Hari Selasa malam, tepatnya pada tanggal 30 November kemarin adalah malam puncak peringatan datangnya ro’su syarif (kepala mulia) Sayyidina Husein Ra. Orang-orang dari berbagai tarekat dan berbagai pelosok negeri Mesir datang berduyun-duyun dan memadati kawasan makam Sayyidina Husein Ra, sebuah bukti kecintaan pada sosok yang oleh Nabi, ia dan saudaranya, Hasan Ra, disebut sebagai sayidnya para pemuda surga.
Mulai dari kalangan tua sampai kalangan muda terlihat begitu asyik dan khusyuk dalam peringatan tersebut. Jalan-jalan dipenuhi orang-orang pedesaan dengan pakaian khas ala arab jaman dulu, menandakan keaslian bangsa arab yang jauh beda sama sekali dengan kebiasaan orang kota yang lebih akrab dengan kemeja dan jeans.
Orang-orang itu berkumpul di setiap perkemahan sesuai tarekat masing-masing. Mereka mengumandangkan zikir menyenandungkan puja-puji shalawat kepada Nabi Saw dan Ahlul bait. Sambil diiringi alunan musik, terlihat orang-orang berdiri menggerakkan badan mengayun kekanan dan kekiri: semacam simbolisme yang mengekspresikan cinta.
Entah kenapa, saya menangkap sesuatu yang asing saat melihat wajah orang-orang itu. Keasingan yang memantulkan rupa diri sendiri saat melihat wajah-wajah tersebut. Kulihat ada semacam rasa tenang, suatu gerak yang lebih memerankan intuisi yang mendalam. Barangkali demikianlah wajah-wajah yang damai, yang dalam kehidupan seolah menunjukkan sikap yang jelas: tak ada waktu mengurusi hasrat dunia dan celotehnya. Ya, mereka tak memedulikan apa-apa selain cinta dan dunianya. Dunia berhak bertingkah sebebas mungkin dan secepat apa pun yang ia mau, tapi mereka juga tak mau kalah dalam menunjukkan eksistensinya. Hal itu berangkat dari satu fakta: dunia tasawuf adalah dunia yang bebas dan mandiri.
Rupanya kita bisa saksikan, betapa dunia tasawuf erat kaitannya sama kejadian sejarah. Orang-orang saat ini mungkin sedang sibuk dengan urusannya yang aktual ini, sehingga tak ada ruang dalam pikirannya untuk mengenang kejadian-kejadian sejarah. Ya, mungkin umat muslim sedikit banyak tahu siapa Sayyidina Husein itu, dia adalah cucu Nabi Saw. Tapi hal itu cuman berkutat pada pengetahuan yang jumud belaka. Hanya untuk sekedar tahu saja, tapi apakah berdampak pada kesadaran sejarahnya, dan apakah juga menunjukkan penghayatan lebih serius akan hal itu, tidak! Begitulah faktanya. Namun berbeda dengan orang-orang yang dekat dengan tasawuf dan tarekat tersebut, terlihat jelas sama sekali, bahwa dengan memperingati datangnya ra’su syarif ke Mesir yang terjadi pada ratusan tahun silam itu, mereka telah menunjukkan bahwa tidak ada sekat lagi antara kesadaran dan sejarah, antara penghayatan spiritual dan batas-batas ruang waktu.
Dari sini kita menjadi semakin tahu dan mengerti, bahwa pembangunan spiritual, yang dalam hal ini adalah melalui tasawuf, tak lain dan tak bukan adalah kerja pembangunan manusia terhadap pikirannya, kesadarannya; sebuah bentuk penjagaan akan keaslian, mulai dari keaslian nilai, tradisi, spirit, identitas dan sejarah.
Di luar konteks peringatan tersebut, sebetulnya masih terdapat perdebatan apakah benar ro’su syarif Sayyidina Husein Ra berada di Mesir. Dan saya pun pada tahun 2018 an masih sempat terpengaruh akan kebenaran itu. Saat itu saya dikasih tahu oleh seorang pengajar (dia bukan lulusan Azhar) bahasa arab di markaz lughoh. Saya tidak mengingat secara persis apa yang dikatakan olehnya, cuman seingatku dalam sebuah pengajaran dalam kelas, dia bersikukuh dengan pendapatnya bahwa sebenarnya tidak ada makam Sayyidina Husein di Mesir. Mungkin dia berpendapat seperti itu karena terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah yang memang tak mempercayai keberadaan ro’su syarif di Mesir. Imbasnya, setelah mendengar pernyataan tersebut, saya sempat ragu dalam beberapa waktu dan yang awalnya saya sering berziarah lambat laun saya tinggalkan. Namun setelah mendapat keterangan dari teman-teman senior bahwa para Masyayikh Azhar berpendapat akan kebenaran ro’su syarif di Mesir, akhirnya lambat laun saya menjadi percaya dan mulai berziarah lagi.
Syekh Muhammad Zaki Ibrahim mempunyai penjelasan yang baik akan hal ini. Beliau menerangkannya secara panjang lebar bukunya yang berjudul Maroqid Ahli al-Bait fi al Qahirah. Jasad Sayyidina Husein memang dimakamkan di Karbala, tapi kepala yang mulia itu tidak dimakamkan di sana, melainkan di Mesir. Pendapat ini dikuatkan oleh riwayat para sejarawan seperti Ibnu Muyassar, Al-Qalqashamdi, Ali bin Abi Bakr al-Harowi, Ibnu Iyas dan cucu Ibnu Jauzi juga berbagai riwayat yang tertulis dalam kitab-kitab sirah. Al-Maqrizi, seorang sejarawan Islam terkenal mengatakan, Ro’su syarif dipindahkan dari Asqalan untuk dibawa ke Mesir pada 8 Jumadil akhir 548 H, atau tepatnya pada 31 Agustus 1153 M.
Syekh Syubrawi juga mengarang sebuah kitab khusus yang mengupas kebenaran ro’su syarid di Mesir, kita itu diberi judul al-Ithaf. Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa terdapat sekitar dua puluh ulama besar yang memberi persaksian akan hal itu. Di antaranya adalah Imam Syakroni, Imam Munawi, Syekh Hasan Al-‘Adawi, Syekh Soban, Syekh al-Ajhuri, Syekh Abul Mawahib at-Tunisi, Syekh Abu al-Hasan at-Tamar, Syekh Syamsuddin al Bakri, dan Syekh Karimuddin al-Khalwati. Juga mayoritas kaum sufi dari berbagai tingkat, tarekat, dan negara juga memberi persaksian akan kebenaran tersebut.
Dari data-data di atas, kita menjadi paham bahwa keberadaan ro’su syarif Sayyidina Husein Ra yang berada di masjid dekat Azhar itu tidak bisa disangkal kebenarannya. Namun perbedaan pendapat tetaplah ada. Barangkali ribuan orang yang berkumpul di pelataran makam Sayyidina Husein dan sekitarnya itu tak begitu peduli dengan hal itu. Satu hal yang pasti, mereka merasa cukup dengan keyakinannya, dan bagi mereka tak ada waktu lebih untuk mengurusi celoteh dunia, yang mereka mau hanyalah mengekspresikan cinta.
Baca tulisan menarik lainnya tentang Sayyidina Husein di sini.