Saya memanggil Nyai Zahroh dengan sebutan “mek jeje” (ibu yang rumahnya di utara). Panggilan kesayangan ini bukan tanpa sebab, melainkan karena secara nasab, disamping sebagai bibik dari ibu saya, Nyai Zahroh adalah adik kandung dari Kakek saya yaitu, KH. Syarfuddin Abdusshomad, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Huda, Duko Laok Arjasa, Kangean, Sumenep.
Nyai Zahroh lahir dari pasangan KH. Abdusshomad dan Nyai Zainabah. Pasangan ini dikaruniai lima orang anak, yaitu Nyai Munihah, Kiai Abdussyukur, KH. Syarfuddin, Nyai Siti Zahroh, Kiai Hasbullah. Nyai Zainabah wafat pada tanggal 20 September 1954 dan Kiai Abdusshomad wafat pada 12 Oktober 1976 dalam usia 100 tahun.
Tak menyangka, puasa dan lebaran kemarin itu menjadi pertemuan terakhir saya dengan mek jeje. Wafat pada Ahad 8 Mei 2022, Jam 04.30 WIB dalam usia 95 tahun. Secara lahir, beliau tidak punya hutang kepada Allah SWT. Puasa Ramadhannya utuh, tarawihnya penuh, bahkan masih sempat lima kali mengkhatamkan Al-Qur’an, dalam keadaan kondisi badan kurang begitu sehat. Karena bagi Nyai Zahroh, sakit bukan suatu alasan untuk tidak beribadah kepada Allah SWT.
Hal lain yang tak bisa dipungkiri adalah kiprah Nyai Zahrah di Pesantren Zainul Huda. dalam hal ini membantu para santri-santri, putri khususnya. Misalnya mengajari bagaimana cara memasak yang benar dan enak, disamping juga mengajari ngaji. Karena itu, tak heran jika Nyai Zahroh menjadi idola bagi para santri-santri. Sosoknya yang lemah lembut, murah senyum, dan penyabar membuat para santri semakin dekat akrab. Tak sungkan lagi semua para santri ingin belajar memasa pada Nyai Zahroh. Iya, begitulah sosok Nyai Zahroh.
Sekilas tentang Pemikirannya
Syahdan, meskipun tidak mengenyam pendidikan formal hingga perguruan tinggi, dan kebanyakan hanya bergelut dengan kitab-kitab klasik, bahkan beliau kurang lancar berbahasa Indonesia, namun cara pandangnya bisa dibilang cukup progresif. Bagaimana tidak, beliau menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia setara, baik laki-laki maupun perempuan, dan semuanya berhak atas hak-hak dasar yang sama tanpa adanya pengecualian.
Kita tahu bahwa, salah satu tema sentral sekaligus prinsip pokok ajaran Islam adalah prinsip egalitarian, yakni persamaan antar manusia, baik laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa, suku, dan keturunan. Hal ini diisyaratkan dalam QS. al-Hujurat: 13, Allah SWT berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا النَّا سُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَآئِلَ لِتَعَا رَفُوْا ۗ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَ تْقٰٮكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
Artinya: “Hai manusia sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah SWT adalah orang yang paling bertakwa diantara kamu”. (QS. al-Hujurat: 13).
Ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal ibadah (dimensi spiritual) maupun dalam aktivitas sosial (urusan karier profesional). Juga sekaligus mengikis tuntas pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya terdapat perbedaan yang memarginalkan salah satu diantara keduanya. Persamaan tersebut meliputi berbagai hal misalnya, dalam bidang ibadah. Siapa yang rajin ibadah, maka akan mendapat pahala lebih banyak tanpa melihat jenis kelaminnya. Perbedaan kemudian ada disebabkan kualitas nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah SWT.
Tak hanya itu, ayat ini juga mempertegas misi pokok al-Qur’an diturunkan adalah untuk
membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya. Namun demikian, sekalipun secara teoritis al-Qur’an mengandung prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun ternyata dalam tatanan implementasi seringkali prinsip-prinsip tersebut terabaikan. Prinsip kesetaraan (al-musawa) yang dipegang Nyai Zahroh, juga ditampakkan dalam sikap tanpa membedakan status sosial, ekonomi maupun jenis kelamin.
