Artikel

Kisah Kesederhanaan Guru Besar Al-Azhar yang Masih Naik Angkot

13 Sep 2020 04:06 WIB
2111
.
Kisah Kesederhanaan Guru Besar Al-Azhar yang Masih Naik Angkot Setiap Selasa, DR. Muhammad Abu Musa berangkat dari rumah yang sangat sederhana untuk mengajar, menuju terminal, naik metro lalu naik angkot kecil yang menuju kampus Al-Azhar.

Perkuliahan masih libur ketika itu. Seorang lelaki berusia 83 tahun merapikan baju-dasi-jasnya bersiap-siap pergi dari rumah sederhananya menuju Masjid Al-Azhar.

Setiap Selasa ia sudah terbiasa menuju stasiun kereta berjalan kaki dengan menenteng satu tas koper kecil berisi dua kitab: Al-Quran dan Dalailul I’jaz yang sudah terlihat sangat lusuh, hampir setiap ikatan lembarnya terlepas.

Dari stasiun Maadi Jadidah ia lanjut harus berjejal dengan ratusan orang yang menaiki kereta menuju Atabah, lalu lanjut lagi menaiki angkot menuju Masjid Al-azhar. Lebih dari satu jam ia habiskan dalam perjalanan.

Sangat sederhana untuk seorang guru besar bergelar professor, bergelar Syaikhul Balaghiyyin.

Sebelum zuhur ia sudah sampai ke Masjid Al-Azhar, ia tunaikan shalat dua rakaat, lalu azan dikumandangkan, ia tegakkan lagi empat rakaat qabliyah lalu selesai shalat, ia lanjutkan empat rakaat bakdiyah.

Beberapa orang datang untuk sungkem kepadanya, ingin mencium tangan berkahnya yang sudah menulis 30 lebih karya luar biasa itu, dengan sigap ia menarik tanggannya enggan untuk dicium. Sebagian yang lain ingin membawakan tas kecilnya, tapi ia tolak, kecuali ada yang benar-benar memaksa.

Sebagian lagi ingin membawakan sepatunya, tapi ia tolak, kalau ada yang memaksa ia akan marah, ia tak ingin anak muridnya memegang sepatunya. Sangat sederhana, sangat rendah hati.

Lalu dalam majlis ia sampaikan, bahwa bakti sebenarnya seorang murid kepada guru bukanlah dengan mencium tangannya atau membawakan tasnya, tapi dengan memahami pelajaran yang disampaikan dengan baik, kemudian menyampaikannya dengan baik pula kepada orang lain.

Lalu lanjut beliau, tugas saya adalah untuk memahami ilmu dan memahami cara menyampaikan ilmu, karena ilmu yang dipahami tapi tak mampu disampaikan adalah ilmu yang tak ada nilainya.

Seorang guru harus semangat dalam menyampaikan ilmu sebagaimana (ia dahulu) semangat untuk mendapatkan ilmu. Saya akan sedih ketika diujung hidup melihat generasi setelahku tidak dekat dengan ilmu.

Kalau madrasah kita hari ini lebih baik dari hari kemarin, generasi hari ini lebih baik daripada generasi kemarin, generasi esok lebih baik dari hari ini berarti kita dalam trek yang benar. Tapi kalau generasi hari ini sama dengan kemarin berarti kita menghadapi kemunduran, kalau lebih buruk berarti kita sedang bersiap menghadapi bencana.

Guru yang Dicintai

Seorang guru yang baik adalah guru yang mengajarkan muridnya ilmu dan mengajarkan cara mengolah ilmu, cara mengambilnya dari perut-perut kitab turast, cara mengeluarkannya dari gudang harta karun tulisan para ulama. Kalau seorang guru hanya menyampaikan maklumat, sekadar pengetahuan, permasalahan-permasalahan, maka semua itu bisa didapatkan dengan mudah di internet.

Maka beliau sangat konsen untuk mengajari muridnya cara membaca yang benar, mengajari cara menikmati dan merasakan keindahan tulisan para ulama, lalu memecahkan setiap rahasia-rahasia yang disembunyikan para ulama dalam taqdim, dalam ta’khir, dalam makrifah, dalam nakirah, dalam setiap pilihan kata.

Beliau sangat senang mengulang perkataan Imam Muzani, “saya telah membaca Kitab Ar-risalah (milik Imam Syafii) 500 kali, setiap pembacaan itu saya mendapati faedah dan ilmu yang belum saya temukan dalam pembacaan sebelumnya.”

Lalu beliau tekankan, siapa Imam Muzani yang mau membaca ar-Risalah sebanyak 500 kali? Padahal ia setara dengan imam Syafi’i, atau kalau mau disebut hanya sedikit levelnya di bawah Imam syafii. Coba perhatikan sekali lagi angka 500 kali dan kata faidah, berarti ada pengetahuan yang tidak beliau dapatkan dalan 499 kali membaca ar-Risalah.

Hanya beliau dapatkan ketika pembacaan yang ke-500. Karena setiap kita membaca kalam para ulama, kita mendapatkan ilmu dalam tulisan mereka dan mendapat inspirasi melahirkan ilmu dari tulisan mereka.

Ada lagi cerita Abu Jakfar at-Thabary yang menceritakan kepada Muhammad bin yazid dengan rasa takjub dan tak percaya, “aku mendengar Abu Umar al-Jirmi mengatakan, bahwa ia berfatwa dalam fikih selama 30 tahun menggunakan kitab nahwunya Sibawaih.”

