Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Legasi Muhammad Asad, Mengislamkan Ribuan Orang Berikut Capaian Diplomasinya

Avatar photo
51
×

Legasi Muhammad Asad, Mengislamkan Ribuan Orang Berikut Capaian Diplomasinya

Share this article

Setelah melepaskan jabatan, pada
pertengahan 50-an, Muhammad Asad berpindah-pindah tempat tinggal dari satu
negara ke negara berikutnya, menghabiskan waktu di Maroko, Spanyol, dan
lain-lain. Ia tetap aktif menulis dan memberikan kuliah umum di
universitas-universitas dan seminar-seminar. Bersamaan dengan itu ia juga
menguras pikiran dan tenaganya untuk melahirkan karya penting dan bernilai
‘wakaf’ yang tak terkira besarnya bagi Islam, terjemahan Al-Qur’an ke dalam
Bahasa Inggris, The Message of the Holy Qur’an.
 

Setelah berkecimpung menerjemahkan
Al-Qur’an selama 17 tahun, akhirnya mahakarya tersebut dapat terbit tahun 1980.
Awalnya The Message of the Holy Qur’an tidak memperoleh persetujuan dari
banyak ulama tradisional, pasalnya mengandung penafsiran-penafsiran modern.


Karya monumental Muhammad Asad,
terjemahan berikut interpretsi singkatnya terhadap Al-Qur’an.

Muzaffar Iqbal sendiri mengungkapkan
pesimismenya terhadap karya tersebut. Masalahnya adalah, tulisnya, karya
tersebut adalah hasil pemikiran Eropa yang mencoba menyerap pesan Al-Qur’an
tanpa mampu memahami sapek-aspek suprarasional Al-Qur’an sehingga berujung
merasionalisasikannya.

Misalnya, Muhammad Asad membahas
berbagai topik ‘gaib’ seperti eksistensi jin dan peristiwa isra’ mi’raj
dengan mengkategorikannya dalam terma-terma alegoris. Hal lain yang membuat
segenap ulama tradisional risih adalah interpretasinya terhadap Al-Qur’an
menyoal tidak wajibnya mengenakan penutup kepala bagi perempuan.

Lebih jauh lagi, Muzaffar Iqbal berujar
sebenarnya penafsiran Muhammad Asad memiliki rujukan dari interpretasi klasik
semisal tafsir al-Zamakhsyari, meski demikian dari sekian banyak penafsiran
klasik tersebut hanya yang sesuai dengan pemahamannya yang kemudian ia pakai.

Biarpun cukup kontroversial, terjemahan
Muhammad Asad akhirnya dapat dibaca dan dikaji jutaan manusia, terlebih umat
Muslim di Barat yang tidak mengerti Bahasa Arab. Tidak sedikit pula yang dengan
tegas membela dan melestarikan legasi berikut gagasan-gagasannya.

Muhammad Asad acapkali diserang lantaran
latar belakang Eropanya, tidak peduli ia belajar Bahasa Arab selama
bertahun-tahun, bahkan tinggal di tengah-tengah masyarakat badui di berbagai
daratan padang pasir. Suatu hal yang tidak banyak dilakukan kalangan pelajar.

Seperti di kawasan Asia Selatan di mana
Muhammad Asad masih dipandang banyak orang sebagai bule Eropa, ia juga
tidak sepenuhnya diterima dunia Arab yang kebanyakan masih skeptis terhadap
non-pribumi yang ‘coba-coba’ menerjemahkan kesempurnaan bahasa Al-Qur’an.

Terlepas dari banyak kritikan yang
diarahkan kepada Muhammad Asad, nama baiknya hingga kini semakin dikenal dunia
Islam, terlebih di daratan Eropa dan Amerika. Dalam hal ini, Murad Hoffman
menerawang bahwa kemungkinan besar peremajaan dan pembaharuan Islam (Islamic
rejuvenation)
bakal muncul dari London atau New York, bukan Kairo atau
Islamabad. Jika asumsi ini benar, akan tiba masa di mana apresiasi terhadap buah
pikiran Muhammad Asad benar-benar menjadi fenomena global.

Ketika Muhammad Asad bekerja untuk misi
PBB dan tinggal di New York pada tahun 1952, ia menikahi Pola Hamida, seorang
gadis Katolik-Polandia yang masuk Islam. Talal Asad, pada saat itu, tinggal
bersama ibunya di London.
 

Hal tersebut menimbulkan gosip yang tak
sedap di Pakistan, adanya artikel yang memberitakan bahwa Muhammad Asad telah
murtad dan kembali mengimani Yudaisme. Munira, istri ketiga sekaligus ibu
kandung anaknya, melayangkan surat ke pemerintahan Pakistan, mengeluh bahwa
suaminya telah menelantarkannya.

Tidak lama kemudian Muhammad Asad
mengajukan pengunduran diri dari jabatan-jabatannya. Ketika secara finansial ia
semakin terhimpit, saat itulah ia memutuskan menulis memoar yang fenomenal hingga
hari ini, The Road to Mecca.

Meski masa jabatannya di kementrian luar
negeri terbilang singkat, apa yang telah dicapainya sangat membantu Pakistan.
Berkat hubungan pribadinya dengan Ibnu Saud, Pakistan dapat mendirikan kantor
diplomatik di Jeddah.

“Dia adalah orang pertama yang
meletakkan batu bata persahabatan antara Pakistan dan Saudi Arabia, hal yang
tentu sangat menguntungkan pihak Pakistan. Cukup menyedihkan bila hari ini
banyak masyarakat Pakistan melupakan jasa-jasanya,” tulis Ikram Chugthai,
seorang sejarawan Pakistan yang telah menerbitkan beberapa catatan tentang
Muhammad Asad.
 


Persahabatan Muhammad Asad
dengan Ibnu Saud sangat menguntungkan Pakistan yang baru merdeka

Bertahun-tahun sebelum terbentuknya
Organisasi Konferensi Islam (Organisation of Islamic Conference) pada
tahun 1969, Muhammad asad sudah menyusun seluruh proposal pendirian Liga
Bangsa-Bangsa Muslim (League of Muslim Nations). Akan tetapi draf yang
berisi ide-ide cemerlang tersebut lusuh menjadi sarang debu dalam rak menteri
luar negeri Pakistan, Zafarullah Khan, yang ketika itu tidak begitu menaruh
hormat pada Muhammad Asad.

Timbul gesekan dalam rumah tangga
Muhammad Asad, yaitu ketika ia harus membantu Munira menafkahi anak mereka,
padahal keuangannya sendiri sedang tertekan. Ditambah lagi Talal dan Pola tidak
pernah bisa menjalin hubungan baik, sampai-sampai ketika Muhammad Asad berada
di ranjang sekaratnya pada Februari 1992, Pola tidak mengabari Talal walau
dengan sepatah kata.

“Fakta bahwa istri ayah saya tidak
menghubungi saya adalah fakta yang cukup menyakitkan,” ucap Talal.


Talal Asad, anak satu-satunya
Muhammad asad yang meniti jalur keilmuan seperti sang ayah

Beberapa peneliti berargumen bahwa di
ujung usianya, Muhammad Asad merasa kecewa dengan Islam. Talal menanggapi hal
tersebut dengan meluruskannya, yang tepat adalah ayahnya kecewa dengan
perkembangan sebagian besar negara-negara Muslim, terutama Pakistan sendiri.
Adapun  pengabdian dan imannya terhadap
Islam tetap ia pegang teguh sampai nafas terakhir.

Kenangan terakhir Talal dengan mendiang
ayahnya adalah ketika ia diam-diam menjenguknya di sebuah rumah sakit di
Boston: “Ketika saya memasuki ruang rawat ayah saya, saya mendapatinya tengah
shalat Maghrib di atas sebuah sajadah. Ia tidak menyadari saya sudah berada dalam
ruangan.”

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.