak bagi Allah. Oleh karenanya, saat kita mengatakan (Allah adalah Tuhan yang tunggal, baik Dzat, Sifat maupun Af’āl-Nya). Artinya tunggalnya Dzat Allah meniscayakan adalah negasi (penafian/peniadaan) adanya Kull dan Juz’ pada Dzat-Nya.

Jadi, Allah bukanlah Kull yang tersusun dari beberapa bagian (Juz) yang berkumpul menjadi satu. Allah juga bukan Juz yang menjadi bagian penyusun dari Kull. Kenapa bukan keduanya? Sebab Kull maupun Juz adalah Lawāzim (sesuatu yg tidak bisa terlepas) dari Makhluk. Dan Allah tidaklah serupa dengan Makhluk-Nya. Allah berfirman:

ليس كمثله شيء

“Tidaklah ada sesuatu apapun yg menyerupai Allah sama sekali”

Jelas bukan? Semoga mudah untuk dipahami.

Nah, kalau kemudian Imam Ibnu Mālik menyebut Badal yang pertama dengan istilah (Kull Min Kull), sementara Badal pertama ini terjadi juga praktikalnya pada nama-nama Allah, bukankah ini bisa mengindikasikan bahwa Allah sama dengan Makhluk-Nya? Seperti saya jelaskan di atas tadi.

Guna menghindari kesalah pahaman tersebut, Ibnu Mālik membuat istilah lain yg sama sekali tidak menjurus pada arah Tasybīh atau pun Tajsīm. Yang keduanya bertentangan dengan Akidah pokok Ahlussunnah wal Jama’ah (Asy’ari-Maturidi).

Penjelasan di atas ini, tidak lain hanyalah sebagai bukti, bahwa kepakaran Imam Ibnu Mālik dalam ilmu bahasa, tidak lantas menjadikan beliau buta dalam ilmu Kalam (Aqidah). Dan bahkan, ilmh Bahasa beliau ini dijadikan sebagai sarana menyampaikan ilmu Akidah juga. Walaupun secara isyarat saja.

Wallahu A’lam.

Kontributor

  • Dhiya' Muhammad

    Kyai muda asal Demak. Pernah nyantri di PP. Al-Anwar asuhan Alm. KH. Maimoen Zubair. Sekarang aktif menulis, mengajar ngaji di PP. Al-Misykat. Desa Kalisari, Sayung, Demak dan berdagang.