Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Rumah Sakit Zaman Dinasti Islam: Pasien Enggan Pulang, Orang Sehat Mengaku Sakit

Avatar photo
42
×

Rumah Sakit Zaman Dinasti Islam: Pasien Enggan Pulang, Orang Sehat Mengaku Sakit

Share this article

Seorang pemuda Perancis mengirim surat kepada ayahnya di Paris dari kota Kordoba saat masih dikuasai Dinasti Umayyah. Sebagaimana diceritakan dalam buku At Tafawwuq al Ilmi fi al Islam (Keunggulan Saintifik dalam Islam) karya Amir Ja’far Al Arsyadi, surat itu ditulis saat si pemuda sedang menjadi pasien dari sebuah bimaristan (rumah sakit) di kota tersebut.

Dalam surat itu si pemuda melarang ayahnya
yang bermaksud mengiriminya sejumlah uang. Ini karena bimaristan tempat ia
dirawat memberikan pelayanan perawatan gratis. Bahkan, pasien yang telah
selesai dirawat akan diberi pakaian baru dan sejumlah uang agar tidak perlu
bekerja sementara waktu.

Si pemuda melanjutkan bahwa ia bisa ditemui di
bagian bedah dan perawatan sendi, jika si ayah bermaksud menjenguk. Menurutnya,
tempat ini berada di gedung sebelah selatan, berurutan dengan bagian
pertolongan pertama dan bagian diagnosis penyakit. Tempatnya juga bersebelahan
dengan perpustakaan, ruang pertemuan dan kuliah kedokteran yang sekaligus
berfungsi sebagai ruang baca.

Si pemuda juga bercerita tentang ruang
perawatan penyakit wanita di mana laki-laki dilarang masuk. Ia pun bertutur
tentang ruang pemulihan yang dilengkapi perpustakaan dan menyediakan alat-alat
musik.

Bimaristan itu sangat bersih dan perlengkapan
tidurnya sangat nyaman, ujar si pemuda. Air bersih selalu tersedia di kamar
melalui saluran pipa, sementara penghangat untuk musim dingin pun tersedia.
Menurutnya lagi, makanan terjamin dengan menu lezat sehingga sebagian pasien
pun seakan enggan cepat pulang.

Kisah di atas adalah sepenggal catatan sejarah
mengenai bimaristan, istilah untuk rumah sakit dalam perjalanan dinasti Islam
masa lampau. Istilah ini berasal dari Bahasa Persia, gabungan antara kata bimar
(orang sakit) dan stan (tempat), yang kadang disebut juga dengan bimarastan
atau maristan saja.

Dinasti Turki Usmani punya istilah sendiri
untuk rumah sakit, yaitu darussyifa yang artinya adalah rumah perobatan.
Saat ini negara-negara Arab sudah tidak lagi menyebut rumah sakit dengan kata
bimaristan, namun dengan istilah mustasyfa.

Cikal Bakar Rumah Sakit

Cikal bakal rumah sakit dalam dunia Islam
telah ada di zaman Rasulullah Muhammad SAW. Saat terjadinya Perang Khandaq,
Rasulullah memberi instruksi untuk didirikannya tenda perawatan bagi sahabat
yang ikut berperang dan menderita luka.

Saat ekspansi Islam menyentuh Persia di masa
kekhalifahan Umar bin Al Khattab (634-644 M/13-23 H), pasukan Muslim berhasil
menguasai kota Jundisapur yang memiliki sebuah bimaristan. Kota yang kini masuk
wilayah negara Iran ini, saat itu terkenal sebagai kota para ilmuwan, termasuk
para dokter. Geliat keilmuan di kota ini tak lepas peran para ilmuwan dari
wilayah Romawi Bizantium yang tertindas di abad 5-6 Masehi lalu mengungsi dan
diterima oleh penguasa Persia.

Dinasti Umayyah mulai memiliki bimaristan
sendiri yang dibangun di Damaskus pada masa pemerintahan Khalifah Al Walid bin
Abdul Malik (705-715 M / 86-96 H). Namun ada pendapat yang menganggap bahwa
bangunan tersebut tidak benar-benar merupakan rumah sakit, melainkan sekadar
tempat karantina penyandang penyakit khususnya lepra. Pendapat terakhir ini
menyatakan bahwa bimaristan pertama dalam Islam dibangun oleh Dinasti Abbasiyah
di Baghdad pada masa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid (786-809 M/170-193
H).

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas,
bimaristan kemudian makin bermunculan pada dinasti-dinasti Islam berikutnya. Bimaristan
dapat ditemukan berbagai wilayah kekuasaan dinasti Islam seperti Syam, Iraq, Hijaz,
Mesir, Maghrib, Andalusia danTurki.

Dr. Ahmad Isa Bik memaparkan bahwa bimaristan
telah beroperasi dengan sistem yang teratur. Dalam buku Tarikh al
Bimaristanat fi al Islam
(Sejarah Bimaristan-bimaristan dalam Islam), ia
menjelaskan tentang pembagian ruang-ruang bimaristan untuk layanan berbeda
seperti penyakit dalam, mata, tulang maupun cedera dan luka luar. Bagian
penyakit dalam masih dibagi lagi untuk penyakit demam, jiwa dan seterusnya.
Selain para dokter, para ahli farmasi juga bertugas di bagian farmasi yang
disebut syarabkhana.

