Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Pembelaan Muhammad Asad untuk Palestina dan Kemerdekaan Pakistan

Avatar photo
40
×

Pembelaan Muhammad Asad untuk Palestina dan Kemerdekaan Pakistan

Share this article

“Leopold Weiss (Muhammad Asad) terlebih
dulu jatuh cinta dengan Arab, sebelum jatuh hati dengan Islam,” ucap Shalom
Goldman, seorang profesor teologi di Universitas Duke ketika tengah menyusun
buku tentang orang-orang Yahudi yang masuk Islam.

“Islam sangat berkaitan dengan Arab,
namun tidak bisa disamakan. Oleh karena itu Weiss lebih memilih tinggal di
tengah-tengah masyarakat Badui selama enam tahun dibanding beraktifitas di
kampus-kampus agama. Bagianya, berada di tengah-tengah masyarakat Badui adalah
jalan yang paling autentik untuk ditempuh, bukan belajar di Universitas
Al-Azhar atau nyantri ke Pakistan.” Lanjut Goldman.

Pertama kali Asad bersentuhan langsung
dengan kultur Arab dan Islam adalah ketika berpelesir ke Palestina atas
undangan pamannya, Dorian, seorang psikiater yang juga murid langsung Sigmund
Freud.

Ketika itu bersamaan dengan
peristiwa-peristiwa penting yang menentukan sejarah Palestina ke depan. Zionis
tengah gencar melakukan lobi-lobi terselubung yang kadang mengandung kekerasan
demi berdirinya negara Yahudi di bumi Palestina. Puluhan ribu orang Yahudi
meninggalkan Rusia dan sejumlah negara lain untuk ‘mengungsi’ di Palestina,
merubah wajah demografi dunia yang berlangsung hingga saat ini dan seterusnya.

Bagi seorang Weiss, masyarakat Badui
dengan kepolosan, gubuk, unta, dan segenap kesederhaannya lebih mirip dengan
penggambaran karakter masyarakat Ibrani yang ia pelajari dalam kitab-kitab babon
agama Yahudi dibanding Yahudi modern yang ia lihat secara langsung.

Dalam beberapa kesempatan, Weiss dengan
tegas menantang debat para pemuka Zionis seperti Dr. Chaim Weizmann dengan cara
meminta mereka supaya berani terang-terangan menjelaskan bagaimana bisa hak orang-orang
Yahudi melebihi orang-orang Palestina selaku penduduk asli selama dua ribu
tahun.

“Anti-zionisme sudah lama mengakar dalam
diri Weiss, bukan semata keberpihakannya pada Islam.” Ucap Kramer.

Sahabat karib Weiss di Palestina, Jacob
de Haan, seorang jurnalis asal Belanda dibunuh oleh seorang ekstremis Zionis
lantaran menyuarakan pembelaannya terhadap orang-orang Arab dari perlakuan
Zionis.


Ribuan orang Yahudi
meninggalkan Rusia dan sejumlah negara lain untuk ‘mengungsi’ di Palestina. Bagaimana
bisa hak-hak mereka melebihi tuan rumah sendiri?

Beberapa tahun berikutnya, Israel berniat menyatakan kepemilikan
penuh atas seluruh teritori Yerusalem, tentu Leopold Weiss yang telah merubah
namanya menjadi Muhammad Asad berada di barisan terdepan menolaknya.

Zionis berniat menjadikan Yerusalem
sebagai ibu kota Israel untuk selama-lamanya, dalam sebuah artikel berjudul The
Vision of Jerusalem
yang terbit tahun 1982, Muhammad Asad menulis: “Eternity
is an attribute of God alone.”

“Kekal” adalah sifat yang hanya dimiliki
Tuhan.
 

Muhammad Asad sepanjang hidupnya menulis
dan menyuarakan tentang bagaimana Islam meletakkan Yerusalem sebagai salah satu
“Kota Suci” bagi semua agama samawi, bukan semata real-estate milik orang
Yahudi saja. 

Goldman menceritakan bahwa Muhammad Asad
adalah orang pertama yang menggunakan istilah kolonialisme zionis sebelum
istilah tersebut dipopulerkan kaum Marxis pada kurun 60-an dan 70-an.

Ketika tinggal di Palestina, kemudian
berpelesir ke Yordania dan sejumlah wilayah Muslim lainnya, Muhammad Asad mulai
memupuk cinta terhadap kultur berikut gaya hidup orang-orang Arab.

Kisah-kisah Muhammad Asad tentang
kecintaannya terhadap kultur Arab banyak yang ia tuangkan dalam Frankfurter
Zeitung, salah satu jurnal ilmiah yang paling diperhitungkan kala itu, ia
menulis bahwa bangsa Arab sebagai bangsa yang ”blessed” (diberkahi) lantaran
gaya hidupnya yang sederhana dan menakjubkan.

Beberapa tahun kemudian, ketika diminta
untuk berbicara tentang terjemahan Al-Qur’an yang ia susun, Muhammad Asad
sempat menyampaikan pandangannya tentang kenapa Tuhan memilih utusan
terakhirnya dari dan di atas tanah Arab, salah satunya karena kehidupan keras
masyarakat badui perlu menyadari eksistensi kecilnya sebagai manusia. Kala itu
mereka paling butuh meyakini bahwa ada satu entitas yang mengatur dan menjaga
seluruh kehidupan.

Muhammad Asad tenggelam lebih dalam
dengan kultur Arab ketika melanjutkan perjalanannya ke semenanjung Arabia.
Selama enam tahun ia hidup di tengah-tengah suku badui, menenggelamkan diri
secara total dengan gaya hidup masyarakat padang pasir, mengendarai unta,
berjubah, dan tentu saja secara fasih berbicara bahasa mereka.

Bagaimana bisa orang kulit putih Eropa berpelesir dengan bebas
dan
dapat tinggal di mana saja, sementara di sekelilingnya kondisi
politik tengah memanas, campur tangan asing ke negara-negara Arab juga tengah
gencar-gencarnya?
Bukankah kecurigaan masyarakat Arab terhadap Muhammad Asad menjadi sebuah
keniscayaan?
 

Saudi Arabia tengah mengalami pemberontakan yang besar ketika
Muhammad Asad tiba di sana tahun 1927, ia yang saat itu baru masuk Islam tengah
menunaikan ibadah Haji.
Di lain sisi, Ibnu Saud, pendiri Saudi Arabia modern,
merasa kwalahan dalam mengendalikan suku-suku pemberontak yang tersebar di
wilayah gurun.

Pada saat yang sama Ibnu Saud tidak lagi
memercayai Inggris yang telah menggunakan kekuatan militernya untuk memperlemah
dan memperdaya para pemimpin Arab.

“Tentu kewartaan Muhammad Asad sebagai
jurnalis juga koneksinya dengan dunia internasional membangun komponen penting
dalam hubungannya dengan sang raja,” ucap
Günther Windhager,
seorang antropologis asal Austria yang menulis buku tentang masa-masa Muhammad
Asad di Saudi Arabia.

Muhammad Asad saat itu aktif menulis di
sejumlah surat kabar Eropa. Bahkan beberapa catatan perjalanannya ada yang
diterjemahkan dan dicetak di Indonesia di bawah kuasa Belanda, yang ketika itu
terkenal dengan nama Dutch East Indies. Satu dari banyak fakta yang membuat
nama Muhammad Asad diperhitungkan di kerajaan Saudi.

Atas izin langsung dari raja, Muhammad
Asad dapat melakukan perjalanan ke wilayah-wilayah Arab saat sebagian besar
warga asing tidak bisa menempuhnya lantaran izin yang ketika itu sangat sulit.

Sebelum menunaikan ibadah haji, Asad
terlebih dulu menikahi Elsa, seorang pelukis yang usianya limabelas tahun lebih
tua. Mereka berangkat haji bersama.

Namun petaka datang tanpa disangka, Elsa
meninggal dunia sembilan hari setelah menunaikan semua rukun haji karena
terserang semacam wabah tropis. Hal yang tentu sangat memukul Muhammad Asad.
Mendengar berita ini sang raja mengundangnya datang ke kerajaan, sehingga
hubungan keduanya menjadi semakin erat.