Muhammad bin Yazid menjawab, “saya juga mendengar dengan telinga sendiri al-Jirmi mengatakan demikian.” Lalu ia menjelaskan maksud dari al-Jirmi, “al-Jirmi sebelumnya adalah ahli hadis, setelah belajar Kitab Sibawaih, ia belajar dalam kitab Sibawaih cara berfikir dan cara meneliti. Lalu ia berfatwa dalam fikih dengan kaidah itu.”

Dari cerita ini kita tahu bahwa al-Jirmi tidak hanya mengambil materi nahwu dalam kitab Sibawaih, tapi mengambil cara berpikir penulisnya, lalu menggunakannya untuk beristinbat mengeluarkan hukum-hukum fikih. Al-jirmi membaca kitab sibawaih dan mampu mengeluarkan atau menghasilkan ilmu yang sebelumnya tidak ada, dan bahkan membangun dan menambahkannya dalam permasalahan fikih.

Begitulah seharusnya kita membaca tulisan para ulama, bukan hanya untuk mendapatkan pengetahuan, tapi juga untuk mengetahui cara berfikir mereka dan mengetahui cara mereka membangun ilmu pengetahuan.

Dari situlah lahir ide di bawah ide, lahir makna setelah makna. Ada kaidah yang dikandung oleh kaidah. Tahta kulli ma’nan ma’na. dalam perut setiap makna ada makna yang disembunyikan, yang hanya ditemukan oleh orang yang benar dalam membaca, teliti dalam melihat.

Tugas Seorang Guru

Usianya 83 tahun, suaranya masih lantang membelah ruangan ketika mengajar, wibawanya membuat kelas senyap, tak ada suara kecuali suara serak-serak basah yang menghidup akal dan menyejukkan hati, kadang bahkan membuat hati terasa terbang karena penjelasan yang begitu indah.

Semangatnya mengajar selalu tertular kepada murid-muridnya. Seorang guru yang benar-benar membentuk akal dan polapikir serta ‘rasa bahasa’ anak muridnya. Sebutkan semua dosen di Fakultas Bahasa Al-Azhar, maka tak satupun kecuali semua adalah ‘hasil olahan tangan’ beliau.

Lalu dengan tawaduknya beliau dawuh, “tugasku hanya mengajar, menjelaskan sebaik-baiknya, masalah kalian paham atau tidak, saya sudah lepas tangan, innaka la tahdi man ahbabta, kau tak bisa memberi hidayah orang-orang yang kau cintai,” beliau berdalil dengan ayat al-Quran.

Tapi pada kesempatan lain, beliau bilang, “jika proses belajarmu baik, maka mengajarmu pun akan baik, jika kamu tak mampu menjadikan dirimu manusia, maka bagaimana mungkin kau hendak menjadikan orang lain menjadi shalih?” iya, cara terbaik beliau mengajar adalah dengan serius ketika belajar.

“Tugasku adalah untuk memahami ilmu dan memahami cara menyampaikannya, karena ilmu, jika kau pahami tapi tak mampu untuk menyampaikannya pada orang lain, tak ada nilainya. Guru yang sukses adalah yang mampu menyederhanakan banyak pengetahuan menjadi satu baris saja, lalu menjelaskan pelajaran dengan menerangkan satu baris itu.”

Seorang tukang sampah, kata beliau, lebih baik daripada seorang dosen yang tak becus mengajar. As-shalihat memang selalu dikaitkan dengan keimanan di dalam al-Quran, tapi as-Shalihat (kebaikan-kebaikan) itu tak melulu soal ibadah.

Kebaikan adalah segala sesuatu yang memudahkan manusia, mengindahkan bangsa. Maka dokter yang baik itu termasuk ‘shalih’ supir yang baik itu termasuk shalih, insinyur yang baik juga termasuk shalih. Bahkan membuang duri yang menyusahkan orang ketika melewati sebuah jalan termasuk sebaik amal shalih.

Setiap Selasa, beliau berangkat dari rumah yang sangat sederhana untuk mengajar, menuju terminal, naik metro lalu naik angkot kecil yang menuju kampus Al-Azhar. Untuk ukuran seorang professor sepuh seperti beliau, sangat sederhana, tak ada asisten.

Dengan berjalan santai menuju kampus, beliau tenteng tas kecil yang berisi tiga kitab; Mushaf, Dalail al-I'jaz dan Asrar al-Balhagah, dua karya al-Jurjani.

Setiap kali ada muridnya yang hendak menawarkan untuk membawakan tasnya, atau untuk membawakan sepatunya ketika memasuki masjid Al-Azhar, beliau marah, tak ingin dibantu, beliau selalu mengamalkan nasehat yang beliau patrikan ke dada kami, “kalau kau tak memerlukan bantuan orang lain, maka Allah akan ‘mengayakanmu’.”

Beliau adalah Imamul Balaghiyyin, Shani'ul mutadzawwiqin al-Allamah Prof. DR. Muhammad Abu Musa, seorang guru besar Al-Azhar yang sederhana, bersahaja dan dicintai para mahasiswa.

Fahmi Ain Fathah
Fahmi Ain Fathah / 15 Artikel

Alumni Al-Azhar Kairo Mesir, Fakultas Bahasa Arab. Asal dari Tanjung, Kalimantan Selatan. Kini tengah melanjutkan studi jenjang S2 Al-Azhar. Meminati kajian Manthiq dan Balaghah

Baca Juga

Pilihan Editor

Saksikan Video Menarik Berikut: