Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tanya Jawab

Daftar Kosmetik yang Menjadi Penghalang Air Wudhu

Avatar photo
52
×

Daftar Kosmetik yang Menjadi Penghalang Air Wudhu

Share this article

Kosmetik atau make up telah menjadi satu hal yang tak asing bagi setiap muslimah. Bahkan kosmetik dinilai sebagai suatu hal yang primer dan tak bisa dilepaskan dari diri setiap muslimah pada umumnya.

Namun, ketika kosmetik mempengaruhi keabsahan ibadah, maka perlu ada peringatan dan penjelasan hukum untuk mengatasi permasalahan tersebut.

Apakah kosmetik semisal; lipstik (gincu), skin-care, sun-block, kutek dan lain sebagainya dikategorikan sebagai suatu hal yang mengganggu keabsahan wudhu bagi setiap muslimah? Apakah benar kosmetik ini digolongkan ke dalam hal-hal penghalang meresapnya air ke dalam pori-pori kulit?

Baca juga: Etika Berpakaian Muslimah Menurut Syaikh Sya’rawi

Maka, kita akan ulas hal tersebut dalam kacamata fikih, menurut sudut pandang dari ulama dan para pakar ilmu fikih yang kredibel dan terpercaya.

1. Lipstik (Gincu)

Lipstik menurut pendapat mayoritas ulama kontemporer Hadramaut, digolongkan dari hal-hal yang menjadi penghalang meresapnya air ke dalam pori-pori kulit. Maka, tidak sah wudhu setiap muslimah yang tak menghilangkan lipstiknya terlebih dahulu sebelum berwudhu.

Salah satunya pendapat dari pakar ilmu fikih sekaligus rektor Universitas Imam Syafi’i, Hadramaut Sayyidi al-murabbi Dr. Muhammad bin Aly Ba’atiyah. Beliau berkata,

ومثله –أي: الجامد المانع من وصول الماء- ما تصنعه النساء على الوجه كالبودرة التي للوجه، وأحمر الوجنتين، وحامورة الشفتين

“Termasuk dalam kategori bahan-bahan penghalang meresapnya air ke dalam pori-pori kulit yaitu; krim wajah, pemerah pipi, serta lipstik (gincu).” (lihat; Ghoyat al-Muna Syarah Safinat an-Naja, hal; 179)

Konsensus (ijmak) Markaz at-Tamayyuz al-Bahtsi dari negeri Hijaz mengemukakan pendapat yang senada, serta menambahkan,

أيضاً أحمر الشفاه الثابت، وهذا يبقى مدة يوم كامل حتى يزال بمواد معينة، ويمنع وصول الماء عند الوضوء، فكل ذلك يمنع صحة الطهارة

“Adapun lipstik yang tak dapat hilang dalam rentang waktu satu hari penuh, serta hanya mampu dihilangkan dengan suatu zat tertentu, sungguh sangat jelas bahwa (lipstik tersebut) menghalangi resapan air ke dalam pori-pori kulit, dan menganggu keabsahan wudhu.” (al-Mausu’ah al-Muyassarah, hal; 45)

Maka dituntut bagi setiap muslimah untuk membasuh air dan menghilangkan terlebih dahulu bekas kosmetik tersebut sebelum berwudhu, agar resapan air ke dalam pori-pori kulit tak terhalang dengannya. Jika setiap muslimah patuh serta mengikuti langkah-langkah ini maka ia akan meraih keabsahan dalam berwudhu yang merupakan kunci gerbang dari keabsahan shalatnya.

2.  Kutek

Sebuah istilah dari sesuatu yang umumnya digunakan oleh para muslimah untuk menghias kuku atau jari-jemarinya, dengan cara dioleskan di atas kuku-kukunya –hingga menghasilkan kuku dengan berbagai macam warna ataupun corak.

Para ulama dan pakar ilmu fikih sepakat bahwa kuku tergolong ke dalam bagian kedua tangan yang wajib dibasuh oleh setiap muslimah di setiap wudhunya.

Apakah kutek ini termasuk hal yang menjadi penghalang meresapnya air?

Mayoritas para pakar, mufti dan ulama fikih menyatakan bahwa kutek yang sering digunakan oleh muslimah tergolong sebagai sesuatu hal yang menghalangi resapan air, karena sebab kandungan zat kimia di dalamnya. Pendapat ini merupakan hasil konsensus dari al-Fatawa al-Mishriyyah (Majelis Fatwa Mesir)’ dan ‘Lajnah al-Awqaf al-Imaratiyyah (Majelis Fatwa Uni Emirat Arab).

Mufti pesisir Hadramaut sekaligus salah satu pemrakarsa berdirinya Universitas al-Ahgaff, al-Habib Abdullah bin Mahfud al-Haddad dalam salah satu dialog interaktifnya yang disiarkan oleh salah satu stasiun radio setempat menyatakan,

“Kutek termasuk hal yang menghalangi resapan air ke dalam pori-pori kulit. Maka bagi diwajibkan bagi para muslimah untuk menghilangkan kutek tersebut sebelum berwudhu. Adapun hukum memakai kutek bagi wanita yang sedang haid ialah mubah (boleh) dikarenakan tak adanya kewajiban shalat baginya, namun ketika ia sudah mampet dan hendak bersesuci maka wajib baginya untuk menghilangkannya.”

