Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Mengenang al-Urmawi, Pakar Fikih yang Lihai Bermusik

Avatar photo
26
×

Mengenang al-Urmawi, Pakar Fikih yang Lihai Bermusik

Share this article

Ia bernama lengkap Shafiy al-Din Abd al-Mu’min ibn Yusuf ibn al-Fakhir al-Urmawi al-Baghdadi, sebuah nama yang kerap dijumpai dalam buku-buku panduan musik Arab. Semasa hidup, riset tentang musik yang dilakukan al-Urmawi tidak hanya bersumber dari teori-teori yang dikembangkan orang-orang Yunani kuno, namun ia juga menganalisa karya-karya para ilmuwan Islam sendiri, semisal al-Kindi, al-Farabi, juga Ibnu Sina.

Berbagai catatan sejarah menunjukkan bahwa al-Urmawi lahir di Urmia (Iran) pada tahun 613 Hijriah (1216 M), dan meninggal di Baghdad pada 28 Safar tahun 693 H (28 januari 1294 M) pada usia sekitar 80 tahun. Bila merujuk buku besar Ensiklopedia Islam, besar kemungkinan ia berdarah Persia, pasalnya Qutb al-Din al-Shirazi menjulukinya Afdhal al-Iran.

Ketika masih berusia muda, al-Urmawi sudah mondok di Baghdad untuk mendalami gramatika Arab, kesusasteraan, sejarah, fisika, serta seni kaligrafi. Karena kepiawaiannya dalam kaligrafi, dia ditunjuk sebagai salah seorang penyalin buku di perpustakaan besar yang belum lama dibangun oleh Khalifah al-Musta’sim.

Permadani hias bergambar Shafi al-Din al-Urmawi sedang bermain oud

Al-Urmawi juga terbilang tekun dalam mempelajari fikih Syafi’i berikut ilmu perbandingan mazhab, sehingga ia mengawali karir sebagai dosen hukum Islam di Madrasah al-Mustansiriyyah yang diresmikan pada 631 H (1234 M). Kecerdasannya dalam studi hukum Islam juga mengantarkannya terpilih sebagai salah satu dewan pakar yurisprudensi Islam semasa pemerintahan al-Musta’sim, bahkan ia dipercaya untuk mengepalai badan pengawas yayasan (nazhariyyat al-waqf) sebelum akhirnya diambil alih oleh Nasir al-Din al-Tusi. Karena profesionalitasnya dalam mendidik dan mengabdi, dikisahkan khalifah Abbasiyah memberi al-Urmawi lima ribu dinar setiap tahun, upah yang cukup besar pada saat itu.

Di tengah kesibukannya sebagai ulama lintas ilmu itulah al-Urmawi menyempatkan diri aktif bermusik di sela-sela waktu, terutama bermain oud. Bahkan lantaran hobi tersebut, sampai hari ini ia lebih kesohor mahir dalam hal musik dibanding penguasaan bidang lain.

Baca juga: Memotret Mezquita de Cordoba, Mengenang Sang Elang Andalusia

Bulan-bulan awal ketika al-Urmawi baru menjadi pegawai istana, Khalifah al-Musta’sim Billah belum mengetahui bahwa al-Urmawi sangat jago bermain oud, hingga suatu ketika dalam sebuah kesempatan Sang Khalifah menyaksikan penampilan seorang penyanyi bernama Lihazh, salah seorang artis paling populer di Baghdad saat itu. Penyanyi yang kabarnya sangat cantik jelita tersebut menampilkan nomor milik al-Urmawi di hadapan khalifah. Keelokan aransemen lagunya membuat Sang Khalifah terperangah, begitu mendapat bisikan bahwa penciptanya adalah al-Urmawi ia bertambah semakin terperangah.

Salinan manuskrip al-Risalah al-Sharafiyyah fi al-Nisab al-Ta’lifiyyah, satu dari dua mahakarya al-Urmawi di bidang musik

Seusai pertunjukan Sang Khalifah mengirim perintah supaya al-Urmawi lekas menghadap. Di tengah-tengah balai istana, di hadapan Khalifah al-Musta’sim Billah, di kelilingi para pejabat dinasti Abbasiah, al-Urmawi mempertunjukkan kebolehannya bermain oud. Walhasil, akhirnya Sang Khalifah mendanai seluruh kebutuhan studio musik istana di bawah arahan Sang Maestro Shafi al-Din al-Urmawi.

