Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Durrah Putri Abu Lahab yang Dibela Nabi

Avatar photo
33
×

Durrah Putri Abu Lahab yang Dibela Nabi

Share this article

Keluar dari perkampungan Bani Abdi Yalail bin Abdi
Kalal, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tampak kalut. Pasalnya,
mereka bukan saja menolak Islam yang beliau dakwahkan, tetapi mencemooh beliau
dengan ungkapan-ungkapan sangar yang sangat menyakitkan. Bahkan menyakiti fisik
beliau dengan kerikil-kerikil kecil yang beterbangan dari tangan-tangan mungil
bocah-bocah kampung.

Dengan pikiran kusut, bahkan shock berat,
beliau menyusuri jalan tak tentu arah. Saat sadar, tiba-tiba saja beliau telah
jauh berada di suatu tempat yang bernama Qarn al-Tsa’alib (nama lain dari Qarn
al-Manazil). Di sini, tak sengaja beliau mendongakkan wajahnya ke langit.
Segumpal awan hitam tampak menggantung di sana. Ternyata di dalamnya ada sosok
Malaikat Jibril ‘alaihis salam.

“Wahai Nabi Muhammad,” sapa Jibril. “Allah telah
mendengar perkataan kaummu kepadamu dan tanggapan mereka atas seruan dakwahmu.
Sekarang, Allah mengutusku bersama malaikat penjaga gunung untuk kauperintahkan
apa saja yang kausuka.”

Kemudian si malaikat penjaga gunung menyapa beliau
dan memanggil salam. Kemudian dia berkata, “Nabi Muhammad, benar kata Jibril.
Jika engkau izinkan aku untuk menggencet kampung mereka dengan mengatupkan dua
gunung akhsyab (maksudnya Gunung Abu Qubais dan Gunung Qu’aiqi’an yang
berhadap-hadapan), niscaya akan kulakukan.”

Tetapi beliau hanya memberikan jawaban singkat
yang sangat menyejukkan dan bisa menjadi support moral bagi para dai di setiap
zaman dan tempat:

بل أرجُو أن يُخرجَ الله عز وجل مِن أصلابهم مَن يعبد الله
عز وجل وحده لا يشركُ به شيئًا

“Tidak, aku malah berharap Allah akan
mengeluarkan dari punggung mereka keturunan yang menyembah Allah satu-satunya
tanpa menyekutukan sesuatu apa pun dengan-Nya.”

(HR. al-Bukhari dari Urwah bin al-Zubair radhiyallahu anhu).

Harapan Rasulullah itu belakangan terbukti menjadi
kenyataan. Tentu anda tahu paman beliau yang disindir Al-Qu’ran dengan sebutan
Abu Lahab yang berarti kobaran api dan istrinya yang digelari dengan Hammalat
al-Hathab yang berarti si pemanggul kayu bakar. Siapa sangka dari pasangan
kafir musuh Allah ini justru lahir seorang anak perempuan yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya, sangat taat beragama dan menjadi salah seorang sahabat
perempuan yang utama.

Durrah radhiyallahu anha, demikian nama
perempuan itu, tiba-tiba disinari hatinya oleh Allah dengan cahaya keimanan. Ia
minggat dari kedua ortunya, masuk Islam dan menyusul hijrah ke Madinah. Di
Madinah dia sering mondar-mandir ke bilik Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu
anha
untuk belajar agama. Jika tidak salah, ada tiga hadits dalam Sahih
al-Bukhari
yang berasal dari riwayat sepupu Rasulullah ini.

Di zaman jahiliah, ia
menikah dengan Al-Harits bin Nawfal bin Abdul Mutthalib dan dikaruniai tiga
orang anak laki-laki, yaitu Uqbah, Al-Walid dan Abi Muslim. Saat Perang Badar
berkecamuk, suaminya ikut berperang di kubu kaum musyrik dan tewas dalam perang
tersebut. Lalu, setelah hijrah, ia dilamar oleh Dihyah al-Kalbi radhiyallahu
anhu
dan tak lama kemudian keduanya pun menikah. Rupanya Allah telah
mengutus Dihyah untuk menjadi pengganti yang baik dari Al-Harits.

Suatu ketika beberapa perempuan dari Bani Zuraiq
meledek Durrah. “Engkau ini kan anak Abu Lahab yang telah dicemooh oleh Allah
dalam Al-Qur’an itu ya? Mengapa kamu hijrah ke sini?” kata mereka.

Durrah pun segera sowan pada Rasulullah untuk
mengeluhkan ledekan mereka. “Baik, duduklah,” timpal Rasulullah.

Kemudian beliau keluar ke masjid untuk memimpin
shalat Zhuhur. Setelah shalat, beliau naik mimbar, lalu duduk dan bersabda:

“Para hadirin, ada sekelompok orang yang
suka menyakitiku dalam nasabku dan famili-familiku. Ingatlah, barang siapa menyakiti
nasab dan familiku berarti dia telah menyakitiku, dan barang siapa menyakitiku
berarti ia telah menyakiti Allah.”

Kemudian lanjut Nabi,

لا يؤذى حي بميت

“Jangan sampai orang yang hidup dicela
lantaran orang yang sudah mati.”

Tahun 20 H, di era pemerintahan Sayyidina Umar bin
Khattab radhiyallahu anhu, Durrah meninggal dunia setelah meninggalkan
sebuah pelajaran berharga bahwa beriman itu pilihan, bukan anugerah bongkokan
dari langit. Tentu, kemerdekaan berpikir adalah prasyarat mutlak untuk memilih.
Kemerdekaan itulah yang merupakan anugerah bongkokan dari Allah.

فَمَن شَاۤءَ فَلۡیُؤۡمِن وَمَن شَاۤءَ فَلۡیَكۡفُرۡۚ
إِنَّاۤأَعۡتَدۡنَا لِلظَّـٰلِمِینَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمۡ سُرَادِقُهَاۚ

“Maka
barang siapa yang mau mempercayainya—dan ini merupakan suatu hal yang sangat
baik bagi dirinya—silakan mempercayainya; dan barang siapa yang ingin
mengingkarinya—dan ini berarti hanya menzalimi diri sendiri—silakan mengingkarinya.
Bagi orang-orang yang telah menganiaya diri sendiri dengan perbuatan kufur,
sungguh telah Kami siapkan neraka yang gejolak apinya mengelilingi mereka.”
(QS. al-Kahfi [18]: 29)

Sumber: Ath-Thabaqât
al-Kubrâ
karya Ibnu
Saad dan al-A’lâm karya
Khairuddin al-Zarkali.

Kontributor

  • KH. Zainul Muin Husni

    Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Universitas Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur