Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Ibnu Abi Ar-Rabi’, Ulama Ahli Tata Kelola Pemerintah

Avatar photo
45
×

Ibnu Abi Ar-Rabi’, Ulama Ahli Tata Kelola Pemerintah

Share this article

Nama lengkap beserta gelarnya adalah Syihabuddin Ahmad
bin Abi Ar-Rabi’. Dalam berbagai literatur sejarah Islam, Ibnu Abi Ar-Rabi’
tercatat termasuk sebagai orang yang dekat dengan Al-Mu’tashim, penguasa
kedelapan dari Dinasti Abbasiyah, memerintah pada periode tahun 833 – 842 M
(211 H – 220 H).

Ibnu Abi Ar-Rabi’ dikenal sebagai pengarang kitab Suluk
al-Malik fi Tadbiri Al-Mamalik
(Perlaku Raja dalam Tata Kelola Kerajaan).
Karyanya ini termasuk dalam literatur “tua” yang merekam bidang ketatanegaraan
dunia Muslim.

Kitab ini ditulis oleh Ibnu Abi Ar-Rabi’ sebagai
panduan untuk Al-Mu’tashim dalam menjalankan roda pemerintahan dari pusat
hingga ke para bawahannya di berbagai daerah. Kitab ini diselesaikan pada tahun
218 H.

Sebagai panduan untuk tata kelola pemerintahan
(kerajaan) pada masa tersebut, kitab ini cukup banyak merekam bagaimana pola
pikir ketatanegaraan dunia Muslim pada masa tersebut. Termasuk juga merekam pemikiran
Ibnu Abi Ar-Rabi’ yang menganggap bahwa penguasa yang berkuasa pada masa
tersebut adalah sebuah anugerah Tuhan, dan orang yang paling tepat untuk
memerintah pada masa tersebut.

Sebagai pendukung pemerintahan pada masa tersebut,
Ibnu Abi Ar-Rabi’ dalam karyanya ini juga tidak mempertanyakan tentang
asal-usul pemimpin yang seharusnya memimpin, dan justu menguatkan posisi
Al-Mu’tashim sebagai penguasa pada masa tersebut.

Ibnu Abi Ar-Rabi’ memiliki pemikiran ketatanegaraan
yang tidak jauh berbeda dengan pola pemikiran ketatangeraan dari Barat seperti
Plato. Seperti pernyataan Ibnu Abi Ar-Rabi’ bahwa asal-usul adanya negara
adalah manusia sebagai makhluk hidup tidak bisa memenuhi kebutahannya sendiri
tanpa bantuan orang lain, dan karena kebutuhan-kebutuhan manusia itu, maka
manusia saling membutuhkan satu sama lain. Dan karena saling membutuhkanlah
akhirnya manusia berkumpul membentuk sebuah kota, hingga menjadi negara.

Ibnu Abi Rabi’ menyebutkan dalam karyanya bahwa
kebutuhan dasar manusia ada lima hal, yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal,
kebutuhan untuk bereproduksi, dan kesehatan. Lima kebutuhan dasar inilah juga
yang harusnya mampu diayomi oleh sebuah pemerintahan.

Sebagaimana disinggung di atas, karya ini merupakan
karya untuk menguatkan kekuasaan Al-Mu’tashim, Ibnu Abi Ar-Rabi’ banyak
menyertakan kriteria-kriteria pemerintahan yang menguatkan, sekaligus
“menasehati” penguasa dan bawahannya.

Dalam pemerintahan kerajaan, menurut Ibnu Abi
Ar-Rabi’, ada empat pilar yang harus tegak dalam menjalankan roda pemerintahan.
Yaitu, kuasa, pemeliharaan, keadilan, dan tata kelola.

Dalam pilar pemerintahan pertama, tentang kuasa, yang
paling utama Ibnu Abi Rabi’ adalah garis keturunan “raja”.