Secara tidak langsung Muhammad Asad
menjadi penasehat raja, bahkan dalam sekali waktu menerima tugas berat belusukan
ke gurun-gurun untuk mencari tahu pihak mana yang menyuplai senjata perang bagi
para pembangkang.

Ketika semakin rajin mempelajari
Al-Qur’an, Muhammad Asad semakin giat mengeksplorasi aspek-aspek penting Islam,
seperti mendalami hukum-hukum Islam dan peranannya dalam dunia politik.

Secara umum, para pelajar Muslim belajar
langsung tentang hukum-hukum Islam kepada sarjana yang mumpuni di bidangnya di
sebuah perguruan tinggi. Berbeda dengan Muhammad Asad, hingga saat ini belum
jelas kepada siapa ia berguru dan memperoleh bimbingan. Hal ini sering dipakai
bahan andalan para pencelanya untuk melawan.

“Kita benar-benar kehilangan jejak
tentang lingkaran kajian keagamaan Muhammad Asad ketikan mendalami Islam pada
masa-masa tersebut,” tulis Dr. Muzaffar Iqbal, pendiri Center for Islamic
Science in Canada.
Kelak anak lelaki Muhammad Asad, Talal Asad, juga mengakui
bahwa ia sendiri lebih banyak tidak tahu nama-nama sarjana Muslim yang kurun
tersebut menjalin kontak dengan sang ayah.

Talal, yang sekarang berusia 88 tahun
adalah satu-satunya anak Muhammad Asad. Ia lahir di Saudi Arabia dari
perkawinan Muhammad Asad dengan Munira, istri ketiganya, seorang muslimah dari
suku Shammar. Setahun setelah kematian Elsa, Muhammad Asad menikahi seorang
gadis dari Riyadh yang tidak lama kemudian ia ceraikan.

Menetapnya Muhammad Asad di Mekah dan
Madinah memiliki dampak yang mendalam dalam pemahamannya tentang Islam. Itulah
masa di mana transformasi Leopold Weiss menjadi Muhammad Asad bukan sekadar
perubahan nama, namun juga secara watak dan kepribadian yang sebelumnya seorang
warga dengan tipikal Eropa menjadi sosok beratribut serba Arab-Islam.

Akan tetapi kontribusi terbesarnya dalam
mendorong Islam menjadi kekuatan politik justru terjadi di negara yang saat itu
tidak tampak di peta, Pakistan.

Buku kedua Muhammad Asad, Islam at
the Crossroads,
langsung mendunia tidak lama setelah menempati rak-rak toko
buku. Hal tersebut antara lain karena sisi menarik Muhammad Asad yang berlatar
belakang warga Eropa dengan lantang mengkritik dunia Barat, membela Islam
dengan gigih, menjunjung tinggi Nabi Muhammad sebagai manusia paling mulia, dan
menempatkan Islam sebagai satu-satunya jalan keluar dari kegelapan.

Sisi menarik lainnya adalah, sebelum
lahirnya buku tersebut, hampir tidak ada upaya dari seorang cendekiawan dengan
jelas dan tegas dalam mendudukkan ketidak-sukaan Eropa terhadap Islam. Sebagai
warga negara Eropa, dengan bahasa yang halus Muhammad Asad menegaskan bahwa
seorang muslim tidak seharusnya terpesona dengan capaian-capaian teknologi
Barat. Sangat bagus bila hendak mengadopsi ilmu pengetahuan dari Barat sebanyak
mungkin, dengan catatan tetap mengesampingkan gaya berpikir mereka yang kering
spiritual.


Versi Arab dari Islam
at the Crossroads (Islam di Persimpangan Jalan), seperti halnya The
Road to Mecca,
buku ini salah satu karya penting pemikiran Islam terkini

Cara pandang Muhammad Asad seperti ini
sangat relevan pada waktu itu, yakni ketika hampir seluruh negara Muslim dalam
cengkeraman kolonial Barat. Jangan berkecil hati oleh kemelaratan, ucap
Muhammad Asad pada seorang kawannya, butuh seribu tahun bagi kekhalifahan untuk
ambruk, di sisi lain kekaisaran Romawi lenyap dalam seratus tahun.