Itu sebabnya, Nyai Zahroh sangat mendorong terpenuhinya hak pendidikan bagi anak-anak perempuan, sebagaimana pada anak laki-laki. Pun jika pada akhirnya anak-anak perempuan itu memilih menjadi ibu rumah tangga saja, setidaknya mereka menikah di usia yang cukup dan sudah menamatkan SMA (Sekolah Menengah Atas), kalau santri menyelesaikan mondoknya. Terlebih Nyai Zahroh tetap mendorong untuk melanjutkan studi.
Kematian
Kematian adalah takdir yang tidak bisa dihindari seluruh makhluk, manusia ataupun jin, hewan ataupun makhluk-makhluk lain, baik lelaki atau perempuan, tua ataupun muda, baik orang sehat ataupun sakit. Tak ada yang bisa lari dari kematian, bahkan sedikit yang siap menghadapinya. Allah SWT berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”. (QS. Ali Imran : 185).
قُلْ اِنَّ الْمَوْتَ الَّذِيْ تَفِرُّوْنَ مِنْهُ فَاِنَّهٗ مُلٰقِيْكُمْ ثُمَّ تُرَدُّوْنَ اِلٰى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْن
Artinya: “Katakanlah, Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu kan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. (QS. Jumu’ah : 8).
Semua yang bernyawa pasti akan mati sesuai ajalnya atas izin, takdir dan ketetapan-Nya. Siapapun yang ditakdirkan mati pasti akan mati meski tanpa sebab, dan siapapun yang dikehendaki tetap hidup pasti akan hidup. Sebab, apapun yang datang menghampiri tidak akan membahayakan yang bersangkutan sebelum ajalnya tiba, karena Allah SWT telah menetapkan dan menakdirkannya hingga batas waktu yang telah ditentukan. Tidak ada satupun umat yang melampaui batas waktu yang telah ditentukan.
“Sering-seringlah mengingat pemutus segala kenikmatan, yaitu “kematian”, karena tidaklah seseorang mengingatnya dalam kesempitan hidup melainkan akan melapangkannya dan tidaklah seseorang mengingatnya dalam keleluasaan hidup melainkan akan mempersempitnya”. (HR. Baihaqi, Ibnu Hibban dan Bazzar, dishahihkan oleh Syaikh Al-bani dalam Shahih al-Jami’, hadits nomor 1222).
Dengan demikian, mengingat kematian akan menimbulkan rasa khawatir di dunia yang fana, karena kita akan menuju negeri akhirat yang abadi. Kematian tidak mengenal usia, waktu ataupun penyakit tertentu. Karenanya, setiap manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Manusia tidak pernah lepas dari kondisi lapang dan sempit, sehingga dengan mengingat kematian, maka manusia tidak akan terlena ataupun berputus asa dari takdir. Alih-alih mempersiapkan diri, manusia yang mengingat kematian akan dimuliakan dalam tiga hal, yaitu: segera bertaubat, hati qana’ah, giat ibadah. Dan ketiga ini terjadi pada dan dilakukan oleh Nyai Zahroh.
Menarik, kematian yang sungguh indah. Sebelum wafat, beliau minta semua perhiasan di tubuhnya dilepas: anting dan cincinnya ditanggalkan agar tak merepotkan ketika meninggal dunia. Melanjutkan dengan shalat subuh, dan setelah menunaikan shalat, ia minta tidak diajak bicara karena sedang sibuk dzikir seraya beristighfar kepada Allah SWT. Hingga akhirnya beliau kembali kepada Allah SWT dengan tenang. Itulah ujung kehidupan dan cara meninggalnya orang yang ahli baca al-Qur’an, ahli tahajjud, ahli baca shalawat, dan rajin silaturrahmi. Kematian menjadi perkara mudah dan indah.
Sekiranya banyak orang yang menangisi kepergian Nyai Zahroh, maka itu wajar sebagai bentuk kepedihan yang mendalam sekaligus penghormatan atas kiprah beliau selama ini. Semoga keteladanan Nyai Zahroh menginspirasi para santri-santri, khususnya Pesantren Zainul Huda terlebih masyarakat Duko Laok dan Arjasa Laok. Allah merahmatimu, Nyai Zahroh. Wallahu a’lam.