Ibnu Abi Ar-Rabi’ mensyaratkan bahwa seorang penguasa
(atau calon penguasa) haruslah dari keluarga dekat penguasa, kemudian baru
syarat-syarat berikutnya: kesungguhan dalam pengurusan negara, pengetahuan yang
dalam, keberanian, kecakapan dalam pengelolaan keuangan, dan memiliki aliansi.

Ibnu Abi Ar-Rabi’ juga menasehatkan kepada para
pemimpin tentang kepribadian seorang pemimpin. Salah satunya adalah, menjadi
pemimpin harus memiliki sikap tidak mudah “membawa perasaan” (baper).  Dia mengungkapkan kriteria kepribadian
seorang raja dengan redaksi: “Wajib bagi seorang pemimpin untuk tidak
berbahagia dengan pujian atas hal-hal yang ia tidak lakukan, dan juga tidak
bersedih terhadap cacian atas hal-hal yang ia tidak sesuai kenyataan atau tidak
pernah ia lakukan.”

Ibnu Abi Ar-Rabi’ juga menyarankan pembagian jam kerja
seorang raja. Awal hari adalah waktu untuk berzikir (mengingat Allah dan
bersyukur), setelah itu untuk meninjau berbagai urusan pemerintahan, siang hari
untuk makan dan beristirahat, lalu sore hari adalah waktu untuk bersantai
menikmati kenikmatan-kenikmatan dan bersendagurau.

Selain berisi nasehat-nasehat kepada seorang penguasa,
Ibnu Abi Ar-Rabi’ melalui karya ini juga memuat tentang tata kelola
pemerintahan hingga cukup rinci sampai pada pembahasan perangkat-perangkat tata
kelola pemerintahan.

Ibnu Abi Ar-Rabi’ menyatakan, dalam menjalankan
pemerintahan, raja memiliki dua jenis pembantu, pertama pembantu dalam hal
pemerintahan (kerajaan) berupa para menteri, sekretaris  (para penulis), dan pegawai. Kedua, raja juga
memiliki pembantu secara pribadi, yaitu dokter (tabib), astrolog (ahli dalam
astologi, peramal bintang), dan juga juru masak.

Ibnu Abi Ar-Rabi’ dalam karyanya ini mengungkapkan
pemimpin dengan memilih kata berupa “raja”, dan bentuk pemerintahannya adalah
kerajaan (monarki, al-mamlakah).

Ibnu Abi Ar-Rabi’ memiliki pendapat bahwa kerajaan
merupakan bentuk pemerintahan yang terbaik (pada masa tersebut) karena jika
urusan pemerintahan dipegang oleh banyak orang, maka akan mudah timbul
kekacauan, dan sulit untuk membentuk persatuan.

Dalam menyatakan pendapatnya ini, ia juga menggunakan
dalil-dalil teks-teks keagamaan untuk melegitimasi kukuhnya kekuasaan raja pada
saat itu. Seperti ungkapannya yang menyatakan bahwa umat Islam pada zaman
tersebut dianugerahi seorang raja yang begitu mulia, baik secara nasab, maupun
secara perilaku, sehingga Al-Mu’tashim memanglah orang yang paling tepat untuk
memmpin pada masa tersebut.

Ibnu Abi Ar-Rabi’, melalui karyanya ini, pada umumnya merekam,
mengembangkan dan menyempurnakan tata kelola yang telah berjalan lama, bahkan
sejak masa Dinasti Umayyah.
Ada beberapa tambahan seperti saran-saran Ibnu
Abi Ar-Rabi’ dalam kriteria tentang para pejabat pemerintahan dan juga
nasihat-nasihat yang ditujukan kepada raja beserta seluruh bawahannya sehingga
mereka bisa melakukan tugas masing-masing sebaik-baiknya.

Kontributor

  • Landy T. Abdurrahman

    Asal Purworejo, Jawa Tengah. Pernah mengenyam pendidikan di Universitas Al-Azhar Kairo-Mesir. Sekarang sedang menyelesaikan program doktoral di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta