Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Imam Al-Junaid, Putra Penjual Kaca yang Menjadi Sufi Besar

Avatar photo
38
×

Imam Al-Junaid, Putra Penjual Kaca yang Menjadi Sufi Besar

Share this article

Memahami Islam dari sumber-sumbernya memerlukan jalan pendekatan yang disebut dengan madzhab, karena keterbatasan ilmu serta kemampuan manusia secara umum untuk mengambilnya secara langsung dari Al-Qur’an maupun Al-Hadits.

Ahlussunnah wal Jamaah, khususnya warga NU, mengikuti jalan pendekatan madzhab yang dirumuskan oleh Imam Al-Ghazali dan Imam Al-Junaid Al-Baghdadi, serta imam-imam lainnya dalam bidang tasawuf. 

Imam Al-Junaid yang dijuluki Syaikh Ath-Thaifah atau Sayyid Ath-Thaifah (Tuan guru dan pemimpin kaum sufi), tidak ada kitab khusus yang mengulas tentang riwayat hidupnya, kecuali beberapa informasi tentangnya merujuk pada kitab-kitab Ath-Thabaqat.

Kitab-kitab tasawuf yang menceritakan tentangnya tidak menyebutkan tahun kelahirannya, namun diperkirakan beliau dilahirkan sekitar tahun 220 H dan wafat pada tahun 297 H, sebagaimana yang dikemukakan dalam kitab Mawa’izh Al-Imam Al-Junaid, karya Shalih Ahmad Asy-Syami.

Imam Al-Junaid dilahirkan di Baghdad, di saat terjadinya konflik antara fiqih dengan ilmu kalam yang mana aliran Mu’tazilah mendominasi kekuasaan Daulah Abbasiyah. Dan di satu sisi, muncul pula kontroversi di kalangan sufi dengan munculnya Al-Hallaj.

Ayahnya adalah seorang penjual kaca yang berasal dari Nahawand, oleh karena itu ia juga dikenal dengan nama Al-Qawariri (botol kaca), namun Al-Junaid lahir dan tumbuh di Baghdad.

Al-Junaid kecil hidup dalam asuhan paman dari pihak ibunya, yang merupakan seorang sufi masyhur yang bernama Sarri As-Siqthi, karena ayahnya meninggal saat ia masih kecil.

Selain belajar ilmu dari pamannya, As-Siqthi, Imam Al-Junaid pernah berguru pada Abu Tsaur Al-Kalabi dan Ibrahim bin Khalid bin Al-Yaman yang merupakan Ashhabus Syafi’i di Irak dan semasa dengan Imam Ahmad bin Hanbal.

Suatu ketika Al-Junaid ditanya oleh pamannya, “Suatu saat ketika kamu berpisah denganku (yakni apabila aku meninggal), kamu akan Mujalasah (duduk untuk menimba ilmu) pada siapa?”

Al-Junaid menjawab: “Aku akan bersama Al-Harits Al-Muhasibi.”

Al-Junaid selalu menemani Al-Harits Al-Muhasibi dan juga pamannya Sarri As-Siqthi, serta menempuh jalan spiritual keduanya dalam bidang tasawuf.

Dalam Thabaqat Al-Auliya`, Ibnu Al-Mulaqqin mengatakan bahwa Al-Junaidi sudah berada dalam level mufti (juru fatwa) pada usia 20 tahun. Ini menunjukkan bahwa Al-Junaid memiliki keluasan ilmu dalam bidang fiqih di usia dini, sehingga ia sudah dianggap layak untuk memberikan fatwa di usianya yang masih muda. Dan sekaligus menunjukkan kecerdasannya yang bersinar, serta mampu memperoleh ilmu yang luas pada usia dini. 

Karena kecerdasannya yang sudah ada sejak dini tersebut, ia pernah diminta oleh pamannya untuk berbicara di majelis ilmu di hadapan orang-orang.