Kontribusi al-Urmawi dalam dunia musik Arab tidak hanya dalam bentuk pemaparan semata, namun juga lengkap dengan panduan teori praktis. Tampaknya ia sangat terinspirasi dan bermaksud mengembangkan apa yang sudah dimulai para pendahulunya, terutama al-Kindi dan Ibn Sina. Tercatat tidak sedikit penulis muslim yang merujuk langsung pada dua karya besar al-Urmawi, yakni Kitab al-Adwar dan al-Risalah al-Sharafiyah fi al-Nisab al-Ta’lifiyyah. Beberapa di antara mereka adalah Qutb al-Din Mahmud al-Shirazi (m. 1310), ‘Abd al-Qadir al-Maraghi (m. 1435), juga ‘Abd al-Hamid al-Ladhiqi (m. 1494).

Pola nada yang ia susun, yang oleh para peneliti di barat dikenal dengan “Old orient sound system with 17 notes” diyakini oleh para kritikus modern sebagai pola nada terbaik. Al-Urmawi mempelajari perbandingan antara masing-masing angka dengan sangat teliti dan sistematis, memberi nama pada setiap interval yang ditimbulkan olehnya, mengklasifikasikannya, baru setelah itu menjelaskan interval-interval tersebut (baik yang selaras maupun yang miring) dengan cermat dan rinci.

Baca juga: Cangkang Siput dalam Seni Arsitektur Islam

Semenjak al-Farabi, sejarah mencatat belum ada pembelajaran tentang tetrakord dengan begitu rinci dan panjang lebar seperti yang dilakukan al-Urmawi, ia mampu menjelaskan dari sekian interval yang ada mana yang paling pantas dinyatakan paling selaras. Sehingga, dengan demikian, para pengkaji musik sesudah al-Urmawi tidak lagi mengalami kesulitan, cukup mengikuti petunjuk yang sudah ia paparkan.

Gambar oud oleh al-Urmawi dari salinan Kitab al-Adwar pada tahun 1333. Cetakan pertama terbit tahun 1296.

Hasil dari teori al-Urmawi tersebut, pemusik tinggal memanfaatkan dan mengeksplorasi sekian urutan nada baik tetrakord maupun pentakord dengan mencobanya bergerak dalam dua oktaf. Setelah dicoba beberapa kali dengan bermacam variasi, baru kemudian ia merumuskan beberapa maqam dengan menetapkan nada-nada yang selaras. Sebagai tambahan, dia juga membahas topik-topik penting seperti penetapan urutan dalam 17 suara yang dihasilkan, nada-nada yang sama dalam beberapa skala, juga perubahan berikut urutan-urutannya yang sesuai.

Hasilnya, dari tetrakord dan pentakord ia mencatat 63 tingkatan nada yang mana dari sana menghasilkan 18 maqam yang berbeda dalam dua kategori, 12 masuk ke dalam shudud dan 6 sisanya ke dalam kategori awaz. Sampai akhir abad 15 tidak ada perubahan klasifikasi dan sebutan-sebutan maqam yang telah ia paparkan.

Prakata kitab al-Risalah al-Sharafiyyah fi al-Nisab al-Ta’lifiyyah di Perpustakaan Universitas Yale, manuskrip di atas termaktub tahun 666 Hijriyah. Kemungkinan besar adalah tulisan tangan al-Urmawi sendiri, karena tidak ada keterangan dia memiliki juru tulis

Fakta menarik lainnya adalah, berkat musik al-Urmawi mampu bertahan hidup sekaligus menjadi saksi runtuhnya kekhalifahan Abbasiah ke tangan Mongol. Tidak demikian dengan kaligrafi, dalam kendali Yakut al-Musta’sim mengalami nasib buruk sehingga tidak berkembang bahkan vakum total. Tidak demikian dengan laju perkembangan musik yang tetap mulus menemukan jalannya. Kemungkinan besar dikarenakan al-Urmawi mendapat pembelaan sekaligus perlindungan khusus dari gerombolan al-Juwainy, yaitu suatu marga muslim dari Mongolia.

Baca juga: Tiga Serangkai Arsitektur Muslim Awal Futuhat Islamiyah

Perlu dicatat pula, bahwa Yakut al-Musta’sim adalah salah satu murid al-Urmawi dalam bidang kaligrafi. Sejak kemandekan bengkel kaligrafi milik Abbasiah tersebut di atas, seni menulis huruf Arab ini tidak mengalami perkembangan signifikan hingga beberapa abad. Barulah di tangan Syeikh Hamdullah (m. 1538 Masehi) dari kesultanan Usmani kesenian kaligrafi bagai terlahir kembali dan tumbuh pesat hingga saat ini.

Pemaparan-pemaparan jenius al-Urmawi seputar teori musik yang tertuang dalam karya tulisnya menjadikannya tokoh besar dunia seni dan ilmu pengetahuan yang hidup di masa lampau, pada era kegemilangan Islam. Kemudian, dengan semena-mena para sarjana menyebut al-Urmawi sebagai Zarlino dari Timur, sementara, bila kita mengaca pada runtutan sejarah, Zarlino semestinya yang lebih pantas disebut al-Urmawi dari Barat.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.