Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah Qabil dan Habil: Dua Putra Adam di Balik Awal Mula Kurban

Avatar photo
29
×

Kisah Qabil dan Habil: Dua Putra Adam di Balik Awal Mula Kurban

Share this article

Syekh
Syamsuddin al-Qurthubi dalam kitab al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
menceritakan tentang cikal bakal pertama kali pelaksanaan kurban dilakukan. Dalam
kitabnya, disebutkan bahwa orang pertama yang melakukan kurban adalah Qabil dan
Habil, yaitu kedua putra Nabi Adam ‘alaihimussalam.

Kejadian
itu terjadi ketika Nabi Adam diperintah oleh Allah
swt
untuk menikahkan putra putrinya. Dalam catatan sejarah, setelah Nabi Adam dan
Siti Hawa diturunkan ke bumi dan memiliki dua putra serta dua putri, yaitu
Qabil yang kembar dengan Iqlimiya, dan Habil yang kembar dengan Layudza, Allah
swt
memerintahkan Nabi Adam ‘alaihissallam untuk menikahkan putra dan
putrinya yang tidak menjadi bagian saudara kembarnya (Qabil dengan Layudza dan
dan Habil dengan Iqlimiya).

Setelah
perintah itu disampaikan kepada anak-anaknya, rupanya Qabil tidak bisa menerima
dengan adanya perintah ini. Ia lebih suka untuk menikahi saudara kembarnya
sendiri, yaitu Iqlimiya, yang memang lebih cantik daripada Layudza. Dengan
sikap sangat menolak, Qabil berkata,
“Aku lebih berhak atas sudara
perempuanku.” (Syekh Syamsuddin al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkamil Qur’an,
[Bairut: Darul Fikr,
2003], juz 6, h. 134)

Qabil
tidak menerima dengan perintah itu, bahkan ia berdalih bahwa seharusnya
pernikahan itu terjadi di antara saudara kembar, karena baginya, saudara kembar
menunjukkan hak dan tidaknya untuk dinikahi. Jika sudah kembar, maka saudara
kembarnyalah yang pantas.

Berbagai
nasihat dan rayuan disampaikan Nabi Adam pada Qabil agar ia mau menikahi
Layudza dan mengikhlaskan saudara kembarnya menikah dengan Habil. Hanya saja,
berbagai upaya yang dilakukan sang ayah sama sekali tidak membuahkan hasil.
Bahkan, tak sesekali Qabil melempar kata-kata tidak sopan kepadanya, ia berani
berkata, “Allah tidak pernah memerintahkan pernikahan ini. Semuanya hanyalah
kehendakmu sendiri.

Sikap
keras kepala yang ditampakkan oleh Qabil membuat ayahnya begitu terpukul, Nabi
Adam sangat bingung untuk menyikapinya. Sebagai sosok ayah dari keduanya, Nabi
Adam tidak menginginkan pernikahan itu dilaksanakan dengan cara keras kepala berupa
upaya memaksa keduanya untuk sama-sama menerima. Dalam keadaan seperti itu,
akhirnya Nabi Adam mengatakan:

فقال آدم فقربا
قربانا فأيكما يقبل قربانه فهو أحق بالفضل

“Maka Nabi Adam berkata, ‘(Lakukankalah)
dengan kurban. Barang siapa yang kurbannya diterima (oleh Allah), dia lebih
berhak untuk mendapatkan yang baik (Iqlimiya).’” (Syekh al-Qurthubi, al-Jami’
li Ahkamil Qur’an,
2003, juz 6, h. 134)

Setelah
itu, keduanya sepakat untuk melakukan kurban dan menentukan waktu kapan
dilakukannya ritual itu. Qabil sangat yakin bahwa dirinya yang lebih layak dan
lebih berhak untuk bisa menikahi saudara kembarnya, ia juga sangat yakin bahwa
kurbannya yang akan diterima oleh Allah SWT.

Pada
waktu yang telah ditentukan, masing-masing dari Qabil dan Habil sudah siap
dengan kurban persembahannya.

Menurut
Syekh Dr. Wahbah az-Zuhaili, Qabil yang merupakan seorang petani mengurbankan
hasil panennya, hanya saja ia memilih hasil panen yang paling buruk dan jelek. Bahkan,
di tengah perjalanan, saat Qabil melihat masih ada bulir yang bagus dan baik
dari hasil panen yang ia bawa, ia mengambilnya, membersihkannya, kemudian
memakannya.

Sedangkan
Habil yang berprofesi sebagai peternak kambing membawa kambing terbaiknya untuk
dikurbankan. Ia sangat berhati-hati ketika memilih, bahkan sangat memperhatikan
kambingnya yang lain, karena khawatir masih ada kambing yang lebih baik dari kurban yang
akan ia bawa. (Syekh Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul Islami wa Adillatih,
[Bairut: Darul Fikr, 1997], juz 6, h. 158).