Kemudian beliau pun memperingatkan para muslimah di akhir dialognya serta memberi nasehat,

ولتلعلم المسلمة أن هذه الأصباغ إنما عملت للكافرات اللواتي لا يعرفن ربهن ولا يصلين له ولا دين له، ولهذا فإن بيعه للمسلمات حيلة شيطانية غربية يهودية من أجل أن تضيع على المسلمة فرضها وصلاتها التي هي عماد الدين، وعليها يترتب نجاتها من النار، فلتحذر من ذلك غاية الحذر

“Perlu diketahui bagi para muslimah, sesungguhnya kutek ini diperuntukkan untuk wanita-wanita non-muslim yang jauh akan nilai-nilai agama, dan tak mengenal akan kewajiban shalat, serta tak mementingkan agama. Maka diedarkannya kutek ini, hingga sampai di tangan muslimah merupakan salah satu upaya, dan tipu-muslihat iblis melalui perantara negeri barat selaku pemasok kutek ini, dengan tujuan merusak keabsahan ibadah setiap muslimah, khususnya shalat yang merupakan penyokong agamanya, serta penyelamatnya dari jurang neraka. Maka bagi setiap muslimah untuk mawas diri dan berhati-hati.”  (Fatawa Tuhimmu al-Marah, hal: 53-54).

Dr. Ali Jum’ah mufti agung Mesir pun sejalan dengan apa yang disampaikan oleh mufti Hadramaut. Beliau menambahkan,

أما الذي ابتلي به كثير من الناس: فهو (المناكير والباديكير) وهو ما يوضع في اليدين والقدمين، فإن هذا يعد حائلاً كثيفاً يحول دون وصول الماء إلى المكان المفروض في الوضوء. فلا يجوز للمرأة شرعاً أن تتوضأ إلا بعد إزالة المانيكير، لأنه يمنع الماء من الوصول للأظفار.

 “Adapun kutek yang merupakan istilah dari suatu hiasan yang dioleskan di atas kuku tangan atau kaki tergolong dalam sesuatu yang menghalangi resapan air ke dalam anggota wudhu, maka tidak diperbolehkan berwudhu melainkan setelah menghilangkan kutek ini.” (Fatawa an-Nisa, hal: 140-141).

3. Skin-Care

Status dari skin-care, sun-block, dan krim-krim kulit lain yang umumnya digunakan oleh muslimah, dibagi oleh ulama dan pakar fikih menjadi 2 bagian:

Pertama: Jika krim-krim kulit hanya berupa pelembab kulit yang tak meninggalkan ‘al-jirm (zat penghalang)’ maka boleh bagi muslimah untuk berwudhu tanpa dituntut untuk menghilangkan krim itu terlebih dahulu. Namun, seyogiyanya untuk membilas krim tersebut dengan basuhan wudhu seraya menggosoknya.

Kedua: Jika krim-krim tersebut mengandung zat-zat penghalang yang dikonotasikan dengan; ‘water-proof’ hingga terbentuk lapisan baru (di atas kulit) maka jelas hal ini tergolong ke dalam penghalang air yang wajib dihilangkan terlebih dahulu sebelum berwudhu.

Bagian kedua inilah yang dimaksudkan oleh al-Imam Ibn Hajar dan al-Imam Zakariya al-Anshari dalam tuturnya,

ويجب إزالة الخضاب والحناء والحسن –هو صبغ تستعمله النساء في الوجه كالخضاب- الذي له جرم

“Diwajibkan sebelum berwudhu untuk menghilangkan masker kulit, pacar, dan krim-krim kulit yang umumnya dipakai perempuan untuk dioleskan di wajahnya, jika masih berupa zat (penghalang/tidak hilang).” (Misykat at-Tanwir Syrh al-Mukhtashor as-Shoghir, hal: 55).

Disimpulkan bahwa ‘Sun-block’ tidak semuanya bersifat tahan air (water-proof), akan tetapi sebagian ‘sun-screen’ yang spf-nya tinggi dinilai bersifat water-proof. Adapun tata-cara mengetahui sunscreen tersebut tergolong water-proof atau bukan? Umumnya di depan kemasan sun-block sendiri tertulis; ‘water-resistance’.

Jika dianggap sun-block bersifat water-resistance (tahan air), maka tidak diperkenankan berwudhu melainkan setelah menghilangkan krim tersebut dengan facial-wash (cuci muka).

Air keringat meskipun mengandung H2O yang sama sifatnya dengan air, akan tetapi kelenjar keringat tak mampu memproduksi air keringat dengan volume yang banyak (agar mampu menghilangkan zat penghalang tersebut) dalam satu waktu. Air keringat tak akan mampu memiliki kekuatan yang sama dengan basuhan air, serta tak akan mampu menghilangkan secara sempurna sun-screen tersebut. Wallahu a’lam bis-Showab

Referensi:

  1. Fatawa Tuhimmu al-Marah, karya; al-Habib Abdullah Mahfud al-Haddad.
  2. Fatawa an-Nisa, karya; Dr. Ali Jum’ah.
  3. Qodhoya Fikihiyyah Mu’asoroh, karya; Markaz at-Tamayyuz al-BahtsiUniversitas Muhammad Su’ud al-Islamiyyah, Makkah.
  4. Misykat at-Tanwir Syarh al-Mukhtashor as-Shoghir, karya; Asy-Syekh Abdullah bin Ahmad Ba’abbad.
  5. Ghoyat al-Muna, karya; Dr. Sayidi al-Murabbi Muhammad bin Ali Ba’atiyah.

Kontributor

  • Muhammad Fahmi Salim

    Alumni S1 Univ. Imam Syafii, kota Mukalla, Hadramaut, Yaman. Sekarang aktif mengajar di Pesantren Nurul Ulum dan Pesantren Al-Quran As-Sa'idiyah di Malang, Jawa Timur. Penulis bisa dihubungi melalui IG: @muhammadfahmi_salim