Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

An-Nasir Hasan: Sultan Muda di Tengah Kemelut Politik Mamluk

Avatar photo
23
×

An-Nasir Hasan: Sultan Muda di Tengah Kemelut Politik Mamluk

Share this article

Matahari sudah hampir terbenam di sore
yang dingin di pertengah bulan Desember. Musim dingin sedang bertahta di bumi
Mesir. Kairo terguncang oleh kabar terbunuhnya Sultan al-Muzaffar Hajji, Sultan
Mamluk yang baru memerintah tiga belas bulan di Mesir. Al-Muzaffar yang keluar
dari istananya demi memerangi pemberontakan para Mamluk Sirkasian justru
dikhianati oleh pasukannya sendiri.

Pasukannya meninggalkannya sendirian
menghadapi ribuan tentara Mamluk Sirkasian di tepi kota Kairo. Tidak ada yang
menolongnya. Gelar Sultan yang disandangnya seolah telah tanggal terlebih
dahulu sebelum kepalanya lepas dari tubuhnya. Tragis, itulah gambaran kondisi al-Muzaffar
saat itu.

Itulah saat-saat yang benar-benar
membuat al-Muzaffar merasa menjadi manusia paling hina dan tidak berdaya.
Ribuan Mamluk Sirkasian yang termakan berita palsu dari amir-amir pembencinya
menunjukkan raut muka marah. Wajah-wajah mereka nampak seperti algojo yang siap
memenggal kepalanya kapan saja. Ia pun ditangkap dan dieksekusi. 16 Desember
1347
, Putra keenam dari
Nasir Muhammad bin Qalawun itu pun tewas dibunuh oleh para Mamluk, yang tak
lain adalah rakyatnya sendiri.

Kematian Sultan al-Muzaffar dengan
cepat menyebar ke seluruh penjuru kota Kairo. Para amir segera berkumpul di
benteng Shalahuddin untuk melakukan rapat terbatas. Suasana di dalam istana
menjadi tegang. Tensi politik meninggi. Sultan baru saja dibunuh! Tentu di
saat-saat seperti itu siapapun tidak ada yang bisa dipercaya. Tidak jelas siapa
kawan dan siapa lawan. Mereka sudah siap beradu kekuatan politik untuk
menetapkan sultan yang baru, bahkan ketika jenazah Muzaffar Hajji belum
dimakamkan.

Pembunuhan Sultan al-Muzaffar adalah
hasil tipu daya para amir yang menghasut para Mamluk Kirkasian dengan berita
palsu bahwa al-Muzaffar akan membunuh pemimpin mereka yang juga orang
kepercayaan al-Muzaffar sendiri yaitu Amir Ghurlu. Sementara di lain pihak al-Muzaffar
juga termakan hoaks yang dimunculkan oleh Ali al-Kasih seorang pelawak istana
yang disewa para amir Mamluk yang membenci al-Muzaffar. Al-Kasih dengan
leluconnya membuat al-Muzaffar mencurigai Ghurlu yang menurut sangkaannya ingin
menggulingkan kekuasaannya. Sehingga al-Muzaffar tersulut emosi ingin membunuh
Ghurlu. Rencana mengadu domba antara al-Muzaffar dan Ghurlu sukses dengan
kematian al-Muzaffar. Trik politik yang cerdik.

Di antara para amir yang melakukan
rapat di dalam benteng Shalahuddin saat itu ada empat amir yang juga punya
kepentingan politik tersendiri yang memanfaatkan situasi kematian Muzaffar.
Mereka adalah Baybugha al-Qasimi, Manjak al-Yusufi, Syaykhu an-Nasiri, dan Tazz
an-Nasiri. Empat amir ini secara sepihak mengusulkan adik dari al-Muzaffar yang
masih berusia dua belas tahun. Dia adalah putra ketujuh dari Sultan Nasir
Muhammad bin Qalawun yang bernama An-Nasir Badr ad-Din Hasan bin Nasir Muhammad
bin Qalawun.

Meski di pihak lain para amir Mamluk
mengusulkan al-Amjad Hussain saudara an-Nasir Hasan yang lain, namun dengan
kecerdikan empat amir tersebut, an-Nasir Hasan berhasil naik tahta sebagai
sultan baru di Mesir di usianya yang masih sangat muda. Tentu saja suasana
perpolitikan Mesir menjadi semakin panas saat itu. Ratusan ribu penduduk Kairo
menunggu hasil rapat para amir di luar benteng dengan harap-harap cemas. Nasib
kehidupan mereka yang hidup di bawah monarki Mamluk yang penuh intrik politik
akan ditentukan malam ini dari balik dinding benteng Shalahuddin. Masing-masing
amir sudah siap dengan konfrontasi militer jika konflik terus memanas dan
suksesi kepemimpinan Mesir tidak kunjung menemukan titik temu.