Setelah
mereka berdua melaksanakan kurban, lantas Nabi Adam berdoa kepada Allah
swt
untuk menentukan kurban siapa yang diterima-Nya. Setelah beberapa waktu dari
doa yang dipanjatkan Nabi Adam, ternyata kurban Habil yang diterima. Dengan
demikian, Habil yang berhak untuk menikahi Iklimiya.

Melihat
semua itu, Qabil pun sangat iri dan marah pada saudaranya, bahkan dengan sikap
tidak menerima kan hasil yang telah menjadi ketetapan Allah swt, ia
mengancamnya dengan mengatakan:

أتمشي على الأرض
يراك الناس أفضل مني؟ لأَقْتُلَنَّكَ

“Apakah engkau akan berjalan dengan bangga
di bumi ini dan orang-orang akan mengira bahwa engkau lebih baik dari diriku?
Sungguh aku akan membunuhmu.”

Mendengar
ancaman saudaranya, dengan tenang Habil menjawab,

ولم تقتلني؟ ولا
ذنب لي في قبول الله قرباني. وإنما يتقبل الله من المتقين

“Kenapa engkau akan membunuhku? Sedangkan
tidak ada yang salah bagiku ketika Allah menerima kurbanku. Sesungguhnya Allah
menerima (kurban) dari orang-orang yang bertakwa.” (Syekh al-Qurthubi, al-Jami’
li Ahkamil Qur’an,
2003, juz 6, h. 134)

Mendengar
jawaban dari Habil, bertambahlah kemarahan dan sifat berang pada adiknya itu,
bahkan ia benar-benar berniat untuk membunuhnya ketika sudah ada kesempatan.
Qabil sangat tidak menerima dengan hasil dari kurban yang telah dilakukan,
apalagi mendengar nasihat dari adiknya, ia sudah lupa akan kemanusiaan bahkan
lupa dengan saudaranya sendiri, yang terlintas dalam benaknya hanyalah tentang
cara untuk membunuhnya.

Menurut
Syekh Abdul Haq bin ‘Athiyah al-Andalusi dalam kitab tafsirnya, kesempatan pun
datang saat Nabi Adam melakukan ibadah haji ke Baitullah al-Haram. Qabil
akhirnya mempersiapkan segala kebutuhan yang ia butuhkan saat melaksanakan
rencana jahatnya. Akhirnya, Qabil berhasil membunuh adiknya, Habil. (Syekh
Abdul Haqq bin ‘Athiyah, Tafsir Ibnu ‘Athiyah, [Bairut: Darul Kurub,
2010], juz 2, h. 178)

Kisah
ini sebenarnya telah tersurat secara singkat dalam Al-Qur’an, Allah SWT
berfirman:

وَاتْلُ
عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَاناً فَتُقُبِّلَ
مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الآخَرِ قَالَ لأَقْتُلَنَّكَ قَالَ
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

“Dan
ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra
Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari
mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia
(Qabil) berkata, ‘Sungguh, aku pasti membunuhmu!’ Dia (Habil) berkata,
‘Sesungguhnya Allah hanya menerima (amal) dari orang yang bertakwa.”

(QS. Al-Ma’idah: 27)

Dari
tindakan tersebut, sampai saat ini dosa Qabil akan terus bertambah bila terjadi
pembunuhan, karena ia adalah orang yang pertama kali melakukan dan mencontohkan
perbuatan keji itu. Sebagaimana telah disampaikan oleh Rasulullah saw, yaitu:

لاَ تَقْتُلْ نَفْسًا
ظُلْمًا اِلاَّ كَانَ عَلىَ ابْنِ أَدَمَ الْأَوَّلِ كِفْلٌ مِنْ دَمِّهُا

“Tidaklah seseorang dibunuh dengan aniaya,
kecuali putra Adam yang pertama (Qabil) mendapat bagian dari dosanya.” (HR. Al-Bukhari)

Dari
penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa berkurban sebenarnya sudah
dilakukan jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. Dalam kejadian itu, Qabil
tercatat sebagai orang pertama yang tega membunuh saudaranya demi keinginan hawa
nafsu belaka, disertai dengan rasa iri ketika kurban yang ia bawa tidak
diterima oleh Allah swt. Disebabkan sikap iri pada adiknya, Qabil telah
mencatatkan namanya dalam sejarah sebagai pembunuh pertama di balik peristiwa pertama
kali dilaksanakannya kurban.

Kontributor

  • Sunnatullah

    Pegiat Bahtsul Masail dan Pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Bangkalan Madura.