Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Artikel

Sikap Ulama Salaf Atas Malam Nisfu Sya’ban

Avatar photo
27
×

Sikap Ulama Salaf Atas Malam Nisfu Sya’ban

Share this article

Abuya Sayyid
Muhammad Alawi al-Maliki
dalam kitabnya Mâdhâ fî Sha‘bân memaparkan
bagaimana para ulama terdahulu menjaga dan meramaikan
malam Nisfu
Sya’ban
dengan memperbanyak amalan ibadah. 

Pada buku tersebut,
tepatnya dalam sub bab I‘tinâ’ al-Salaf bi Laylat al-Ni
shf, Abuya menyampaikan bagaimana Ibnu Rajab bercerita tentang
para tabi’in ahli Syam seperti Khalid bin Ma‘dan, Mak
ul al-Hudzali, Lukman bin
Amir dll mengagungkan dan meramaikan malam Nisfu Sya’ban dengan berkumpul
secara berjamaah di masjid untuk sama-sama beribadah. Dari mereka inilah
orang-orang selanjutnya ikut mengagungkan dan meramaikan malam Nisfu Sya’ban
secara turun-temurun.

Namun kemudian hari disinyalir
bahwa pengagungan malam Nisfu Sya’ban ini timbul akibat pengaruh israiliyat. Maka
ketika hal ini tersebar di kalangan umat saat itu, timbullah perbedaan pendapat
di antara mereka. Sebagian tetap setuju dan melanjutkan untuk mengagungkan dan
memperbanyak ibadah di malam Nisfu Sya’ban secara berjamaah seperti para
penduduk Ahli Basrah, sedangkan yang lain seperti ulama daerah Hijaz menolak dengan
bersikap sebaliknya, seperti Atha’ bin Abi Rabah dan Ibnu Abi Mulaikah. 

Sebagaimana juga dinukil
oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari para ulama ahli Madinah, di antara pendapat
para pengikut Imam Malik bin Anas ra., pengagungan dengan memperbanyak amalan
ibadah di malam Nisfu Sya’ban adalah bid’ah.

Bagi Abuya, pendapat yang
menyatakan kebid’ahan pengagungan malam Nisfu Sya’ban dengan berkumpul di masjid
untuk memperbanyak amalan ibadah memang tidak dapat dipungkiri. Hal ini bagian
dari pendapat, pandangan, penelitian, dan ijtihad mereka untuk membid’ahkan. Demikian
itu merupakan hak mereka untuk berpikir dan memilih. Selagi hal itu dilakukan
dengan niat untuk menuju pada hal yang baik dan benar, maka tidak masalah.

Namun yang disayangkan
oleh Abuya adalah bahwa mereka-mereka yang mengingkari atau membid’ahkan
pengagungan malam Nisfu Sya’ban itu menutup atau menyimpan pendapat yang
berlawanan dengan pandangan mereka, yang seakan-akan hanya pilihan pendapat
atau pandangannya saja yang berhak diikuti sehingga mereka memperbanyak
dalil-dalil memperkuat pandangan itu. Hal ini justru sebuah penipuan dan
kebohongan sebab tidak menyampaikan ilmu atau pengetahuan apa adanya.

Silakan berpendapat,
berlogika, dan berijtihad namun sebelum itu sampaikan dulu bagaimana perbedaan
para ulama terdahulu secara komprehensif. Sesudah memaparkan perbedaan pendapat
para ulama, barulah kita diperkenankan mengambil sikap dan menilai tentang
pendapat mana yang kita pilih dengan argumen logika kita yang mapan.

Hal ini sebagaimana dicontohkan
oleh Ibnu Rajab. Beliau memulai memaparkan bagaimana para ulama ahli Syam
menyikapi pengagungan malam Nisfu Sya’ban. Kelompok pertama berpendapat bahwa
merayakan Nisfu Sya’ban itu baik dilaksanakan secara berjamaah di masjid. Sedangkan
kelompok kedua berpendapat bahwa makruh melaksanakan perayaan di masjid secara
masif, namun tidak jika dilakukan secara mandiri. Lalu Ibnu Rajab mulai
berlogika, mentarjih, dan mengambil pendapat yang ia yakini lebih dekat dengan
kebenaran.

Metode demikian menurut
Abuya telah banyak ditinggalkan oleh para pendakwah saat ini. Kebanyakan mereka
sekarang lebih memilih menyampaikan satu pendapat yang ia ikuti dan menyalahkan
atau mengingkari para
ulama
yang berseberangan dengan pendapat pilihannya tersebut tanpa lebih dulu
memaparkan perbedaan itu secara menyeluruh. Padahal hal tersebut merupakan
sebuah amanah ilmu yang semestinya disampaikan. Wa Allah A’lam.

Kontributor

  • Bakhrul Huda

    Kord. Akademik Ma'had Jami'ah UINSA Surabaya dan Tim Aswaja Center Sidoarjo.