Petualangan Ibnu Jubair dari Andalusia ke kawasan Mediterania dan kemudian lebih jauh lagi ke Timur dimulai pada tahun 1183 Masehi dipenuhi tantangan dan rintangan. Namun di atas segalanya, menjadi manifestasi ilmu dalam bentuk pengalaman yang tidak ternilai harganya.
Ibnu Jubair adalah seorang geograf, penjelajah, dan penyair dari Andalusia. Kisah perjalanannya menggambarkan ziarah yang ia lakukan ke Makkah dari 1183 hingga 1185, yakni tahun-tahun sebelum Perang Salib Ketiga meletus.
Dengan cukup detail ia menggambarkan wilayah Shalahuddin al-Ayyubi di Mesir dan Syam yang ia lewati dalam perjalanan ke Mekah. Lebih lanjut lagi, dalam perjalanan pulang, ia melewati sederet perkampungan Kristen di Sisilia yang telah direbut kembali dari muslim hanya satu abad sebelumnya. Di sana ia membuat beberapa pengamatan terhadap budaya poliglot[1] yang tengah berkembang.
Ia bernama lengkap Abu al-Husain Muhammad bin Ahmad bin Jubair al-Kinani. Jabatannya adalah sekretaris inti istana Granada yang dipimpin oleh Abu Said Utsman, putra khalifah Al-Muwahiddun pertama, Abdul Mu’min.
Ibnu Jubair lahir pada 1145 M di Valencia, Spanyol, dari keluarga Arab dari suku Kinanah. Dia adalah keturunan Abdul Salam bin Jubair, seorang ksatria yang pada 740 M menemani pasukan yang dikirim Khalifah Damaskus untuk memadamkan pemberontakan Berber di provinsi-provinsi Andalusia.
Ia belajar di kota Xàtiva, tempat ayahnya bekerja sebagai pegawai istana. Di sanalah titik awal yang membuka jalan baginya meniti karir sebagai cendekia pemerintah di Granada.
Baca juga: Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia
Seperti yang acap kali dikisahkan, suatu hari ketika tengah mendiktekan surat, pangeran memaksa Ibnu Jubair meneguk tujuh cawan anggur memabukkan, sebagai ganti ia akan dihadiahi tujuh cawan berisi dinar emas.
Singkat cerita, Ibnu Jubair sangat menyesali perbuatannya yang bertentangan dengan hukum agama itu, meskipun ia tidak memiliki pilihan lain karena dipaksa.
Tobat mendorongnya hijrah, sesal memaksanya rihlah. Untuk menebus dosa, atau mungkin demi keinginan keluar dari zona nyaman istana, ditemani seorang tabib bernama Ahmad bin Hasan, Ibnu Jubair berangkat memenuhi salah satu lima rukun Islam, menunaikan ibadah haji ke Makkah.
Tidak mudah menyimpulkan motif Ibnu Jubair yang sebenarnya, mungkin karena itu murni ranah spiritual antara dia dan Tuhannya.
Sejarawan hanya bisa mereka-reka, karena hanya campur tangan Tuhan yang sanggup menarik seseorang meninggalkan zona nyaman dan segala kemewahan seperti yang dimiliki Ibnu Jubair.
Lain cerita bila ia pindah ke tempat yang lebih nyaman, sebaliknya Ibnu Zubair pindah dari satu jalan ke jalan lain, dari perkampungan kumuh hingga ke pemukiman elit, gunung, gurun, lautan ia arungi sembari membayangkan tujuh cawan anggur masih mengalir dan memenuhi tubuhnya.
Bahkan, barangkali Ibnu Jubair tidak membayangkan catatan perjalanannya akan terus dikaji, diterjemahkan, dan dijadikan acuan hingga berabad-abad kemudian. Perjalanan selama dua tahun tersebut memberikan pengaruh yang besar dalam berbagai aspek, sebut saja sejarah, geografi, sosiologi, antropologi, hingga kesusastraan.
Perlu diutarakan pula bahwa catatan perjalanan Ibnu Jubair berperan sebagai karya dasar bagi genre baru penulisan rihlah, atau perjalanan kreatif yang memuat campuran antara narasi pribadi, deskripsi, opini, dan anekdot. Pada abad-abad berikutnya, lebih-lebih zaman sekarang, genre ini masih efektif dan terus dikembangkan.
Baca juga: Meneladani Ibnu Majid, Navigator Muslim Berjuluk Singa Lautan
Apa yang mampu menggerakkan begitu banyak orang dari Andalusia dan Maroko di Afrika Utara untuk melakukan perjalanan berbahaya ke negeri-negeri yang jauh, tidak terkecuali bagi orang-orang kaya dan terpandang seperti Ibnu Jubair?
Jawabannya adalah iman. “Bagi seorang muslim, ibadah haji adalah sesuatu yang luhur,” tulis Ibn Jubair.
Demikian pula penghayatannya secara religius atas semua tempat dan monumen yang dia lihat selama sembilan bulan di kota suci Makkah, juga di sepanjang daerah yang ia lewati. Selain daripada itu, Ibnu Jubair juga memiliki dorongan yang lebih pribadi, yakni menapaki asal muasal leluhurnya.
Ibnu Jubair memang lahir di Valensia sebagai orang Eropa, namun garis nasabnya berasal dari Kinana, suatu wilayah di Makkah. Dengan demikian, dalam beberapa hal rihlahnya bisa dipandang sebagai perjalanan pulang.
Alasan lain yang tidak kalah penting adalah rasa cintanya terhadap puisi atau sastra pada umumnya. Ia terpesona oleh gurun tandus yang abadi dalam puisi-puisi leluhurnya, juga romansa perjalanan jauh menggunakan karavan, juga hal-hal lain yang melekat erat dalam benak dan hatinya lantaran terpotret indah oleh sastra yang bertahun-tahun ia cintai dan pelajari.
Ibn Jubair berusia 38 tahun ketika ia meninggalkan Granada pada tanggal 15 Februari 1183. Rute pertama yang harus ia tempuh adaIah menyeberangi selat Gibraltar ke Ceuta di Afrika Utara yang saat itu berada di bawah kekuasaan Islam, baru kemudian berangkat ke Alexandria (Iskandariyah) dengan sebuah kapal milik orang Genoa pada 24 Februari 1183 M.
Perjalanan laut membawa Ibnu Jubair melewati Kepulauan Balears kemudian menyeberang ke pantai barat Sardinia. Di pantai lepas, ia mendengar tentang nasib 80 orang Islam yang terdiri dari laki-laki, wanita, dan anak-anak diculik dari Afrika Utara untuk dijual sebagai budak.
Baca juga: Mengenang al-Urmawi, Pakar Fikih yang Lihai Bermusik
Antara Sardinia dan Sisilia, kapal yang ia tumpangi diterpa badai yang dahsyat. Ibnu Jubair bertutur tentang orang-orang Italia maupun muslim di dalam kapal yang telah berpengalaman dalam berlaut mengakui bahwa, “semua setuju bahwa seumur hidup mereka tidak pernah melihat badai sehebat itu”.
Setelah badai berlalu, kapal melewati Sisilia dan Kreta kemudian berbelok ke selatan dan menyeberang ke pantai Afrika Utara.
Ibnu Jubair tiba di Alexandria pada 26 Maret 1183 M.
***
Glosarium: Po.li.glot: a dapat mengetahui, menggunakan, dan menulis dalam banyak bahasa. n orang yang pandai dalam berbagai bahasa