Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tanya Jawab

Apa Pendapat Ulama tentang Malam Nisfu Sya’ban?

Avatar photo
25
×

Apa Pendapat Ulama tentang Malam Nisfu Sya’ban?

Share this article

Para ulama
berbeda pendapat dalam hal keutamaan malam
Nisfu
Sya’ban
. Secara garis besar, pendapat mereka dapat dibagi ke dua kelompok
besar.

Pertama, mereka yang beranggapan bahwa malam Nisfu Sya’ban sama
dengan malam-malam lainnya, tidak ada kelebihan dan keistimewaan yang berarti.

Kelompok ini
menilai, hadits-hadits yang berbicara seputar keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini
semuanya
dhaif.
Karena Dhaif, maka tidak boleh diamalkan. Karena itu pula, sebagian dari
kelompok pertama ini menilai bahwa orang yang mengadakan acara khusus pada
malam Nisfu Sya’ban dipandang telah keluar dari sunnah, telah melakukan bid’ah,
sesuatu yang tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw. Dan karenanya perbuatan
tersebut bukan amalan dari ajaran Islam.

Alasan utama
lainnya kelompok ini adalah, bahwa mengadakan acara khusus pada
malam
Nisfu Sya’ban
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah saw., juga tidak oleh
para sahabatnya.

Karena itu,
sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw, tidak boleh dilakukan pula
oleh generasi setelahnya. Apabila tetap melakukannya, maka termasuk perbuatan
bid’ah. Ibnu Rajab al-Hanbali menisbahkan pendapat ini kepada Imam Atha’ bin Rabah,
Ibnu Abi Malikah, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, pengikut dan murid-murid Imam
Malik dan merupakan pendapat jumhur ulama Hijaz.

Kedua, kelompok yang mengatakan bahwa malam Nisfu Sya’ban
adalah malam yang sangat istimewa dan mempunyai banyak kelebihan. Hal ini
didasarkan kepada beragama hadits dan riwayat serta atsar dari para ulama
shalih termasuk sahabat Ali bin Abi Thalib.

Sekalipun umumnya
hadits-hadits yang berbicara seputar keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini dhaif,
namun banyak juga hadits Hasan atau Shahih Lighairihi.

Karena itu, masih
menurut kelompok kedua, hadits-hadits Dhaif tersebut kedudukannya saling
menguatkan, sehingga derajatnya naik paling tidak menjadi hadits Shahih
Lighairihi, karena banyak hadits yang saling menguatkan.

Adapun alasan
yang disodorkan kelompok pertama bahwa perayaan malam Nisfu Sya’ban tidak
dilakukan pada masa Rasulullah saw dan para sahabat, kelompok kedua
membenarkannya. Memang pada masa Rasulullah saw dan para sahabat tidak
merayakannya secara berjamaah. Namun, ini tidak berarti bahwa Rasulullah saw
dan para sahabat tidak merayakannya secara pribadi, perorangan.

Rasulullah saw
dan para sahabat tetap memandang malam Nisfu Sya’ban ini sebagai malam
istimewa, dan karena itu beliau-beliau merayakannya dengan jalan lebih
memperketat pelaksanaan ibadah sebagaimana akan disampaikan pada hadits-hadits
di bawah nanti.

Untuk konteks
saat itu, perayaan secara berjamaah tidak Rasulullah saw lakukan lantaran
kondisi belum memungkinkan, misalnya karena umumnya orang-orang saat itu akan
tetap merayakannya secara pribadi meskipun tidak diberjamaahkan.

Kelompok kedua
juga mengatakan, bahwa tidak semua hal yang tidak dilakukan oleh Rasulullah saw
tidak berarti tidak boleh diperbuat. Selama ada dalil umum yang membolehkan,
maka mengenai tekhnis, dapat diatur menurut kondisi dan keadaan.

Hal ini
sebagaimana juga dengan kebiasaan perayaan takbir bersama di mesjid pada malam
Hari Raya. Ini tidak dilakukan pada masa Rasulullah saw, juga tidak pada masa
sahabat. Yang pertama kali melakukan hal ini adalah seorang ulama Tabi’in yang
bernama Abdurrahman bin Yazid bin al-Aswad. Namun sampai saat ini atsar
tersebut masih dipraktekkan dan tetap diperbolehkan.

