Rasulullah SAW pernah ditanya dalam hadits Jibril
tentang pengertian Ihsan, lantas beliau bersabda:
أن تعبد الله كأنك تراه
“Kamu menyembah Allah SWT, seolah-olah
kamu melihat-Nya.”
Hadits Jibril adalah hadits yang memuat kandungan
tentang Iman, Islam dan Ihsan serta tanda-tanda hari kiamat. Umar bin
al-Khathab dan Abu Hurairah adalah dua sahabat yang meriwayatkan hadits ini.
Maulana Syekh Ali Jum’ah menerangkan maksud hadits
Jibril di atas sebagai berikut:
Perhatikanlah dengan cermat sabda Rasulullah saw. Lafal
ka’annaka (seolah-olah kamu) yakni dari segi pandanganmu. Di sana terdapat
huruf kaf yang berfaedah tasybih (metafora).
Melihat di sini bukan rukyah yang hakiki (penglihatan
mata) namun rukyah metaforis (permisalan): “Seolah-olah kamu melihat-Nya.” Menyerupai
melihat tetapi bukan melihat itu sendiri. Alasannya adalah karena Allah SWT
tidak bisa dilihat dengan mata kepala di dunia, namun kehadirannya dapat
dirasakan dengan mata hati.
Sebagaimana dikatakan dalam sebuah syair:
قلوب العارفين لها عيون * ترى
ما لا يراه الناظرون
Hati
para ahli makrifat memiliki mata
Melihat apa yang tidak dilihat mata kepala
Kata ‘uyun dalam syair di atas bukanlah
mata secara fisik yang berbentuk bulat untuk melihat, namun yang dimaksudkan
adalah bashirah (mata hati) yang memiliki kemampuan penglihatan lebih dahsyat
ketimbang mata fisik.
Golongan ahli makrifat memiliki bashirah yang dapat
melihat dengan cahaya ilahi. Bahkan ia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat
oleh mata manusia pada umumnya yang terbiasa melihat sesuatu dengan menggunakan
indera penglihatan mereka. Karena Allah SWT berfirman:
لا تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وهُوَ
اللَّطِيفُ الخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai oleh
penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan Dialah
yang Mahahalus lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’am [6]:
103)
Allah SWT tidak diliputi oleh batasan apapun dan
tidak bisa terlihat oleh mata secara fisik pada diri manusia.
Diceritakan bahwa Nabi Musa AS yang bergelar
Kalimullah pernah berkeinginan melihat Allah SWT, sebagaimana dikemukakan dalam
ayat:
رَبِّ أَرِنِي أَنظُرْ إلَيْكَ قَالَ لَن تَرَانِي ولكن
انظُر إلَى الجَبَلِ فَإنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا
تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكاً وخَرَّ مُوسَى صَعِقاً
“Ya Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu)
kepadaku agar aku dapat melihat-Mu. Tuhan berfirman: ‘Kamu sekali-kali tidak
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap pada
tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku.’ Tatkala Tuhannya
menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musa pun jatuh pingsan.” (QS. Al-A’raf [7]: 143)
Jadi melihat Allah SWT dengan mata fisik merupakan
hal yang berada di luar kemampuan manusia dan makhluk lahiriah lainnya. Oleh
karena itu ketika mengabarkan tentang keadaan orang-orang mukmin di akhirat, Allah
SWT berfirman:
وجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَّاضِرَةٌ إلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada
hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannya lah mereka melihat.”
(QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23)
Di sini Allah SWT menggunakan lafal wujuh
(wajah) bukan ‘uyun (mata).
Sebagian ahli makrifat membaca hadits أن تعبد الله كأنك تراه “Kamu menyembah Allah, seolah-olah
kamu melihat-Nya,” dengan pengertian: “awasi dan bimbing jiwamu (nafsumu)
dengan pengawasan yang total dan kontinyu”.
Seperti sahabat Umar bin Khathab RA yang
senantiasa membimbing jiwanya dalam setiap hela nafasnya. Tidak ada sedikit pun
nafas yang terhirup melainkan ia merenungkan, memikirkan, dan menghadirkan
keagungan Allah SWT seraya menunggu kematian seiring nafas keluar. Apakah orang
yang semacam ini, bisa terbesit dalam dirinya keinginan melakukan maksiat, kezaliman,
serta melalaikan keagungan Tuhannya? Dia akan selalu bersama Tuhannya dan
selalu itu yang ada di isi kepalanya. Inilah yang dimaksud dengan Maqam
Muraqabah.
Kemudian datang tingkatan lainnya: فإن لم تكن تراه فهو يراك “Jika kamu tidak melihat-Nya, maka Dia
pasti melihatmu.”
Tingkatan ini lebih rendah dari tingkatan sebelumnya.
Apabila kamu tidak mampu untuk selalu mengingat-Nya dalam tingkatan maqam yang
telah dicapai oleh Umar bin Khathab dan para wali Allah yang shaleh, maka ketahuilah
bahwa Allah SWT pasti melihatmu, mengetahui pedalaman rahasiamu. Oleh karena itu, bertakwalah dan takutlah kepada-Nya!
Makna أن تعبد الله كأنك تراه adalah kamu tidak akan lupa dari-Nya selamanya, dan teruslah
seperti itu sepanjang hidupmu hingga kamu mencapai tingkatan fana (yang ada
hanya Allah SWT).
Jika kamu mampu melenyapkan kedirianmu dan
menyadari bahwa keberadaanmu sangat membutuhkan Allah sementara Dia tidak butuh
pada dirimu, dan kamu menemukan bahwa wujud yang hakiki adalah wujud Allah semata,
sedangkan wujud kita hanya wujud yang aksiden, fana, huduts (ada karena
diadakan) serta ada akhirnya, maka kamu akan mampu mencapai tingkatan rukyah
(melihat Allah dengan mata hatimu).
“Segala anugerah dari awal hingga akhir hanyalah
milik Allah SWT,” demikian Syeikh Ali Jum’ah menutup penjelasannya tentang
makna Ihsan dalam hadits Jibril.