Pertengahan Mei 1250 musim panas mulai
mengecup tanah Suriah, ketika berita pembunuhan al-Mua’azzam Turansyah dan
pengangkatan Syajarah ad-Durr sebagai Sultana sampai ke Damaskus. Kabar yang
sangat mengejutkan
bagi rakyat Suriah yang saat itu masih begitu setia dengan Kesultanan
Ayyubiyah. Bisa dimaklumi karena Syajarah ad-Durr tidak memiliki garis
keturunan Ayyubiyah. Ia hanyalah istri dari Sultan ash-Shalih Ayyub yang di
awal hidupnya hanya seorang budak perempuan. Terlebih Syajarah ad-Durr masih
berdarah Turki-Armenia, dikhawatirkan dia hanya akan memihak kepentingan rasnya
saja.
Amir Suriah berada di posisi yang
sulit. Secara nurani dia tidak ingin memberikan sumpah setianya kepada Syajarah
ad-Durr. Akan tetapi kekuatan militer yang dia miliki juga tidak sebanding
dengan kekuatan militer para Mamluk di Kairo yang telah berada di genggaman
Syajarah ad-Durr. Di saat yang sama angin segar masih menerpa Sang Amir dan
rakyat Suriah, karena wakil sultan yang berada di al-Karak ternyata memberikan
perlawanan dengan memberontak terhadap pemerintahan Syajarah ad-Durr di Kairo.
Demi mengamankan diri dan keluarganya,
Amir Suriah ini pun menyerahkan kota Damaskus kepada an-Nasir Yusuf, seorang
Amir keturunan Ayyubi yang berada di kota Alleppo. Namun ternyata tindakan
tersebut belum mampu benar-benar mengamankan dirinya dan an-Nasir Yusuf. Para
Mamluk di Kairo mengadakan kampanye penangkapan para amir dan pejabat
pemerintahan yang masih setia kepada Kesultanan Ayyubiyah yang secara de facto
tidak lagi ada, karena pemimpin tertinggi saat ini bukan berasal dari garis
keturunan Ayyubiyah.
Sebenarnya penentangan terhadap
kekuasaan Syajarah ad-Durr tidak hanya datang dari garis keturunan Ayyubiyah
dan para amir yang masih setia pada Kesultanan Ayyubiyah saja. Khalifah
al-Musta’shim di Baghdad juga menolak langkah para Mamluk di Mesir dan menolak
Syajarah ad-Durr sebagai Sultana.
Sejatinya, penolakan Baghdad terhadap
pengangkatan Syajarah ad-Durr sebagai sultana adalah langkah mundur bagi para
Mamluk di Kairo. Hal ini karena secara kebiasaan di era Ayyubiyah, seorang
sultan Ayyubiyah akan memperoleh legitimasi hanya jika mendapat pengakuan
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Maka demi mendapatkan simpati dari Baghdad,
para Mamluk ke Kairo pun meminta Syajarah ad-Durr menyerahkan tampuk
kekuasaannya kepada Izz ad-Din Aybak setelah tiga bulan berada di puncak tahta.
Bagian I: Pohon
Permata di Tengah Kecamuk Perang Salib
Sejak Aybak naik tahta inilah lahir
sebuah dinasti baru yang kelak akan mengukir sejarah besar Islam dan Mesir
dalam kancah peradaban dunia. Dengan naik tahtanya Aybak sebagai Sultan Mesir,
resmilah keruntuhan Dinasti Ayyubiyah berganti dengan Dinasti Mamluk. Dinasti
ini selanjutnya akan meneruskan kampanye kekuasaan Mesir di wilayah Mediterania
dan Levant. Dinasti inilah yang kelak mewarisi bangunan-bangunan megah di
seantero kota Kairo dan Alexandria. Masjid, madrasah, khanqah, sabil-kutab,
istana, dan benteng-benteng dibangun berderet di setiap sisi Kairo. Setiap
sultan dan amir akan menancapkan legasinya di Kairo dengan berbagai karya
arsitektur kelas dunia. Maka tidak heran jika Kairo kemudian disebut negeri
Seribu Menara, karena di kota inilah berdiri banyak sekali menara yang
didominasi oleh menara-menara yang dibangun di era Mamluk.
