Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Biografi Imam Alwi Al-Ghuyur, Putra Al-Faqih Al-Muqaddam

Avatar photo
76
×

Biografi Imam Alwi Al-Ghuyur, Putra Al-Faqih Al-Muqaddam

Share this article

Imam
Alwi
bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam Ba’alawi
merupakan sosok
yang memiliki kedudukan tinggi, kekeramatan yang luar biasa, terhiasi oleh
ilmu-ilmu laduni dan rahasia-rahasia gaib.

Imam Alwi bergelar Al-Ghuyur
yang memiliki makna sang pencemburu sebab beliau cemburu dengan namanya
sendiri. Karena pada zaman itu tidak ada yang memiliki nama Alwi selain dirinya
sendiri. Jika ada seseorang yang menamai anaknya dengan nama Alwi, maka bisa
dipastikan bahwa si anak tersebut tidak akan bisa mencapai derajat setinggi derajat
Imam Alwi Al-Ghuyur.

Beliau adalah putra Imam Al-Faqih
Al-Muqaddam
(ahli fikih terkemuka) Muhammad bin Ali Ba’lawi sang penggagas Tarekat
Alawiyyah atau Tarekat as-Sadah al-Ba’alawi.
Ibunya bernama Zainab binti Ahmad bin
Muhammad Shahib Mirbath.

Silsilah nasab Imam Alwi bersambung kepada Rasulullah Saw
dengan urutan: Alwi bin Muhammad bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali
Khali’ Qasam bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad
al-Muhajir bin Isa bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far
ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib, suami Sayyidah Fathimah binti Rasulullah saw.

Beliau lahir dan tumbuh besar di kota
Tarim, tempat yang di kelilingi oleh masyarakat yang sangat menjunjung tinggi ilmu
syariat. Pendidikannya dimulai dari ayahnya sendiri.

Dari sang ayah, Imam Alwi mempelajari
berbagai macam ilmu, baik ilmu lahir maupun batin seperti ilmu syariat, tarekat
dan hakekat. Beliau memiliki keistimewaan layaknya wali Allah yang lainnya.
Anugerah itu didapatkan karena hatinya yang bersih dari segala macam perkara
duniawi yang menjauhkan seseorang dari Allah.

Beliau mampu memahami rahasia-rahasia ilahi
dan alam akhirat, bukan hanya itu akan tetapi beliau mampu mengenali seseorang
yang termasuk dari golongan yang selamat ataupun celaka.

Keistimewaan Imam Alwi Al-Ghuyur tidak
luput dari pengetahuan ayahnya sendiri. Sering kita mendengar istilah, “La
ya’riful wali illa al-wali”
(Tidak akan mengetahui seorang wali kecuali wali
juga). Sang ayah bertanya kepada anaknya, “Kamu dapat mengetahui orang yang
celaka dan orang yang selamat, cobalah lihat tanda yang ada di dahiku ini.” Seketika,
beliau mendapati ayahnya berada dalam maqom yang sangat tinggi bahkan tidak ada
satu pun orang yang menyamai kedudukannya pada saat itu.

Al-kisah, Imam Al-Faqih Al-Muqaddam
pernah menyuruh anaknya itu untuk mencari rumput di hutan agar bisa diberikan
kepada domba ternaknya. Imam Alwi pun pergi sendiri ke hutan, namun tidak lama
kemudian beliau kembali pulang dengan tangan kosong. Lalu sang ayah bertanya, “Mengapa
kamu tidak membawa rumput yang kuperintahkan?”

Imam Alwi menjawab, “Bagaimana aku
sanggup memotong rumput, sedangkan ketika itu aku mendengar bahwa para
rerumputan yang menjadi mahluk Allah sedang bertasbih. Oleh sebab itu, aku malu
untuk memotongnya.”

Suatu hari, beliau pergi berkunjung
menziarahi makam sang kakek Bani Alawi, yaitu makam Baginda Nabi Muhammad Saw
di Madinah. Setelah sampai di sana, beliau menyaksikan langsung bahwa Nabi
Muhammad Saw sedang duduk bersama sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab.

Setelah mengucap salam kepada mereka, Imam
Alwi memberanikan diri untuk bertanya kepada kakeknya, “Bagaimana kedudukan
kami di sisimu, wahai kakek?”

Nabi menjawab, “Kedudukanmu di sisiku
berada di kedua mataku, wahai Alwi.”

Kemudian Nabi Muhammad Saw balik
bertanya, “Lalu bagaimana kedudukanku di sisimu wahai Alwi?”

Beliau menjawab, “Engkau berada di atas
kepala.”

Perkataan Imam Alwi menarik perhatian
Sayyidina Abu Bakar. Dia berkata, “Kamu belum menjawab pertanyaan Rasulullah
Saw dengan baik dengan menyebutkan kedudukannya berada di atas kepalamu.
Ketahuilah, tidak ada maqam yang mampu menandingi kedudukan di pelupuk matanya.
Sedehkahlah 100 dinar kepada fakir miskin atas kekhilafanmu.”

Selain berguru kepada ayahnya sendiri,
beliau juga berguru kepada ulama Tarim lainnya seperti Abdullah bin Muhammad
Ba’abbad, Abdurrahman bin Faqih Muqaddam, Syekh Abdullah bin Ibrahim Baqusyair,
dan Syekh Said bin Umar Balhaf. Sedangkan di antara yang menjadi murid-muridnya
adalah saudara kandungnya sendiri yaitu Syaikh Abdurrahman, Syaikh Ahmad dan
Syaikh Ali.

Imam Al-Faqih Muqaddam memujinya dan
mengisyaratkan kelak beliau akan menjadi wali besar. Bahkan para maha guru
mengisyaratkan sirr ayahnya akan berpindah kepada beliau, mereka mengatakan, “Dirinya
cukup menjadi pengganti para salaf terdahulu.”

Beliau wafat  pada hari Jum’at tanggal 2 Dzulqa’dah tahun
669 H. Disemayamkan di
kompleks pemakaman
Zanbal
Tarim, tepat
sebelah timur kubur
ayahnya. Dan di sebelahnya ada kubur paman ayahnya Sayyidina Alawi, juga kubur
saudaranya Ali bin Faqih Muqaddam, juga Muhammad bin Abdullah Ba’alawi, dan
saudaranya Ali sampai ujung di kubur Salim bin Basri. Di sekitarnya juga ada
kubur Abdullah bin Faqih al-Muqaddam. Wallahu a’lam bis shawab.

Referensi: Syarah
Nadzhom Al-Ainiyyah Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, karya Habin Ahmad bin
Zein Al-Habsyi. 

Kontributor

  • Faisal Zikri

    Pernah nyantri di Daarul 'Uulum Lido Bogor. Sekarang meneruskan belajar di Imam Shafie Collage Hadhramaut Yaman. Suka membaca, menulis dan sepakbola.