Selain sebagai pusat perawatan dan perobatan,
bimaristan juga berfungsi sebagai tempat pendidikan para dokter maupun ahli
farmasi. Bersama para dokter yang mengajar, siswa mengikuti pembelajaran dan
ujian. Pengesahan akhir keahlian dilaksanakan melalui pengambilan sumpah
Hippokrates (dalam Bahasa Arab disebut Abuqrat) setelah siswa lulus uji
standarisasi dari lembaga hisbah yang petugasnya disebut muhtasib.

Selain bimaristan yang bersifat permanen,
terdapat juga bimaristan bergerak yang biasa beroperasi dalam kondisi
peperangan. Bimaristan bergerak ini membawa serta beragam keperluan hingga membutuhkan
pengangkut tidak kurang dari 40 ekor unta.

Bimaristan tidak dibatasi hanya untuk pasien Muslim
saja, sebagaimana tidak dibatasi untuk golongan sosial maupun ras tertentu. Ahli
kedokteran non Muslim juga tercatat pernah menjadi pejabat bimaristan
sebagaimana terjadi pada Dinasti Abbasiyah.

Rumah Sakit VVIP

Salah satu bimaristan yang termasyhur dalam
sejarah Islam adalah Bimaristan An Nuri di kota Damaskus. Bimaristan ini didirikan
oleh Nuruddin Zanki, penguasa Dinasti Zankiyah yang bertahta antara tahun 1146
M / 541 H hingga 1174 M / 569 H.

Khalil bin Syahin Ad Dzahiri, sejarawan Mesir pengarang
‘Kasyf al Mamalik fi Bayan at Turuq wa al Masalik’
punya cerita tentang Bimaristan
An Nuri saat ia sedang berada di Damaskus pada tahun 1427 M/831 H. Di kota itu
ia bertemu seorang teman yang juga bukan orang Damaskus dan singgah dalam
rangka perjalanan ibadah haji.

Si teman tadi berkesempatan masuk melihat-lihat
Bimaristan An Nuri dan terkesan dengan segala fasilitas pelayanan pasien
termasuk makanan lezatnya. Lalu ia pun pura-pura sakit agar bisa menjadi pasien
bimaristan itu dan menikmati segala fasilitasnya.

Ia pun diperiksa kesehatannya. Bimaristan lalu
menerimanya menjadi pasien dan memberinya segala fasilitas termasuk hidangan
lezat. Setelah tiga hari berselang, si pasien pura-pura ini mendapat surat
keterangan dari bimaristan yang berisi tulisan ‘seorang tamu tidak akan
tinggal lebih dari tiga hari’
. Ternyata dokter yang memeriksanya
sesungguhnya sejak awal sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Di kota Kairo, Mesir, juga terdapat sebuah
bimaristan yang masyhur yaitu Bimaristan Al Mansuri. Bimaristan ini dibangun
oleh Sultan Al Mansur Qalawun, penguasa Dinasti Mamluk yang memerintah antara
tahun 1279 M / 678 H sampai 1290 M / 689 H.

Hal yang membuat Bimaristan Al Mansuri menjadi
terkenal adalah kapasitasnya yang mampu memuat 8000 pasien. Masih di satu
kompleks yang sama dengan bimaristan ini, sang sultan juga membangun madrasah berbasis
fikih empat mazhab dan membangun tempat pemakaman untuk dirinya sendiri.

Sebagaimana ditemui pada bimaristan yang lain,
fasilitas lengkap juga disediakan oleh Bimaristan Al Mansuri. Pasien yang
dirawat mendapat layanan gratis, yang diperbolehkan pulang mendapat uang saku dan
yang meninggal ditanggung proses pemulasaraannya.

Salah satu ulama serba bisa, Jalaluddin As
Suyuthi, yang lahir di tahun 1445 M/849 H punya sebuah karya tentang sejarah
Mesir dan Kairo yang berjudul Husn al Muhadharah fi Tarikh Misr wa al
Qahirah
. Dalam karya ini, As Suyuthi menyinggung Bimaristan Al Mansuri
dalam ulasan pendek namun memuat fakta menarik.

As Suyuthi menulis bahwa saat bimaristan
sekaligus madrasah ini telah selesai dibangun, seorang penyair sufi agung
berkesempatan hadir  memasuki komplek bangunan
ini. Ia adalah Muhammad bin Sa’id Al Bushiri, pengarang Qasidah Al Burdah, yang
hidup di Mesir sezaman dengan Sultan Al Mansur Qalawun.

Karena terkesan dengan komplek bangunan yang
ia masuki, Al Bushiri pun mempersembahkan syair qasidah puji-pujian kepada sang
sultan, yang bait pertamanya berbunyi:

أنشأت مدرسة و مارستانا # لتصحّح الأديان
والأبدانا

“Engkau
dirikan madrasah dan maristan – Tuk pulihkan agama dan segenap badan.”

Kontributor

  • Muhyidin Basroni

    Muhyidin Basroni, Lc., MA., peminat kajian sejarah, budaya dan seni dalam Islam, pernah belajar di Universitas Al-Azhar Kairo, kini mengajar di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.