Demikian juga
dengan pelaksanaan shalat Tarawih diberjamaahkan. Rasulullah saw hanya
melakukannya secara berjamaah satu atau dua hari saja. Setelah itu beliau
melakukannya sendirian. Hal ini juga dilakukan pada masa khalifah Abu Bakar
ash-Shiddiq.

Ketika Khalifah
Umar bin Khatab naik jabatan, beliau kembali memberjamaahkannya dengan dasar
untuk keseragaman dan kemaslahatan bersama. Sampai, Umar bin Khatab ketika para
sahabat lainnya mengatakan bahwa hal itu tidak dilakukan oleh Rasulullah saw
dan para sahabat sehingga dikhawatirkan terjerumus bid’ah, Umar mengatakan, “Ni’mal
bid’atu hadzihi
” (Sebaik-baik bid’ah itu ya ini, shalat tarawih
berjamaah).

Imam Ibnu Rajab
al-Hanbali dalam bukunya Lathaiful Ma’arif, menisbahkan kelompok kedua
ini kepada para ulama tabi’in, di antaranya Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman
bin Amir dan yang lainnya. Pendapat ini juga adalah pendapatnya para ulama
Syams dan Bashrah.

Hadits-hadits
seputar keutamaan malam Nisfu Sya’ban

Sebagaimana
diungkapkan para ulama semisal Ibnu Rajab, Ibnul Jauzi, Imam al-Ghazali, Ibnu
Katsir dan yang lainnya, bahwa hadits-hadits yang berbicara seputar keutamaan
malam Nisfu Sya’ban ini sangat banyak jumlahnya. Hanya, umumnya hadits-hadits
tersebut dhaif, namun ada juga beberapa hadits yang Hasan dan Shahih
Lighairihi.

Untuk lebih
jelasnya, berikut di antara hadits-hadits dimaksud:

عن علي بن إبي طالب عن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: إذا كان ليلة نصف شعبان فقوموا ليلها, وصوموا نهارها, فإن الله
تعالى ينزل فيها لغروب الشمس إلى سماء الدنيا, فيقول: ألا مستغفر فأغفرله, ألا
مسترزق فأرزقه, ألا مبتلى فأعافيه, ألا كذا ألا كذا, حتى يطلع الفجر [رواه ابن
ماجه والحديث ضعفه الألبانى
[

 

Dari Ali bin Abi
Thalib, Rasulullah saw. bersabda
, Apabila sampai pada malam Nisfu Sya’ban, maka shalatlah
pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya, karena sesungguhnya
Allah akan turun ke dunia pada malam tersebut sejak matahari terbenam dan Allah
berfirman, “Tidak ada orang yang meminta ampun kecuali Aku akan mengampuni
segala dosanya, tidak ada yang meminta rezeki melainkan Aku akan memberikannya
rezeki, tidak ada yang terkena musibah atau bencana, kecuali Aku akan
menghindarkannya, tidak ada yang demikian, tidak ada yang demikian, sampai
terbit fajar
.” (HR. Ibnu Majah dan hadits tersebut dinilai Hadits Dhaif
oleh Syaikh al-Alban
i).

عن عائشة قالت:
فقدت النبي صلى الله عليه وسلم فخرجت فإذا هو بالبقيع رافع رأسه إلى السماء, فقال:
((أكنت تخافين إن يحيف الله عليك ورسوله؟)) فقلت: يا رسول الله, ظننت أنك أتيت بعض
نسائك. فقال: ((إن الله تبارك وتعالى ينزل ليلة النصف من شعبان إلى سماء الدنيا
فيغفر لأكثر من عدد شعر غنم كلب)) [رواه أحمد والترمذى وابن ماجه وضعفه الألبانى
فى ضعيف الترمذى
].

Siti Aisyah
berkata
,
Suatu malam saya kehilangan
Rasulullah saw, lalu aku mencarinya. Ternyata beliau sedang berada di Baqi’
sambil menengadahkan wajahnya ke langit. Beliau bersabda, “Apakah kamu
(wahai Aisyah) khawatir Allah akan menyia-nyiakan kamu dan Rasul
Nya?” Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, saya pikir anda pergi mendatangi di
antara istri-istrimu
.” Rasulullah saw bersabda kembali, “Sesungguhnya
Allah turun ke dunia pada malam Nisfu Sya’ban dan mengampuni ummatku lebih dari
jumlah bulu domba yang digembalakan.”
(HR. Ahmad, Ibn Majah dan
Turmidzi. Syaikh al-Alban
i menilai hadits riwayat Imam Turmudzi tersebut sebagai
hadits Dhaif sebagaimana ditulisnya pada ‘Dhaifut Turmudzi’)

Kedua hadits
tersebut adalah hadits yang dinilai Dhaif oleh jumhur Muhaditsin di antaranya
oleh Syaikh Alban
i, seorang ulama yang tekenal sangat ketat dengan hadits.

Namun demikian,
di bawah ini juga penulis hendak mengetengahkan Hadits Hasan dan Shahih
Lighairihi yang berbicara seputar keutamaan malam Nisfu Sya’ban ini.
Hadits-hadits dimaksud adalah:

عن أبي موسى عن النبي صلى الله عليه
وسلم قال: ((إن الله ليطلع ليلة النصف من شعبان فيغفر لجميع خلقه, إلا لمشرك أو
مشاحن)) [رواه ابن ماجه وحسنه الشيخ الألبانى فى صحيح ابن ماجه (1140
[

Dari Abu Musa,
Rasulullah saw bersabda
, Sesungguhnya Allah muncul (ke dunia) pada malam Nisfu
Sya’ban dan mengampuni seluruh makhlukNya, kecuali orang musyrik dan orang yang
dengki dan iri kepada sesama muslim
.” (HR. Ibn Majah, dan Syaikh Albani menilainya sebagai
hadits Hasan sebagaimana disebutkan dalam bukunya Shahih Ibn Majah no hadits
1140).

عن عبد الله بن عمرو عن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: ((إن الله ليطلع إلى خلقه ليلة النصف من شعبان فيغفر لعباده إلا
اثنين: مشاحن, أو قاتل نفس)) [رواه أحمد وابن حبان فى صحيحه
[

Dari Abdullah bin
Amer, Rasulullah saw bersabda
, Sesungguhnya akan menemui makhlukNya pada malam Nisfu Sya’ban,
dan Dia mengampuni dosa hamba-hambanya kecuali dua kelompok yaitu orang yang
menyimpan dengki atau iri dalam hatinya kepada sesama muslim dan orang yang
melakukan bunuh diri
.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban sebagaimana ditulisnya dalam
buku Shahihnya).

Namun, Syaikh
Syu’aib al-Arnauth menilai hadits tersebut hadits yang lemah, karena dalam
sanadnya ada dua rawi yang bernama Ibn Luhai’ah dan Huyay bin Abdullah yang
dinilainya sebagai rawi yang lemah. Namun demikian, ia kemudian mengatakan
bahwa meskipun dalam sanadnya lemah, akan tetapi hadits tersebut dapat
dikategorikan sebagai hadits Shahih karena banyak dikuatkan oleh hadits-hadits
lainnya (Shahih bi Syawahidih).

عن عثمان بن أبي العاص مرفوعا قال, قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: ((إذا كان ليلة النصف من شعبان نادى مناد: هل من
مستغفر فأغفر له؟ هل من سائل فأعطيه؟ فلا يسأل أحد شيئا إلا أعطيه, إلا زانية
بفرجها أو مشركا)) [رواه البيهقى
[

Dari Utsman bin
Abil Ash, Rasulullah saw bersabda
, Apabila datang malam Nisfu Sya’ban, Allah berfirman, “Apakah
ada orang yang memohon ampun dan Aku akan mengampuninya? Apakah ada yang
meminta dan Aku akan memberinya? Tidak ada seseorang pun yang meminta sesuatu
kecuali Aku akan memberinya, kecuali wanita pezina atau orang musyrik
.” (HR. Baihaki)

Dengan memperhatikan,
di antaranya, hadits-hadits di atas, maka tidak berlebihan apabila kelompok
kedua berpegang teguh bahwa malam Nisfu Sya’ban adalah malam yang istimewa,
karena bukan hanya dosa-dosa akan diampuni, akan tetapi juga doa akan
dikabulkan. Hadits-hadits yang dipandang Dhaif oleh kelompok pertama yang
berbicara seputar keistimewaan malam Nisfu Sya’ban ini, paling tidak kedudukan
haditsnya menjadi terangkat oleh hadits-hadits lain yang berstatus Hasan atau
Shahih Lighairihi.

Atau boleh juga
dikatakan, karena hadits-hadits dhaif yang berbicara seputar keutamaan malam Nisfu
Sya’ban ini dhaifnya tidak parah dan tidak berat, maka satu sama lain menjadi
saling menguatkan sehingga kedudukannya naik menjadi Hadits Hasan Lighairihi. Wallahu
‘alam.

Istimewanya malam
Nisfu Sya’ban ini juga dikuatkan oleh atsar para sahabat. Imam Ali bin Abi
Thalib misalnya, sebagaimana dikutip Ibnu Rajab, apabila datang malam Nisfu
Sya’ban, ia banyak keluar rumah untuk melihat dan berdoa ke arah langit, sambil
berkata, “Sesungguhnya Nabi Daud as, apabila datang malam Nisfu Sya’ban, beliau
keluar rumah dan menengadah ke langit sambil berkata, “Pada waktu ini tidak ada
seorang pun yang berdoa pada malam ini kecuali akan dikabulkan, tidak ada yang
memohon ampun, kecuali akan diampuni selama bukan tukang sihir atau dukun.”

Imam Ali lalu
berkata, “Ya Allah, Tuhannya Nabi Daud as, ampunilah dosa orang-orang yang
meminta ampun pada malam ini, serta kabulkanlah doa orang-orang yang berdoa
pada malam ini
.”

Sebagian besar
ulama
tabi’in seperti Khalid bin Ma’dan, Makhul, Luqman bin Amir
dan yang lainnya, juga mengistimewakan malam ini dengan jalan lebih mempergiat
ibadah, membaca al-Qur’an dan berdoa. Demikian juga hal ini dilakukan oleh
jumhur ulama Syam dan Bashrah.

Bahkan, Imam
Syafi’i pun beliau mengistimewakan malam Nisfu Sya’ban ini dengan jalan lebih
mempergiat ibadah, doa dan membaca al-Qur’an. Hal ini sebagaimana nampak dalam
perkataannya di bawah ini:

بلغنا أن الدعاء يستجاب فى خمس ليال:
ليلة الجمعة, والعيدين, وأول رجب, ونصف شعبان. قال: واستحب كل ما حكيت فى هذه
الليالي

“Telah sampai
kepada kami riwayat bahwa dua itu akan (lebih besar kemungkinan untuk)
dikabulkan pada lima malam: Pada malam Jum’at, malam Idul Fithri, malam Idul
Adha, malam awal bulan Rajab, dan pada malam Nisfu Sya’ban. Imam Syafi’i
berkata kembali, “Dan aku sangat menekankan (untuk memperbanyak doa) pada
seluruh malam yang telah aku ceritakan tadi.”

Dari pemaparan di
atas nampak bahwa sebagian besar para ulama salaf memandang istimewa malam ini,
karenanya mereka mengisinya dengan mempergiat dan memperbanyak ibadah termasuk
berdoa, shalat dan membaca al-Qur’an. Sedangkan menurut ulama Fiqih, termasuk
Syafi’iyyah, Hanafiyyah, sebagian Hanabilah dan sebagian Malikiyyah, memandang
sunnat juga menghidupkan malam Nisfu Sya’ban ini dengan beragam ibadah.
Termasuk di dalamnya, para
ulama al-Azhar
sampai saat ini.

Kontributor

  • Aep Saepulloh Darusmanwiati

    Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kemudian meneruskan studi Universitas al-Azhar Kairo dan meraih magister pada Jurusan Ushul Fiqh. Sekarang kandidat doktor Ushul Fiqih Universitas al-Azhar. Beliau menulis sejumlah buku antara lain Mengintip Alam Gaib, Dialog Nabi dengan Para Nabi dan Setan Hafal Ayat Kursi.