Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Nazly, Si Cantik Pendiri Salon Budaya di Mesir

Avatar photo
28
×

Nazly, Si Cantik Pendiri Salon Budaya di Mesir

Share this article

Pesona kecantikannya sungguh luar biasa. Orang lain, khususnya perempuan, memiliki seribu alasan untuk sekadar cemburu dengan yang ia miliki. Paras memukau, bibir tipis, bermata terang, sepasang tangannya bak pualam yang halus.

Namun melebihi itu semua, apa yang tersimpan dalam kepalanya jauh lebih elok dan memikat. Keseharinnya diliputi keanggunan, kebersahajaan, kebajikan, serta kebijaksanaan.

Bahasa yang halus adalah sahabat baiknya, topik pembicaraan yang beraneka ragam menjadi pelangi di tempat tinggalnya, lawan diskusinya sudah tentu betah berlama-lama mendudukkan permasalahan ke hadapannya.

Nazly Fadhil, demikian ia kerap dipanggil.

Diceritakan ia mampu berbicara enam bahasa, sudah tentu pergaulannya luar biasa. Jaringannya begitu luas, ia boleh dibilang satu-satunya wanita yang paling dekat dengan tokoh-tokoh besar pada zamannya.

Ia mampu berbincang panjang dengan mereka menggunakan bahasa tutur secara fasih yang mencerminkan pengalaman serta pengetahuan luasnya.

Dialah yang pertama kali mendirikan salon budaya di Mesir, sebut saja Muhammad Abduh dan Qasim Amin, dua di antara sekian banyak tokoh yang begitu rajin mendatangi salon tersebut dari waktu ke waktu.

Melalui agenda-agenda salon budaya yang ia dirikan, ia bukan hanya akan menerangi gelapnya ruang sosial pada waktunya, namun juga memberi peta yang gamblang tentang generasi-generasi berikutnya. Sebagai seorang tokoh, ia terbilang lahir sebelum waktunya.

Sumbangan pencerahan yang ia persembahkan di dunia intelektual maupun seni-kebudayaan bisa dijadikan teladan, bahwasannya, pada kondisi paling kritis sekalipun, seorang wanita sudah seharusnya turut bersuara dalam ranah yang bergengsi, ranah keilmuan berikut pergolakan pemikiran yang ada di dalamnya.

Dalam catatan harian Saad Zaghloul Pasha, ia digambarkan sebagai sosok wanita sangat terdidik dan berbudaya yang begitu aktif menjalankan perannya dalam setiap adegan kebudayaan.

Lebih dari itu, ia digambarkan sebagai warga negara yang cinta mati terhadap tanah airnya, siap melawan beraneka serangan yang menghantam negaranya.

Terbang ke Preancis

Cerita tentang Nazly Fadhil
bermula dari ayahnya, sosok yang paling mempengaruhi kepribadiannya dan yang
telah memberinya jalan untuk ditempuh sepanjang hidup. Ayahnya adalah Pangeran
Mustafa Bahjat Fadhil, anak dari Ibrahim Pasha yang tidak lain adalah putera
Muhamad Ali Pasha, pendiri dinasti Alawiya.

Nazly lahir pada tahun 1853 dengan nama Nazly Zainab, ia memiliki sepuluh saudara dan merupakan perempuan yang paling tua di antara lima saudarinya. Ia satu-satunya puteri dari Dal Azad Hanim, satu dari sekian banyak istri ayahnya.

Hanim sendiri lahir di Istambul pada tahun 1837, betul, ia baru berusia enambelas tahun ketika melahirkan Nazly. Tidak dapat dilacak lebih jauh kenpa Hanim tidak mampu menghadirkan adik untuk Nazly hingga meninggalnya di usia empatpuluh delapan, pada tahun 1885.

Dalam masa-masa pertumbuhannya,
Nazly sudah disuguhkan dengan dua pemandangan yang berbeda, Barat dan Timur. Mesir
sebagai tanah airnya, dan belahan Turki sebagai negara kedua baginya.

Singkat cerita, pernikahan pertama Nazly terjadi pada tahun 1873 dengan seorang laki-laki yang tigapuluh tahun lebih tua darinya, Khalil Pasha Sharif. Sang suami sendiri adalah seorang yang berbudaya dan berwawasan internasional, ia sempat belajar di Perancis sebagai salah satu delegasi yang dikirim oleh Muhammad Ali Pasha, kakek Nazly Fadhil.

Seusai dari Perancis ia bergabung dengan kesatuan diplomasi dalam pemerintahan Muhammad Ali Pasha dan mulai aktif di dunia perpolitikan. Mertua Nazly adalah Muhammad Sharif Pasha, seorang wali di Levant pada masa pemerintahan Muhammad Ali Pasha (bukan Muhammad Sharif Pasha seorang perdana mentri yang sering kita dengar).