Jika umat Islam senantiasa mengikuti
prinsip-prinsip Islam yang menekankan seluruh pemeluknya menyibukkan diri
belajar ilmu pengetahuan dan saling berguru, tulisnya, maka umat Islam hari ini
tidak akan melongo menatap kemajuan yang dilahirkan rahim dunia Barat.

Tidak ada yang nyana buku tersebut bakal
sangat disanjung dan mempengaruhi penyair Muhammad Iqbal, sarjana sekelas
Al-Maududi, hingga pemikir Mesir bernama Sayyid Quthub.

Hingga tiba pertengahan 30-an, Muhammad
Asad secara aktif terjun dalam beberapa proyek pengembangan pendidikan Islam
yang tidak memandang ilmu pengetahuan sebelah mata, namun juga layak
disejajarkan dengan pengajaran topik-topik keagamaan.

Pada kurun ini pula Muhammad Asad
mengemban tugas berat menerjemahkan Shahih Bukhari. Bukan tugas ringan
tentunya, tidak hanya materi terjemahannya banyak, namun juga harus dibarengi
menelaah ribuan catatan sejarah. Namun sayang, Muhammad Asad gagal merampungkannya,
bahkan sebagian besar yang sudah digarapnya hilang di tengah-tengah konflik
India-Pakistan pada tahun 1947.

Sepanjang waktu Muhammad Asad berada di
bawah radar mata-mata intelijensi Inggris, gerak-geriknya juga tercatat bahkan
sejak sebelum kedatangannya ke India.

Meletusnya Perang Dunia II pada tahun
1939 memberi Inggris alasan untuk menangkap Muhammad Asad yang secara hukum
masih warga negara Austria. Pendudukan Jerman atas Austria menjadikan Muhammad
Asad musuh negara, meskipun ia tengah berada di India.

Selama enam tahun berikutnya, Muhammad
Asad tinggal dari satu kamp ke kamp yang lain dalam pengamanan ketat,
menghindari ancaman para pendukung Nazi.
 

Muhammad Asad memperoleh kabar bahwa
ayah dan saudarinya dikirim tentara Nazi ke kamp konsentrasi di Jerman lantaran
identitas yahudinya. Muhammad Asad berupaya mati-matian melakukan lobi dan
menyusun dokumen supaya keluarganya bisa dibebaskan.

Itulah saat paling menyedihkan sepanjang
hidup Muhammad Asad. Talal, anak semata wayangnya, berujar bahwa itulah pertama
dan terakhir kalinya ia melihat air mata sang ayah.

Setelah dibebaskan pada tahun 1946,
Muhammad Asad mendedikasikan waktunya untuk merumuskan politik Islam berikut
konstitusi yang menaunginya, karena sampai saat itu politisi Muslim belum
memiliki acuan ideal di era modern. Hampir seluruh buku yang terbit sebelum era
40-an, ketika menyoal politik, melulu fokus pada sistem khilafah. Tidak
demikian Muhammad Asad, ia salah satu figur pertama yang mendudukkan politik
Islam dalam spektrum yang lebih luas, ia menekankan umat Islam perlu rumus baru
dalam berpolitik di zaman modern.

Dengan tegas Muhammad Asad mendukung
sistem demokrasi terpilih. Ia cakap mengemukakan dalil-dalil Islam dalam
mendukung gagasannya, menyangkal mereka yang terang-terangan beranggapan bahwa
demokrasi tidak sejalan dengan Islam.

Setelah pemerdekaan Pakistan pada tahun
1947, Muhammad Asad sempat mengepalai Departemen Rekonstruksi Islam yang
bertujuan memastikan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip
Islam.
 Namun
karena perdana menteri pertama Pakistan, Liaquat Ali Khan
, melihat
Muhammad Asad
 memiliki potensi yang besar dalam menjalin
hubungan dengan
dunia luar,
walhasil
ia ditugaskan di kementrian luar negeri.

Kontributor

  • Walang Gustiyala

    Penulis pernah nyantri di Pondok Pesantren Al-Amien Prenduan, Al-Hikmah Purwoasri, Walisongo Sragen, Al-Ishlah Bandar Kidul, Al-Azhar Kairo, dan PTIQ Jakarta. Saat ini mengabdi di Pesantren Tahfizh Al-Quran Daarul ‘Uluum Lido, Bogor.