Al-Junaid berkata, “Suatu ketika pamannya berkata kepadanya, “Berbicaralah (tentang ilmu) kepada orang-orang,” namun ada rasa malu dalam hatiku untuk berbicara di khalayak umum, karena aku merasa diriku belum layak untuk itu. Lalu pada suatu malam aku bermimpi bertemu Rasulullah saw, yakni pada malam jumat, beliau berbicara kepadaku, “Berbicaralah di hadapan orang-orang.”

Lalu aku terbangun dan mendatangi pamanku sebelum waktu subuh, akupun mengetuk pintu rumahnya, lalu ia berkata kepadaku, “Mengapa kamu tidak percaya hingga Rasulullah saw. mengatakan sendiri kepadamu (dalam mimpi).”

Al-Junaid mengatakan, “Suatu ketika, di saat aku sedang bermain di depan As-Siqthi, saat itu aku berusia tujuh tahun. Di hadapannya ada sekelompok orang yang membicarakan tentang syukur, lalu pamanku bertanya kepadaku, “Hai nak, apakah yang dimaksud dengan syukur?”
Lalu aku menjawab, “Syukur adalah kamu tidak menggunakan nikmat-nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya.”
Kemudian ia berkata kepadaku, “Derajatmu di sisi Allah akan segera kamu peroleh melalui lisanmu, nak.”

Al-Junaid berkata, “Aku senantiasa menangis mengingat perkataan As-Sari kepadaku.”

Jawaban Al-Junaid ini menunjukkan, sejak kecil ia sudah terbiasa menghadiri majelis-majelis ilmiah pamannya serta ulama-ulama masa itu.

Karena jika tidak, maka tentu pertanyaan Sarri As-Siqthi kepadanya tidak bermotif apa-apa. Dan tentu tidak masuk akal ia bisa menjawab dengan jawaban tersebut seandainya ia tidak sering menghadiri majelis keilmuan kaumnya.

Dalam kitab Ihya` Ulumiddin, dikatakan bahwa Al-Junaid memiliki hubungan yang luas dengan para tokoh sufi. Ia pernah mengatakan, “Aku telah menemani empat tingkatan ulama dari golongan sufi, setiap tingkatan ada tiga puluh orang, yaitu Al-Muhasibi, Hasan Al-Masuhi, As-Sari As-Siqthi, dan Ibnu Al-Kuraibi.”

Penguasaan Al-Junaid terhadap ilmu tasawuf menjadikannya mendapatkan gelar Syaikh Ath-Thaifah atau Sayyid Ath-Thaifah (Tuan guru dan pemimpin kaum sufi).

Ja’far Al-Khuldi mengatakan, “Kami belum pernah melihat pada guru-guru kami, seseorang yang menggabungkan antara ilmu dan Ahwal (tingkah laku), selain Abu Al-Qasim Al-Junaid. Mayoritas dari mereka memiliki ilmu yang banyak, namun tidak dengan Ahwalnya. Dan yang lainnya memiliki Ahwal yang banyak namun ilmunya sedikit. Sementara itu Al-Junaid memiliki keduanya yang melimpah. Ketika kamu melihat tindak-tanduknya maka kamu akan menganggapnya lebih unggul dibanding ilmunya, dan jika kamu melihat ilmunya maka kamu akan menganggapnya lebih unggul dibanding Ahwalnya.”

Imam Al-Junaid wafat pada tahun 297 H. Abu Muhammad Al-Hariri mengatakan, “Saya duduk di hadapan Al-Junaid pada hari wafatnya, saat itu hari jumat, ia sedang membaca Al-Qur’an, lalu saya berkata kepadanya: “Wahai Abu Al-Qasim, kasihanilah dirimu sendiri.”

Lalu Imam al-Junaid menjawab: “Wahai Abu Muhammad, aku tidak melihat orang yang lebih membutuhkan Al-Qur’an melebihi diriku pada saat ini, Al-Qur’anlah yang memenuhi lembaran-lembaran amalku.”

Kontributor

  • Arif Khoiruddin

    Lulusan Universitas Al-Azhar Mesir. Tinggal di Pati. Pecinta kopi. Penggila Real Madrid.