Artikel

Fatwa dan Manusia: antara MUI dan Kita

06 Apr 2020 06:50 WIB
1972
.
Fatwa dan Manusia: antara MUI dan Kita

Istilah Majelis Ulama Indonesia atau biasa disebut MUI sudah tidak asing terdengar di telinga masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat muslim. Ketika terdengar kata MUI maka pikiran kita akan mengaitkannya dengan fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh organisasasi tersebut.

Hal itu sangat wajar karena merupakan salah satu tugas MUI adalah memberi fatwa.  Layaknya orang tua, MUI selalu memilih dan memilah serta memutuskan mana yang baik dan mana yang buruk bagi anak-anaknya yang tidak lain adalah masyarakat muslim Indonesia. Hampir di segala aspek kehidupan masyarakat muslim Indonesia, MUI berupaya memastikan manfaat dan mudharat bagi kita.

Mulai dari makanan, minuman, kosmetik, sampai isu-isu hangat yang berkaitan dengan umat Islam. Hal ini dilakukan dengan harapan dapat mewujudkan kemashlahatan bukan hanya bagi masyarakat muslim Indonesia, tapi bagi seluruh rakyat Indonesia. Demi membantu mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia, MUI hadir untuk mengurusi sektor keagamaan, khususnya umat Islam.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, bahwa salah satu tugas MUI adalah memberikan fatwa, baik itu terkait halal atau haramnya sebuah produk maupun fatwa mengenai isu terhangat terkait umat Islam. Namun ada hal mendasar yang perlu dipertanyakan terkait tugas tersebut.

Perlu kita ketahui bersama bahwa pada dasarnya sifat fatwa hanya mengikat pada orang yang meminta fatwa (mustafti), maka bisa jadi sebuah fatwa tersebut tidak berlaku bagi selain daripada pihak yang memintanya.

Hal demikian dapat kita temukan, misalnya dalam kitab Adabul 'Alim wal Muta'alaim wal Mufti wal Mustafti karya Imam An-Nawawi. Jika memang demikian, muncullah pertanyaan, bukankah jika seperti itu adanya berarti fungsi fatwa MUI sangatlah terbatas?

Untuk menjawab hal itu maka perlu diketahui terlebih dahulu bahwa fatwa MUI ada dikeranakan: (1) Ada pihak yang meminta fatwa (mustafti) kepada MUI, atau; (2) MUI memberikan fatwa tanpa adanya permintaan terlebih dahulu dari mustafti, artinya MUI bersifat proaktif terhadap problematika yang sedang terjadi.

Sebab pertama sudah jelas menghubungkan antara mufti dan mustafti, tapi sebab kedua tidak didahului adanya permintaan dari mustafti menimbulkan pertanyaan mendasar apakah itu berarti fatwanya berlaku secara universal?

Pertanyaan ini tentu bukan menyoal benar dan salah, terlebih karena fatwa MUI tidak semerta lantas ditolak semua. Hal tersebut karena beberapa alasan:

1. MUI menggunakan sistem ijtihad kolektif

Kebanyakan dari kita memiliki gambaran awal mengenai mufti dan mustafti adalah 1 peminta fatwa dan 1  mufti. Keliru jika kita mengartikan 1 penjawab berarti 1 orang karena yang sedang kita bicarakan adalah MUI. 

Tepatnya adalah 1 penjawab diartikan sebagai MUI sebagai satu organisasi, yang artinya semua orang yg ikut serta dalam proses ijtihad kolektif ini terikat oleh fatwa yang akan dikeluarkan.

2. Adopsi fatwa MUI

Fungsi fatwa MUI begitu fleksibel, penggunaan istilah "adopsi fatwa" bukan tanpa alasan. Melihat begitu pesatnya perkembangan zaman pada masa sekarang, dan begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat Muslim khususnya Indonesia, dan disamping itu banyak bermunculan perusahaan-perusahaan yang berbasis islam maka adopsi fatwa MUI adalah salah satu alternatif yang bisa diambil.

Jika hal ini terjadi maka seluruh karyawan dan pekerja diperusahaan tersebut terikat dengan fatwa ini. Bahkan dalam skala Nasional bukanlah hal yang mustahil jika pemerintah mengadopsi fatwa MUI untuk dijadikan Undang-Undang. Karena Undang-Undang mempunyai legalitas yang kuat maka fatwa tersebut mengikat bagi seluruh rakyat Indonesia.

3. Pencari berarti penanya (mustafti)

Di era digital seperti sekarang ini hampir semua serba online, begitupun fatwa. Kita bisa dengan mudahnya menemukan fatwa MUI hanya dengan mengetik kata kunci di smartphone kita. Lantas apa hubungannya hal ini dengan sifat fatwa? Seperti yang telah saya sebutkan bahwa seorang pencari berarti seorang penanya (mustafti).

Penjelasannya seperti ini, ada sebuah paradigma yang disebut sebagai paradigma posmodernisme yang menyatakan bahwa makna dapat tebentuk dengan mekanisme pemdeda-bedaan. Sebab itu teks tidak hanya berupa tulisan, tapi bisa juga sebuah simbol, tanda, dan lain sebagainya.

Seperti yang sama-sama kita ketahui, umumnya sebuah pertanyaan itu berwujud tulisan atau ucapan. Dari dua hal tersebut, yakni pertanyaan dalam bentuk tulisan atau ucapan, kita dapat mengerti maknanya, yaitu isyarat keingintahuan akan sesuatu.

Pada titik inilah, kita dapat berargumen bahwa pencari berarti penanya (mustafti), karena dalam proses pencarian ada sebuah tindakan, tindakan ini adalah sebuah teks bahwa ia menanyakan sesuatu atau ingin mengetahui sesuatu.

Sama dengan pertanyaan berbentuk tulisan dan ucapan, maka tindakan mencari sesuatu juga merupakan sebuah pertanyaan. Artinya, seorang pencari berarti seorang penanya (mustafti). Maka dengan begini fatwa MUI bisa menjangkau lebih banyak orang.

Dengan ketiga argumen tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa meskipun sifat fatwa itu pada dasarnya bergantung pada peran mustafti dan mufti, namun itu tidak berarti fatwa hanya menyangkut kedua belah pihak saja.

Dengan demikian, harapan kita adalah fatwa-fatwa MUI bisa dapat ikut mewujudkan kemaslahatan bagi seluruh rakyat Indonesia.  Hal ini tentu tidak hanya tergantung pada MUI, tapi juga pada kita sebagai rakyat Indonesia itu sendiri.

Riko Erandy

Mahasiswa Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Redaksi
Redaksi / 446 Artikel

Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial. 

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: