Saya memang terbiasa memanggil Prof. Dr. Hj. Huzaemah
Tauhido Yanggo, MA dengan panggilan ‘Umi’, seperti putra beliau memanggilnya.
Sebab bagi saya pribadi, beliau bukan hanya seorang guru, tapi juga seorang
ibu. Bedanya, beliau hanya tidak melahirkan saya, itu saja.
Saya bertemu beliau saat dulu masih belajar di
Pondok Pesantren Darunnajah Ulujumi, Jakarta. Saya satu angkatan dengan putra
beliau, Dr. Syarif Hidayatullah (Ayat) yang sampai saat ini sudah saya anggap
sahabat, guru dan kakak saya sendiri. Jika Ayat sudah menyelesaikan doktoralnya
dalam usia muda, maka nasib saya adalah berusaha untuk menyelesaikan S1 meski
dengan tertatih tatih. Apalagi S2 atau S3, kan?
Saat pertama kali bertemu umi Huzaemah, meski di
awal ada kesan kaku, tapi nyatanya umi adalah seorang yang humble dan
lucu. Nada bicara umi yang masih kental dengan logat tanah kelahirannya
Sulawesi menjadikan siapapun akan fokus mendengarkan ucapannya. Karena bagi
saya yang asli orang Jawa, umi memiliki lahjah yang berbeda. Dan logat itu,
saat ini ternyata ngangenin banget!
Saya melihat umi begitu sangat menyayangi Ayat.
Saat dahulu masih di pondok, rasanya umi tidak pernah melewatkan hari kelahiran
anaknya. Saat Ayat ulang tahun, umi dan suami pasti hadir dengan membawa
makanan yang akan disantap oleh kami semua di pesantren. Bahkan sampai hari
ini, setiap Ayat ulang tahun, sebagai tanda syukurnya, umi pasti meminta Ayat
untuk ajak semua teman-temannya makan, baik di rumah atau di tempat lain.
Perjalanan pendidikan saya memang tidak terlalu
mulus. Selepas lulus dari Darunnajah, saya melanjutkan pendidikan S1 di Perbankan Syariah UIN Syarif
Hidayatullah, Jakarta selama tiga semester. Selama dua tahun di UIN, saya
putuskan untuk kerja dan kemudian mengambil D3 program komputer akuntansi di
Pranata Indonesia. Setelah agak stabil di pekerjaan, barulah saya putuskan
untuk kembali melanjutkan S1 di UMJ, Jakarta.
Secara pribadi, saya tidak pernah diajar oleh umi
Huzaemah selama kuliah, tapi sempat mendapatkan mata kuliah fikih ibadah yang
diampu oleh suami beliau, Prof. Abdul Wahab saat masih kuliah di UIN tahun
2005-2007.
Sebagai anak kosan Ciputat saat itu, tentu
siapapun termasuk saya akan berpikir mencari tempat perlindungan jika sewaktu
waktu lapar dan dahaga tiba-tiba menyerang. Dan alhamdulillah, karena kedekatan
saya dengan Ayat, maka saya berkesempatan untuk mendapat ‘perlindungan’ di
rumah umi Huzaemah. Saya bukan satu-satunya orang yang umi persilahkan
makan-tidur di rumahnya, tapi ada banyak lagi orang yang senasib dengan saya.
Dalam banyak kesempatan, karena dirasa sudah
sangat terbiasa, saya masuk ke rumah umi tanpa mengetuk dan salam, lalu
langsung menuju dapur untuk makan. Karena saat itu saya kira tidak ada orang,
maka dengan santainya saya mengambil lauk di meja makan.
Di tengah makan, ternyata umi yang baru saja mau
berangkat mengajar muncul di dapur dan tentu membuat saya menjadi kaget dan
malu. Alih alih kaget melihat tingkah saya, umi malah menyapa dan menyuruh saya
menghabiskan lauk di meja makan. “Faisal, kau habiskan itu makanan”,
ucap umi dengan logat khasnya yang selalu buat saya sedih saat mengingatnya.
