Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Dakwah Itu Memengaruhi, Bukan Memaksa

Avatar photo
37
×

Dakwah Itu Memengaruhi, Bukan Memaksa

Share this article

Filosofi
ayat “tidak ada paksaan dalam beragama” dapat dijelaskan lewat konsep
keterpengaruhan menurut Ibnu Sina, sebagaimana yang tertuang dalam risalah
‘Tentang Cinta’. Seseorang tak bisa memaksakan ide, konsep, maupun gagasan
kepada orang lain jika hal itu tidak disertai dengan keterpengaruhan. Dari sini
kiranya perlu membahas hakikat pengaruh sebelum menginjak ke persoalan di atas.

Memakai
analisis Ibnu Sina, pengaruh adalah suatu keadaan di mana objek yang
terpengaruh berada dalam posisi pasif. Caranya adalah dengan meletakkan
‘arketipe’, baik dari maupun dalam diri sang objek. Di tataran hukum semesta, Ibnu
Sina menyontohkan pengaruh dari matahari terhadap objek semisal baju. Matahari
tidak punya daya untuk memengaruhi baju jika tidak ada arketipe yang dapat
diterima oleh baju. Arketipe itu berupa cahaya. Melalui cahaya, matahari dapat
memberi pengaruh kepada baju karena baju dapat menjadi kering akibat terkena
cahaya tersebut. Artinya, selain matahari aktif dalam menitipkan arketipe
cahaya, adanya keterpengaruhan juga membutuhkan pasivitas baju untuk menerima
pengaruh cahaya tersebut.

Ditarik
ke masalah tak ada paksaan dalam beragama, maka, melalui Ibnu Sina, saya
berkata:

Betul
sekali bahwa agama (gagasan, doktrin, dan ajaran) tidak bisa dipaksakan kepada
orang mana pun tanpa mengandaikan adanya arketipe. Agama sebagai agama itu
sendiri harus ‘menyelaraskan’ dirinya dengan objek pasifnya. Ibarat air, agama
harus menyiapkan arketipe yang siap dipengaruhi oleh air tersebut. Arketipe itu
adalah ‘kebasahan’ yang mampu ditampung objeknya, semisal dengan menjadikan
objeknya baju atau tisu. Tanpa arketipe ini dan tanpa objek pasif yang
disesuaikan, maka agama sebagai agama tak akan pernah bisa memengaruhi.

Telah
disepakati oleh mayoritas pakar bahwa makhluk yang beragama hanya manusia dan
jin. Keduanya dapat menerima agama karena adanya pasivitas yang memungkinkan
keduanya bisa terpengaruh oleh agama. Sebagian pakar menyebut arketipe itu
‘fitrah’, sebagian yang lainnya menyebutnya ‘hidayah’. Fitrah atau hidayah
inilah yang memampukan agama memengaruhi manusia dan jin.

Dalam
tinjauan filosofis maupun mistis, manusia senantiasa rindu pada hal yang berupa
metafisis. Hal-hal metafisis bersifat transendental dan universal. Hanya
makhluk dengan fitrah akal budi yang dapat menemukan transendentalitas dan
universalitas di balik sesuatu yang imanen dan partikular. Kehendak bebas
adalah bahasa lain yang dicetuskan pakar teologi dan sekaligus pakar etika
untuk menggambarkan kemungkinan manusia dapat menerima agama. Adanya orang yang
tidak dapat menerima agama tidak menunjukkan fitrah untuk beragama tidak ada,
melainkan menunjukkan adanya hijab. Pasivitas baju di hadapan matahari melalui
arketipe cahaya pasti menimbulkan keterpengaruhan jika tidak ada hijab. Hijab
itu bisa berupa apa saja, bisa mendung, tembok, maupun atap. Hijab ini tidak
bersifat esensial, ia hanya aksidental, kadang ada kadang tidak.

Jika
masih ada yang menyangsikan soal adanya orang yang sama sekali tidak bisa
terpengaruh oleh agama, maka analisis arketipe yang kedua, yakni hidayah, dapat
dilibatkan. Hidayah secara leterlek bermakna petunjuk. Dalam konteks agama,
hati atau pikiran adalah alat atau sarana yang dapat melajurkan orang di jalan
menuju agama. Hati inilah tempatnya hidayah. Dalam menerima pengaruh agama,
hati dapat dibuat lunak untuk menerima kebenaran agama. Kisah sahabat Umar
dapat menjadi acuan. Tetapi hati kadang dibutakan oleh perkara aksidental,
yaitu dengan cara menghijabnya dari kebenaran atau dengan cara membuatnya keras
(qaswah). Al-Quran menggambarkan kekerasan hati yang terhalang dari menerima
hidayah agama sebagai hati yang seperti batu atau lebih keras daripada batu
(Al-Baqarah: 74).

Dengan
demikian arketipe agama dan hidayah dalam hal itu tidaklah absen, yang hilang
adalah pasivitas hati dalam menerima arketipe tersebut lantaran perkara yang
sebenarnya aksidental. “Tak ada paksaan dalam beragama” menjadi benar dalam
dirinya sendiri ketika dilihat dari konsep ‘pilihan bebas’ di mana dengan hal
itu manusia juga dituntut untuk bertanggungjawab atas segala hal yang telah ia
perbuat. Dan jangan lupa, ketika ayat ‘tak ada paksaan’ itu diungkap, kita
harus selalu menyertakan kalimat setelahnya: “telah jelas (perbedaan) antara
jalan yang benar dengan jalan yang sesat.” Agama—tentunya pemuka dan
pemeluknya—harusnya bukan memaksa orang untuk beragama, melainkan menyamakan
‘frekuensi’ tentang mana yang benar dan mana yang sesat, agar dengan demikian,
hati orang akan terketuk dengan sendirinya karena antara arketipe agama dan
pasivitas objeknya terdapat kontak langsung. Itulah hakikat dakwah.

Kontributor

  • M.S. Arifin

    M.S. Arifin, lahir di Demak 25 Desember 1991. Seorang penyair, esais, cerpenis, penerjemah, dan penyuka filsafat. Bukunya yang sudah terbit: Sembilan Mimpi Sebelum Masehi (antologi puisi, Basabasi, 2019) dan Mutu Manikam Filsafat Iluminasi (terjemahan karya Suhrawardi, Circa, 2019). Bisa dihubungi lewat: ms.arifin12@gmail.com.