Demi menghormati jasa Syajarah ad-Durr
kepada para Mamluk, Aybak pun menikahi Syajarah ad-Durr dan menjadikannya permaisuri
dinasti baru ini. Meski Syajarah ad-Durr ini berkuasa hanya sekitar tiga bulan,
namun Ia sempat menyaksikan tiga sejarah besar dalam sejarah Mesir; pertama,
diusirnya Raja Louis IX dari Mesir yang menandai kegagalan bangsa Eropa
menaklukkan cekung Mediterania Selatan. Kedua runtuhnya Dinasti Ayyubiyah, dan
ketiga, lahirnya Dinasti Mamluk yang akan memiliki sejarah panjang hingga lebih
dari dua abad lamanya.
Demi menyenangkan para keturunan
Ayyubiyah dan orang-orang yang masih setia pada Dinasti Ayyubiyah di Suriah,
para Mamluk lantas mengangkat seorang keturunan Ayyubiyah bernama asy-Syaraf
Musa yang saat itu masih anak-anak menjadi rekan sultan. Namun hal itu tetap
tidak membuat para keturunan Ayyubiyah dan para orang-orang setianya membuka
hati untuk dinasti baru ini. Konflik dan bahkan konfrontasi bersenjata pun tak
terelakan antara para Mamluk dan pengikut Ayyubiyah.
Sementara itu Khalifah Abbasiyah di Baghdad
sedang dipusingkan dengan serangan bangsa Mongolia di kawasannya sendiri. Maka
Khalifah Abbasiyah saat itu lebih memilih penyelesaian konflik antara Mamluk
dengan pengikut Ayyubiyah di Suriah dilakukan dengan jalan perundingan damai
dengan dimediasi oleh Khalifah sendiri. Akhirnya perundingan membuahkan hasil
meski konflik berdarah tetap mewarnainya. Mamluk sepakat untuk memberikan
kendali atas sebagian wilayah Palestina yaitu Yerussalem dan Gaza, juga wilayah
pesisir Suriah kepada para keturunan Ayyubiyah. Perjanjian ini masih membawa
keuntungan bagi Dinasti Mamluk, karena selain bertambah wilayah kekuasaannya,
mereka juga mendapatkan legitimasi atas negara baru yang mereka dirikan.
Selain konflik dengan para keturunan
dan pengikut Dinasti Ayyubiyah yang berada di Suriah, dinasti baru ini juga
mendapatkan tantangan pemberontakan di Mesir tengah dan atas dari internal
Mamluk sendiri. Hal ini wajar terjadi, karena Mamluk sejatinya terdiri dari
banyak klan yang saling berebut pengaruh di Mesir. Aybak yang takut dengan para
Mamluk Shalihiyah, sebutan untuk para Mamluk dari Sultan ash-Shalih Ayyub yang
mengangkat kembali Syajarah ad-Dur menjadi sultana, akhirnya memutuskan untuk
melakukan pembunuhan terhadap pemimpin mereka yaitu Faris ad-Din Aktai.
Pembunuhan Aktai ini berakibat pada
terjadinya eksodus besar-besaran Mamluk Shalihiyah ke Suriah untuk bergabung
dengan an-Nasir Yusuf, amir Ayyubiyah yang berkuasa di kota Damaskus. Para
Mamluk terkemuka yang berada di barisan Mamluk Shalihiyah seperti Baybars
al-Bunduqdari dan Qalawun al-Alfi termasuk yang mengungsi ke Suriah. Kini Aybak
menjadi satu-satunya Mamluk yang berkuasa mutlak di Mesir setelah para Mamluk
Shalihiyah pendukung Syajarah ad-Durr mengungsi ke Suriah untuk berbalik
melawan Aybak di Kairo.
Sampai dengan awal tahun 1257,
perselisihan dan rasa saling curiga menjadi bagian utama hubungan Aybak dan
istrinya Syajarah ad-Durr. Aybak merupakan sultan yang sedang mencari keamanan
dan supremasi atas tahtanya di satu sisi, sedangkan Syajarah ad-Durr merupakan seorang
mantan sultana yang memiliki kemauan kuat mengelola negara di tepi
keruntuhannya yang harus berhadapan dengan invansi dari bangsa Eropa di sisi
yang lain.
Syajarah ad-Durr sangat menginginkan
kekuasaan tunggal atas Mesir ada di tangannya. Ia banyak menyembunyikan urusan
pemerintahan yang menjadi bagiannya dari Aybak. Bahkan Syajarah ad-Durr
melarang Aybak bertemu dengan istri-istrinya yang lain dan bersikeras agar
Aybak menceraikan mereka semua.
Sebaliknya, Aybak justru merasa perlu
membangun aliansi dengan amir-amir yang kuat agar Ia dapat mengatasi perlawanan
para Mamluk yang melarikan diri ke Suriah dan beraliansi dengan an-Nasir Yusuf.
