Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Pandangan Imam Mazhab Mengenai Dana dan Gaji Pemerintah

Avatar photo
22
×

Pandangan Imam Mazhab Mengenai Dana dan Gaji Pemerintah

Share this article

Sebagian ulama memang ada yang anti pada bantuan maupun gaji dari pemerintah. Terkait interaksi dengan sumbangan dana maupun gaji pemerintah, sikap ulama terbagi menjadi tiga:

Pertama: Menolak keras, seperti Imam Abu Hanifah, Sufyan Ats-Tsauri dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Kelompok pertama ini melihat bahwa menerima sumbangan atau gaji pemerintah bertentangan dengan kehormatan ilmu.

Baca juga: Belajar Mencintai Negeri dari Syekh Adnan Al-Afyuni

Kedua: Mau menerima tapi tidak meminta atau mengajukan proposal, seperti Imam Malik; tatkala mendapat sumbangan segera dibelanjakan pada tempatnya; membantu para penuntut ilmu dan orang-orang yang membutuhkan.

Menurut Imam Malik, dalam uang pemerintah ada hak orang alim yang menyebarkan ilmu. Mereka setara dengan tentara yang menjaga keamanan negara.

Ketiga: Mau menjadi pejabat dan menerima gaji seperti Imam Asy-Syafi’i.

Saat gajian, Imam Asy-Syafi’i menghabiskan uangnya untuk disedekahkan. Bukan untuk memperkaya diri.

Yang membedakan adalah bahwa Imam Abu Hanifah kaya raya sementara Imam Ahmad hidup serba kekurangan.

Bahkan, kata Abu Nuaim Al-Asbihani dalam Hilyah-nya, tatkala Al-Makmun mengeluarkan kebijakan bisyarah bagi semua muhaddis, hanya Imam Ahmad yang menolak menerimanya.

Baca juga: Jalan-jalan dalam Tradisi Muhadditsin

Kenyataan ini masih bisa dimaklumi sebab Al-Makmun adalah lawan politik dan ideologisnya. Namun saat Al-Mutawakkil, penguasa setelah Al-Watsiq yang mengubah kebijakan dan menghormati ulama Sunni, menawarinya kekayaan, Imam Ahmad tetap pada pendiriannya.

Namun saat posisi terdesak karena akan dianggap membangkang kepada Al-Mutawakil, Imam Ahmad menerima hadiahnya tapi segera memanggil putranya, Shaleh, agar segera dibagi-bagikan ke fakir miskin. Al-Mutawakil dianggap berjasa oleh ulama Sunni karena menyelamatkan mereka dari pemaksaan ideologi Muktazilah.

Kontributor

  • Abdul Munim Cholil

    Kiai muda asal Madura. Mengkaji sejumlah karya Mbah Kholil Bangkalan. Lulusan Al-Azhar, Mesir. Katib Mahad Aly Nurul Cholil Bangkalan dan dosen tasawuf STAI Al Fithrah Surabaya