Pada tahun 1876, suaminya terpilih sebagai Menteri Keadilan, baru setahun kemudian ia menjabat sebagai duta besar di Perancis. Di sana, jelas ia bukan sekedar istri seorang duta, namun juga sebagai ‘pelajar’ yang terpesona oleh kemegahan Paris dengan segala kemewahan yang disajikan.

Perancis adalah frase penting dalam membangun karakter seorang Nazly Fadhil, dengan cepat ia memperkaya pengetahuan dan mengenal berbagai budaya asing.

Di kota yang gemerlap cahaya tersebut Nazly mulai memperkaya dirinya dengan buku-buku bacaan, ia juga kerap menjadi pendengar yang baik di kuliah-kuliah umum, bahkan sesekali menyempatkan waktu berkomunikasi dengan orang asing secara terbuka.

Pada waktu itu, di Paris, salon-salon sastra sudah sangat populer, begitu juga kafe-kafe budaya, siapapun tahu kota tersebut menjadi pusat perkumpulan para cendekiawan, politisi, budayawan, serta sastrawan yang kerap mendiskusikan isu-isu kebudayaan, seni, juga politik.

Nazly sadar betul bahwasannya peran daripada salon-salon semacam itu sangat vital dalam membangun peradaban dan iklim kehidupan yang diidamkan, oleh karenanya seiring berjalannya waktu sesekali ia memberanikan diri mengundang kaum terdidik yang dikenalnya untuk berkunjung ke kediamannya, sekedar makan malam yang selalu berujung pada obrolan-obrolan hangat yang sarat dengan wacana-wacana penting.

Berkiprah di Mesir

Sepulang dari Perancis, Nazly
tampil jauh lebih memukau dibanding ketika masih perawan dulu. Dengan cita rasa
berbahasa yang tinggi ia mampu berkomunikasi menggunakan Bahasa Arab, Turki,
Inggris, dan Perancis dengan cakap, ia juga leluasa berbicara ala orang Jerman
dan Italia. Kehadirannya sanggup mengimbangi isu-isu yang dibicarakan lawan
bicaranya, terutama menyoal kemesiran selaku latar belakang jati dirinya.

Nazly tinggal di sebuah rumah di
belakang Keraton Abidin, tepatnya di jalan La Companie. Kediamannya dihiasi taman
cukup luas yang sebelumnya dikenal dengan Villa Henry. Ia melengkapinya dengan
perabot-perabot yang indah, sedikit menyerupai kediaman Louis XV.

Bukan sebuah kebetulan, rumah tersebut sebelumnya adalah kediaman Sir Henry Layard, seorang arkeolog terkenal yang nantinya menjabat sebagai duta besar Inggris untuk Turki Usmani. Nazly sering berjumpa dengannya ketika mereka sama-sama di Turki, Sir Henry terpana dengan kecerdasan dan kegigihan Nazly dalam menggali pengetahuan.

Dikabarkan Sir Henry menganggap Nazly seperti anak kandung sendiri, oleh karenanya dengan senang hati turut menyokong cita-cita luhur Nazly, sokongan moral maupun modal.

Di kediaman tersebut Nazly secara aktif menjalankan roda kebudayaan yang pengaruh pemikirannya masih terasa hingga detik ini. Kecerdasannya bagai magnit yang mampu menarik kaki Jamaluddin al-Afghani untuk menginjak lantai kediamannya, demikian juga Muhammad Abduh, Saad Zaghloul, Qasim Amin, dan tokoh-tokoh ulung pada masanya.

Salon di kediaman tersebut juga menarik perhatian sederet sahabat dekat Nazly yang berkebangsaan Inggris seperti Lord Cromer dan Herbert Kitchener. Tanpa menyebut kecantikan Nazly, tamu-tamu yang datang dari berbagai latar keilmuan yang berbeda-beda tersebut terpana dengan kecemerlangan ide-ide Nazly yang dibalut dengan selera humor yang tinggi.

Syeikh Muhammad Abduh baru mengenal Nazly sepulangnya dari perantauan pada tahun 1888. Boleh jadi ia mendapat cerita tentang wanita luar biasa ini dari gurunya, Syeikh Jamaluddin al-Afghani, terutama sejak Nazly mendukung pergerakannya yang bernama al-Urwah al-Wustqa sejak ia masih di Paris.

Mendengar kehebatan pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh, si cerdik Nazly mengirim undangan khusus untuknya supaya berkenan mendatangi salon kebudayaan di kediamannya. Sejak saat itu persahabatan mereka terjalin erat penuh keakraban, selama bertahun-tahun, hingga sampai Sang Syeikh meninggal dunia pada tahun 1905.

