Tokoh
Muhammad Abduh, Ulama Pembaharu Pendidikan Asal Mesir
Islam adalah agama rasional yang menjadi basis kehidupan modern. –Muhammad Abduh.
***
Pelopor pembaharu Islam, sebuah gelar yang pantas disandang oleh sosok sekaliber Muhammad Abduh. Ia juga dikatakan sebagai penerus gurunya Jamaluddin al-Afghani. Guru-murid itu mempunyai kesamaan sifat: mendukung gagasan pembaharuan dalam Islam.
Bila ada perbedaan mendasar dari keduanya, maka itu urusan taktis. Jamaluddin al-Afghani sosok revolusioner, sedangkan Muhammad Abduh lebih mendukung pembaharuan yang berangsur-angsur, dan memfokuskan pembaharuan dalam aspek pendidikan.
Nama asli Muhammad Abduh adalah Muhammad bin Hasan bin Hasan bin Khairullah. Ia lahir pada tahun 1849 M, di desa Mahallat Nasr Provinsi al-Buhaira, Mesir. Muhammad Abduh lahir dari pasangan Abduh bin Khoirullah, seorang petani miskin dari Mahallat Nasr dan Junainah binti Uthman al-Kabir seorang janda dari keturunan terpandang di Tantha.
Muhammad Abduh kecil memulai pendidikan pertama di rumah bersama dengan ayah dan ibunya. Ia belajar membaca dan menulis. Ia dikenal sebagai sosok yang cerdas dan cepat memfilter berbagai ilmu. Tidak heran jika pada usia 10 tahun, ia telah menyelesaikan hafalan Qur’an dalam kurun waktu 2 bulan. Tepat di usia 13 tahun, ia dikirim ke Tantha untuk belajar agama di Masjid Ahmadi. Masjid yang kedudukannya nomor dua setelah Masjid al-Azhar, dengan sistem pendidikan membaca dan menghafalkan namun tidak memberi sarana untuk memahami.
Karena merasa tidak puas dengan sistem pembelajaran yang demikian rupa, Muhammad Abduh remaja bertekad untuk tidak melanjutkan perjalanan akademisnya. Pada usia 16 tahun, dia memutuskan untuk menikah dengan gadis pilihannya, dan memulai kehidupan berpetani di daerah asalnya.
Singkat cerita, Syekh Darwis, paman Muhammad Abduh datang padanya untuk meminta dia kembali melanjutkan pendidikannya. Setelah lulus pada tahun 1866, dia meninggalkan keluarga dan istrinya untuk berangkat ke Kairo guna melanjutkan pendidikan di al-Azhar. Harapannya yang besar untuk belajar kembali patah, ketika dia menghadapi bahwa sistem pembelajaran al-Azhar tidak sesuai dengan harapannya.
Hingga akhirnya pada tahun 1869, Abduh menemui Jamaluddin al-Afghani seorang mujahid kelahiran Iran guna belajar bersamanya. Melalui sosok Jamaluddin, Muhammad Abduh merasa puas dengan didikan sang guru, karena sistem pembelajaran yang tidak didapatkan dari al-Azhar dan Tanta, dia peroleh darinya. Seperti pengetahuan-filsafat, matematika, teologi dan lain sebagainya. Tapi yang menjadi titik fokusnya adalah teologi.
Berbicara mengenai pembaharuan, Mesir pada masa Muhammad Abduh sedang gencar-gencarnya tertarik pada ilmu sains, yang diusung oleh Napoleon Bonaparte, seorang penjajah dari Perancis. Berkat jajahannya, bangsa Mesir membuka mata bahwa selama ini sistem pendidikan mereka dalam masa ketertinggalan yang mengharuskan untuk diperbaiki. Guna mendukung pembelajaran ilmu sains, Napoleon membentuk lembaga ilmiah “Institut d’Egypte”. Dari situlah gairah intelektual sarjana-sarjana Mesir mulai hidup, Muhammad Abduh salah satunya.
Menurut Muhammad Abduh, sistem pendidikan di Mesir terbelakang karena sistem doktrinasi yang ada pada lembaga-lembaga pendidikannya, semisal menghafal suatu diskursus ilmu tanpa ada pengkajian dan telaah pemahaman lebih lanjut. Sistem pendidikan seperti itu pula yang menggambarkan kemandegan dalam kebebasan intelektual, di mana para siswa hanya menerima pemahaman dari seorang guru tanpa dia mengemukakan pendapatnya. Hal ini membuat kesalahpahaman dalam memahami suatu ilmu. Muhammad Abduh memberi dukungan untuk pelajar yang kritis dan tanggap, sebuah metode yang diadopsi dari sistem pendidikan Perancis.
Akan tetapi, kebanyakan masyakat muslim pada abad modern menentang ilmu pengetahuan yang diusung dari Barat, seperti filsafat. Hal tersebut berbeda dalam pandangan Muhammad Abduh. Ia melihat bahwa dasar-dasar kemajuan Barat terletak pada ilmu pengetahuannya. Ia berpendapat bahwa umat Islam harus pula mengetahui sains dan filsafat guna kemajuan agama.
Muhammad Abduh mengusulkan ilmu seperti filsafat masuk ke dalam kurikulum madrasah. Akan tetapi, usulannya itu tidak serta-merta mendapat dukungan dari beberapa pihak. Seiring lambat laun pemikiran tersebut disetujui oleh masyarakat. Sekolah-sekolah modern didirikan di samping madrasah-madrasah, seperti didirikannya sekolah teknik pada 1816, sekolah kedokteran pada tahun 1838, disusul sekolah apoteker, pertambangan dan lainnya.
Pembaharuan dalam aspek pendidikan diharapkan menjadi batu loncatan untuk mendukung pembebasan dari kungkungan tradisi dan penafsiran-penafsiran agama yang kolot. Seperti agama Islam dibatasi pada urusan pengabdian umat kepada Tuhannya, padahal esensinya mencakup seluruh aspek kehidupan sosial masyarakat, seperti pendidikan, perdagangan, dan lain sebagainya.
Kebanyakan masyarakat Islam pada masa itu terkekang oleh tradisi agamanya sendiri. Mereka beranggapan bahwa agama itu absolut dan tidak boleh berubah. Tidak mengherankan jikalau masyarakat pada masa itu statis. Peran Muhammad Abduh dalam pembaharuan seperti membangunkan masyarakat dari tidur lelapnya. Mendobrak tradisi Islam bukan berarti serta-merta mengganti tradisi yang sudah ada, akan tetapi bergerak menuju kemajuan Islam untuk umat.
Pada akhirnya semua makhluk akan kembali Tuhannya. Muhammad Abduh mengakhiri perjalanan hidupnya pada 11 Juli 1905. Selama 55 tahun dia mendedikasikan dirinya untuk masyarakat. Upacara penghormatan terakhir dilakukan secara resmi oleh pemerintah Mesir. Sebagai Mufti Agung dan tokoh besar memang sudah sepatutnya dikenang jasanya. Dengan kereta api istimewa, jenazahnya dibawa ke Kairo untuk dishalatkan di Masjid al-Azhar. Jasadnya diistirahatkan di kompleks pemakaman yang terletak di Jalan Salah Salem, dekat dengan kantor Darul Ifta Mesir dan Universitas al-Azhar.
Penulis di waktu senggang, alumni Madrasah Raudlatul Ulum Pati dan sedang menempuh pendidikan di Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo Mesir.