Maka Aybak pun memutuskan untuk menikahi putri Badr ad-Din al-Lu`lu`ah, seorang
Amir Ayyubi yang berkuasa di Mosul.
Bagian II: Konflik
dengan Anak Tiri dan Ujung Dinasti Ayyubiyah
Setelah pernikahannya, Aybak diperingatkan
oleh ayah mertuanya bahwa Syajarah ad-Durr bersekongkol dan menjalin hubungan
gelap dengan an-Nasir Yusuf di Suriah.
Menikahnya Aybak dan putri Badr ad-Din
al-Lu`lu`ah menyulut kecemburuan yang luar biasa di dalam diri Syajarah
ad-Durr. Ia merasa dikhianati sekaligus merasa dirinya dalam bahaya secara
politik dan keamanan. Di suatu malam yang sunyi Ia mengumpulkan para dayang dan
pelayan dan mengintimidasi mereka agar mau membunuh Aybak esok pagi ketika
Aybak sedang mandi.
Rencana pun berjalan mulus. Aybak
tewas di pemandiannya setelah dibunuh oleh para pelayan. Berita kematian Aybak
sampai di telinga para Mamluk Mu’izziyah, sebutan bagi Mamluk pendukung Aybak.
Syajarah ad-Durr pun dimintai klarifikasi atas kematian suaminya itu oleh para
pengikut Aybak. Dalam klarifikasinya, Syajarah ad-Durr hanya mengatakan bahwa
Aybak meninggal mendadak di malam harinya. Namun pemimpin Mamluk Mu’izziyah,
Said ad-Din Qutuz tidak mau mempercayainya dan tetap menuduh Syajarah ad-Durr
sebagai dalang kematian Aybak.
Setelah menginterogasi para pelayan
dan kebanyakan dari mereka mengakui mendapat tekanan dari Syajarah ad-Durr
untuk membunuh Aybak, Qutuz dan para Mamluk Mu’izziyah menangkap Syajarah ad-Durr
dan para pelayan yang melakukan pembunuhan terhadap Aybak untuk dibunuh. Namun
Mamluk Shalihiyah berhasil mengamankan Syajarah ad-Durr dan membawanya ke
Menara Merah tempat Ia tinggal. Di tempat lain, demi menjaga Kesultanan Mamluk
dari kekosongan tahta, para Mamluk Mu’izziyah pun melantik al-Manshur Ali putra
dari Aybak menjadi sultan penerus Dinasti Mamluk.
Musim semi tahun 1257 tepatnya tanggal
28 April, al-Manshur Ali dan ibu kandungnya yang telah lama merencakan balas
dendam atas kematian ayahnya, menyuruh para pelayan dan budaknya untuk membunuh
ibu tirinya, Syajarah ad-Durr dengan cara yang sangat sadis. Syajarah ad-Durr
ditelanjangi dan dilempari dengan sandal bakiak (sandal kayu yang digunakan
untuk mandi) hingga tewas.
Setelah tewas, tubuh Syajarah ad-Durr
diseret dengan ditarik kakinya lalu di bawa ke atas menara benteng Shalahuddin
(Cairo Citadel). Dengan kain
sutera diikatkan di pinggangnya, tubuh Syajarah ad-Durr dilemparkan ke parit
yang ada di bawah benteng dari atas menara. Tubuhnya dibiarkan begitu saja
tanpa dikubur. Hingga tiga hari setelah kejadian itu masyarakat menemukan
jasadnya karena muncul bau busuk dari parit di bawah dinding benteng. Sementara
kain sutera dan perhiasan yang masih menempel di tubuh Syajarah ad-Durr
dijadikan rebutan oleh masyarakat. Sebuah akhir dan kematian yang mengenaskan
bagi seorang wanita yang memiliki catatan sejarah besar dalam perjalanan
peradaban Mesir abad pertengahan.
Sumber Pustaka
Yusuf bin Taghribardi, An-Nujûmu az-Zâhirah
fî Mulûk Misr wa al-Qâhirah, (Kairo: Dâr al-Kutub, tt.), Vol. VI.
Abu Fidâ`, Mukhtashar fî Akhbâr
al-Basyar (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, tt.), Vol. III.
Al-Maqrîzi, As-Sulûk
li Ma’rifat Duwal al-Mulûk (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1997), Vol I.
Ibnu Iyyas, Badâ`i’
az-Zuhûr fî Waqâ`i’ ad-Duhûr (Mekkah: Dar al-Baz, tt.), Vol I.