Adakah persahabatan yang lebih
mesra dibanding interaksi berbentuk diskusi-diskusi hangat dan
perdebatan-perdebatan demi tercapainya solusi suatu permasalahan?

Sejarawan meyakini bahwa Nazly
Fadhil telah berhasil mendorong Syeikh Muhammad Abduh untuk lebih mendalami
lagi literatur Perancis. Syeikh Mustafa Abd al-Raziq, yang mana ayahnya adalah
sahabat dekat Muhammad Abduh, dalam sebuah risalah menulis bahwa Nazly
mempunyai pengaruh luar biasa dalam tulisan-tulisan Muhammad Abduh,
menjadikannya lebih terang dan renyah dibaca.

Nazly juga membuka cakrawala baru
bagi Muhammad Abduh seperti pandangannya mengenai lukisan, ukiran, dan berbagai
karya seni lain untuk dipelajari dan patut diapresiasi nilai-nilai
kebudayaannya. Berawal dari sana, Muhammad Abduh menggunakan legitimasinya
selaku mufti Mesir memberikan fatwa “halal” pada karya-karya seni tersebut.

Siapa sangka artikel-artikel awal
yang ditulis Qasim Amin, seorang pelopor pergerakan pembebasan kaum wanita di
Mesir, berupa serangan telak terhadap kaum Hawa di negaranya. Amin kembali ke
Kairo setelah beberapa tahun belajar di Perancis, ia membuat sebuah
perbandingan radikal antara perempuan Mesir dengan mereka yang berlatar belakang
Perancis, kemudian menumpahkan ide-ide radikalnya dalam surat kabar al-Muayyid.
Ia sungguh merendahkan status sosial kaum hawa Mesir, dan memaksa mereka untuk
berdiam diri di rumah dan melarangnya turut andil di segala ruang
kemasyarakatan.

Tentu artikel-artikel tersebut berhasil membuat ‘gemas’ seorang Nazly Fadhil. Ia pun meminta Muhammad Abduh untuk mengundang Qasim Amin berkunjung ke salonnya guna mempresentasikan artikel-artikel ‘nakal’ tersebut langsung di hadapannya.

Qasim Amin mendapati dirinya begitu kecil di hadapan Nazly Fadhil, sosok luar biasa yang mampu berdiskusi dengan santun sembari mengetengahkan sanggahan-sanggahannya dengan penuh percaya diri, didukung logika yang tinggi pada setiap pendapat-pendapatnya.

Tidak membutuhkan waktu lama bagi
seorang Nazly Fadhil untuk mengubah pola pikir Qasim Amin yang masih perlu
diperluas lagi.

Setelah perkenalan dan presentasi
tersebut, secara tidak langsung Qasim Amin menjadikan Nazly Fadhil sebagai
contoh, bahwa dalam kondisi paling kritis sekalipun seorang wanita sangat mampu
berperan memperbaiki keadaan, atau menjadi sosok yang mereka cita-citakan. Ia
juga semakin yakin, bahwa pola masyarakat yang kolot yang telah membentuk
kepribadian perempuan menjadi jauh terbelakang, bukan dikarenakan faktor
biologisnya.

Nazly Fadhil adalah bukti nyata,
bahwa pada titik tertentu seorang muslimah siap bersaing dengan laki-laki dalam
bermacam hal, bahkan mengunggulinya.

Berawal dari sana Qasim Amin
mulai memperjuangkan upaya pembebasan perempuan dari bermacam diskriminasi, ia
menulis dua buku terkenalnya, Takhrir al-Mar’ah dan al-Mar’ah
al-Jadidah
. Baik Nazly Fadhil maupun Muhammad Abduh, dua-duanya sangat
berperan dalam pemikiran-pemikiran Qasim Amin yang masih terus dikaji hingga
hari ini.

Di salon budaya yang dijalankan Nazly Fadhil, argumentasi-argumentasi rasional jauh lebih diutamakan dibanding retorika emosional. Tentu.

Pernikahan Kedua di Tunisia

Nazly mulai menginjakkan kaki di
Tunisia pada tahun 1896 untuk mengunjungi salah satu saudarinya, Ruqayyah,
selaku istri dari salah seorang pembesar Tunisia, Thohir bin Ayad. Sebelumnya
ketika masih di Perancis, Nazly sudah menjalin persahabatan dengan beberapa
orang Tunisia. Kunjungannya ke sana bukan sekedar bertatap muka dengan Ruqayyah,
di sana ia bertemu dengan Khalil Buhajeb yang kemudian menjadi suaminya.

Semenjak Khalil Pasha Sharif
meninggal dunia pada tahun 1879 (setelah enam tahun berumah tangga dengan
Nazly), Nazly berkali-kali menolak lamaran para petinggi negara untuk dijadikan
istri mereka, barulah di Tunisia ia mengenal seorang hakim terkenal, pembaharu
sekaligus penasehat negara, Syeikh Salim Buhajib, yang kemudian menjadi bapak mertuanya.