Setiap amir di bawah pemerintahan
Dinasti Mamluk memang memiliki bala tentara mereka sendiri berdasarkan klan dan
bangsa asal mereka ketika masih menjadi budak di era dinasti sebelumnya. Wajar
saja jika mereka memiliki kekuatan politik yang nyaris sama dengan sultan
mereka. Mereka bisa saja mengerahkan tentara mamluk mereka untuk bertempur
habis-habisan demi kepentingan klan dan pemimpin mereka.

Beruntunglah rakyat Mesir hari itu
karena mereka terhindar dari perang saudara yang hanya sejengkal lagi meletus.
Perebutan kekuasaan dengan cara barbar terhindarkan. Deal-deal politik dan
lobi-lobi tingkat tinggi antar klan Mamluk yang dilakukan Baybugha al-Qasimi, Manjak
al-Yusufi, Syaykhu an-Nasiri, dan Tazz an-Nasiri membuahkan hasil. Entah apa
yang mereka tawarkan kepada para pemimpin klan Mamluk malam itu. Bisa harta,
jabatan, atau wanita. Yang jelas pertarungan antar klan Mamluk yang berpotensi
menumpahkan banyak darah bisa dihindarkan.

Pagi itu, 17 Desember 1347 Mesir
memiliki sultan muda baru, dialah an-Nasir Badr ad-Din Hasan bin Nasir
Muhammad. Penobatannya dihadiri ribuan rakyar Mesir dari berbagai klan, suku,
ras, dan agama. Para amir berkumpul di depan istana di benteng Shalahuddin yang
menjadi pusat pemerintahan Mesir saat itu. Mereka semua hadir untuk melantik Hasan
sebagai sultan baru Mesir.

Hasan yang masih berusia dua belas
tahun nampak polos dan belum cukup mengerti apa yang sedang dia hadapi. Tidak ada
daya yang dia miliki menolak jabatan. Tidak pula ia berdaya untuk bertitah
memimpin negara sebesar Mesir yang kekuasaanya mulai dari ujung utara Turki
hingga ke ujung selatan Sudan, dari Libya hingga pesisir barat Semenanjung
Arab. Setinggi apapun jabatan yang dia miliki sekarang dia tetap seorang bocah
yang masih berusia dua belas tahun.

Pemilihan Hasan yang baru berusia dua
belas tahun memang bukan tanpa kepentingan politik. Empat orang amir yang
mengangkatnya, Baybugha al-Qasimi, Manjak al-Yusufi, Tazz, dan Syaykhu telah
memendam tujuan pribadi mereka dengan dilantiknya Hasan. Sudah menjadi
undang-undang di dalam pemerintahan Dinasti Mamluk, jika sultan yang naik tahta
masih berusia anak-anak maka pemerintahan akan diwakilkan kepada walinya. Empat
amir itulah wali dari Hasan.

Ke depan Hasan hanya akan menjadi
simbol kekuasaan saja. Ia hanya akan hadir dalam seremonial kenegaraan namun
pengambilan kebijakan negara ada di tangan empat amir yang menjadi walinya. Hasan
hanya akan dimanja di istana dengan berbagai fasilitas kesultanan. Namun
hakikatnya dia tidak memiliki kuasa mengambil kebijakan bagi rakyat Mesir. Dia
tidak bisa memberi perintah pada menteri, amir, dan para tentara. Dia hanya
bisa menyuruh pelayan istana menyiapkan sarapan, susu, dan menemaninya bermain
layaknya anak-anak.

Baybugha, Manjak, Tazz, dan Syaikhu
tentu secara alamiah akan menikmati kekuasaan yang ada pada mereka saat ini.
Mereka memiliki akses memerintah para amir yang lain, menteri, dan bahkan
tentara. Mereka berempat juga punya akses mengendalikan perekonomian Mesir,
ekspor-impor, dan perdagangan budak. Hukum pun ada tangan mereka berempat.
Bayangkan bagaimana rasanya menjadi “sultan bayangan” yang
mengendalikan sebuah kerajaan besar di lembah sungai Nil! Apa yang bisa diibaratkan
dari perbandingan antara susu yang diantar pelayan istana dengan pengendalian
ekonomi, politik, dan militer dari sebuah negara? Itu sama saja membandingkan
pistol mainan yang diadu dengan sebuah tank tempur kelas berat di masa modern.

Kontributor

  • Zulfahani Hasyim

    Alumni Universitas al-Azhar Mesir. Suka menerjemah kitab-kitab klasik. Sekarang tinggal di Banyumas Jawa Tengah.