Jika melihat keluarga umi, baik beliau sendiri,
Abi Wahab dan Ayat sendiri, memang tidak pernah membedakan siapapun untuk
mereka bantu dan dukung. Khususnya saya, keluarga yang penuh dengan ilmu ini
selalu hadir dalam setiap perjalanan penting hidup saya, baik hal terkecil
seperti makan sampai bantuan beasiswa kuliah, pilihan pekerjaan, saksi nikah
dan masih banyak lagi.
Saat saya hendak pindah kerja, beliau berpesan
agar jangan keluar dari Bank Syariah, sebab orang yang memiliki keahlian dalam
perbankan syariah masih sedikit. Beliau berharap, kelak saya bisa ikut membantu
mengembangkan perbankan syariah; sebuah profesi yang sampai saat ini saya
jalankan sebagai bentuk ketaatan akan amanah yang umi pernah sampaikan.
Suatu ketika, saat ujian semester di kampus UIN
Jakarta, saya mempersiapkan diri belajar di rumah umi. Dengan satu alibi, jika
ada kesulitan memahami hitung-hitungan perbankan, mungkin bisa saya tanyakan ke
umi atau Ayat. Meskipun selain belajar, tentu ada maksud lain yang saya tuju;
main PS. Hehe
Kami main PS dari siang sampai malam. Sebenarnya
saya sudah belajar saat Ayat sedang sibuk denga stick PS-nya. Tapi memang
kebetulan saat umi melihat ke dalam kamar, sayalah yang sedang main stick PS
dan Ayat gantian belajar. Sialnya, saat saya gantian belajar dan Ayat main PS,
umi tak kunjung datang. Dapatlah saya teguran pertama dari umi.
Dari situ saya buat strategi. Pintu kamar saya
buka sedikit, sampai jika ada tanda-tanda umi datang, sebuah alibi sudah saya
siapkan. Buku saya letakkan di samping, stick PS tentu tetap saya pegang di
tangan.
Saat asik main, umi betulan datang. Karena kaget,
saya taruh stick PS dan tarik selimut pura-pura ketiduran. Menyadari kalau ini
hanya alibi saya, dengan nada yang sebenarnya tidak marah, umi bilang,
“Faisal, kamu itu pura-pura tidur, seperti kancil, kamu”. Dengan
memendam rasa malu, saya bangun sambil tersipu.
Seingat saya begitulah umi. Kalau saya menginap di
kamar Ayat, sayup-sayup setiap jam dua malam umi bangun untuk sekadar ngecek
keadaan kami. Jika kami terlihat tidur, beliau tersenyum. Jika masih bangun,
beliau hanya ucapkan, “Tidur! Sudah malam.”
Kebiasaan saya mandi sambil sedikit bernyanyi pun
pernah menciptakan kenangan dengan umi. Suatu pagi, saat saya sedang mandi di
rumah Ayat, tanpa saya sadari kebiasaan bersenandung di kamar mandi itu keluar
dengan sendirinya. Saat asik bersenandung, tiba-tiba ada suara umi dari luar,
“Siapa itu yang nyanyi-nyanyi di kamar mandi?” Aduh, seketika itu
saya langsung terdiam.
Tinggal di rumah
orang-orang berilmu memang luar biasa. Ada saja hal baru yang saya
dapatkan setiap kali berkunjung ke rumah umi; kisah baru, buku baru, nasehat
baru, tauladan baru dan tentu kenangan baru. Sebuah kenangan berjumpa dengan
seorang ulama perempuan panutan, yang bukan hanya hebat di podium keumatan,
tapi sukses menjadi ibu dan istri yang baik bagi keluarganya.
Kenangan terakhir saya dengan umi adalah saat
beliau terbaring sakit sebelum kewafatannya. Alhamdulillah, saya berkesempatan
untuk menemani beliau mencari beberapa rumah sakit perawatan sebelum akhirnya
dirujuk ke Serang Banten. Memang tidak seberapa bakti ini kepada beliau, tapi
hanya hal tersebut yang saat ini menjadikan saya merasa lebih ikhlas melepas
umi kembali ke pangkuan ilahi.
Selamat jalan umi! Si Kancil ini akan terus
berusaha menjadi orang yang engkau harapkan. Kelak, semoga kancil ini akan mampu memberikan manfaat buat sekelilingnya.
Amin.