Pernikahan berlangsung meriah pada 5 April, 1900, ketika umur Nazly terhitung empatpuluh tujuh tahun. Tidak seperti pernikahan sebelumnya di mana suaminya tigapuluh tahun lebih tua dari Nazly, kali ini suami keduanya justru sepuluh tahun lebih muda darinya.

Peran yang dimainkan Nazly di Tunisia sangat penting bagi perkembangan status kaum wanita di sana, kala itu pendidikan perempuan hanya sebatas di lembaga-lembaga pendidikan asing; sebagai konsekuensinya, perempuan yang beruntung memperoleh pendidikan hanya akan berwawasan kebarat-baratan tanpa pondasi keislaman yang kuat.

Menyadari hal ini Nazly jelas tergugah untuk melakukan sesuatu, setidaknya para perempuan yang terdidik di Tunisia minimal bisa seperti dia, berwawasan luas mengenai perkembangan dunia barat tanpa mengesampingkan identitasnya sebagai pemeluk agama Islam.

Upaya yang dilakukan Nazly
teramat cerdik dalam permasalahan ini, tanpa perlu bertahun-tahun
memperjuangkan nasib pendidikan negara suaminya, ia cukup  memperkenalkan pendidikan di Mesir pada salah
seorang yang memiliki tanggung jawab. Pada tahun 1907, bersama suaminya ia
mengundang seorang tokoh pembaharu Tunisia bernama al-Bashir Safar untuk
berkunjung ke Mesir.

Di Kairo, ia diperkenalkan dengan
sejumlah tokoh berikut sekolahan-sekolahan perempuan yang nanti akan
memancingnya supaya mengobarkan semangat pendidikan bagi kaum perempuan di
negaranya. Al-Bashir Safar terpana dengan ide-ide Nazly Fadhil, sebagaimana
keterpanaannya terhadap pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh dan Qasim Amin.

Sepulangnya dari Mesir, di Tunisia al-Bashir Safar tidak perlu menunggu lama untuk mendirikan sekolahan pertama bagi perempuan yang bisa dimasuki oleh berbagai elemen masyarakat, tanpa meninggalkan kajian keislaman demi membangun karakter keberagamaan mereka.

Sayonara

Sultan Hussein menjenguk ranjang sekarat Nazly pada 28 Desember 1913, hari itu mereka menghabiskan waktu bersama sampai pukul 7:30 petang, ia mengabarkan bahwa kesehatan Nazly tidak begitu parah, akan tetapi semangat juangnya untuk hidup terlihat lemah.

Nazly berucap padanya bahwa dirinya akan meninggal di bulan Desember, seperti mendiang ibunya. Menjelang subuh beberapa jam setelah itu, jantung Nazly kembali melemah, menurut cerita yang tersebar, ia menutup mata dengan tangannya sendiri ketika menghembuskan nafas terakhirnya.

Beriring suara musik yang dimainkan
beberapa bala tentara, warga Mesir berbondong-bondong memberikan penghormatan
terakhir untuk Nazly, mengantarkannya dari Keraton Abidin sampai tanah yang
menyambut jasadnya di area pemakaman keluarga Muhammad Ali di dekat Masjid Imam
Syafi’i.

Tamatlah riwayat Nazly Fadhil,
seorang pejuang yang namanya tidak begitu dikenal oleh sejarawan, barangkali
karena ia tidak memiliki karya tulis. Kita bahkan tidak menemukan namanya dalam
jajaran tokoh wanita yang memperjuangkan hak-hak mereka seperti Fatma Ismail,
Safiah Zaghloul, Huda Sya’rawi, Nabawiyah Musa, Siza Nabrawi, dan lain-lain.
Namun dari uraian singkat di atas bisa kita simpulkan perannya yang luar biasa
dalam pemikiran keagamaan maupun kebudayaan.

Perjuangannya bukan melawan kediktatoran maupun okupasi asing, namun membenahi masyarakat secara keseluruhan, melawan cara pandang budaya yang buruk dan tradisi yang berlebihan.

Ia berjuang melawan mereka yang membatasi ruang gerak kaum hawa, melawan cakrawala sempit dan ide yang dibikin-bikin, karena sadar potensi kaum hawa bisa mencapai titik yang luar biasa.

Tentu saja, saat ini, dunia sedang merindukan sosok Nazly Fadhil baru.

Kontributor

  • Redaksi Sanad Media

    Sanad Media adalah sebuah media Islam yang berusaha menghubungkan antara literasi masa lalu, masa kini dan masa depan. Mengampanyekan gerakan pencerahan melalui slogan "membaca sebelum bicara". Kami hadir di website, youtube dan platform media sosial.