Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Tokoh

Yang Termahal dari Ummu Sulaim Al-Anshariyah

Avatar photo
15
×

Yang Termahal dari Ummu Sulaim Al-Anshariyah

Share this article

Sepulang dari
perjalanan di luar kota, Malik bin an-Nadhar dikejutkan oleh berita bahwa
istrinya telah pindah agama. Kontan saja dia marah dan segera klarifikasi.

“Benar engkau
telah murtad, bu?” tanya Malik.

“Murtad bagaimana,
Pak? Aku tidak murtad, aku cuma masuk Islam,” jawab istrinya tanpa ragu.

“Ya itu murtad
namanya! Keluar dari agama nenek moyang!”

Malik tak bisa menerima
kenyataan itu. Dia minggat dan pasangan muda itu pun akhirnya bercerai.
Sementara anak semata wayang mereka, Anas, yang masih bayi dalam susuan, ikut
ibunya.

Ummu Sulaim, demikian
perempuan cantik janda Malik itu biasa disapa. Dia masuk Islam di bawah
bimbingan Mush’ab ibn Umair radhiyallahu anhu.

Mush’ab adalah juru
dakwah yang diutus Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ke Madinah
sebelum hijrah untuk mengislamkan warga Madinah. Ini strategi penting sebagai
persiapan sosial untuk memuluskan jalannya hijrah yang hanya tinggal menunggu
izin dari langit.

Bagi warga Madinah,
nama Muhammad dan Islam telah sangat familiar di telinga mereka. Tak pelak lagi
agama Islam laris manis di sana dan Mush’ab pun mencatat sukses besar dalam
dakwahnya. Warga berbondong-bondong masuk Islam di tangannya, tak ketinggalan
pula Ummu Sulaim al-Anshariyah radhiyallahu anha.

Sejarawan muslim terkenal,
Ibnu Hisyam rahimahullah, mencatat bahwa pada saat Rasulullah hijrah,
hampir tak tersisa satu rumah pun di Madinah kecuali penghuninya telah masuk
Islam. Oleh karena itu wajar, ketika Rasulullah

hijrah ke kota
tersebut, ramai-ramai warganya meyambut kehadiran beliau dengan gegap-gempita.

Lebih dari sekadar muslimah
yang taat, Ummu Sulaim juga sangat mencintai Rasulullah. Sebagai ungkapan
kecintaannya, ia mempersembahkan buah hatinya dan belahan jiwanya, Anas, kepada
beliau untuk menjadi abdi setia beliau.

«يا رسول الله، هذا
أَنَس يَخدِمُك
»

“Wahai Rasulullah,
ini anakku Anas siap melayani engkau,” ujarnya.

Inilah persembahan
termahal sepanjang sejarah. Maka jadilah Anas pelayan pribadi Rasulullah selama
10 tahun, artinya sepanjang hidup Rasulullah di Madinah.

Dialah Anas bin Malik radhiyallahu
anhu
, salah seorang sahabat besar dari kalangan Anshar yang sangat
dihormati dan telah meriwayatkan ribuan hadits dari Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam
yang tersebar di berbagai kitab sahih.

Merefleksikan 10 tahun
berkhidmah kepada Rasulullah, Anas berkata:

خدمتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم عشرَ سنينَ، فما قال
لي «أُفٍّ» قطُّ، وما قال لي لشيٍء صنعتُه: «لِمَ صنعتَه» ولا لشيٍء تركتُه: «لِمَ
تركتَه». وكان رسولُ اللهِ من أحسنِ الناسِ خُلُقًا ، ولا مسستُ خَزًّا ولا حريرًا
ولا شيئًا كان ألينَ من كفِّ رسولِ اللهِ ، ولا شممتُ مِسكًا قط ولا عطرًا كان
أطيبَ من عَرَقِ النبيَّ

“Sepuluh tahun
lamanya aku mengabdi kepada Rasulullah, selama itu pula tak pernah beliau
membentakku meski dengan kata ‘huhh!’ Juga tak pernah beliau bertanya mengenai
apa yang aku lakukan, ‘Knapa kau lakukan itu?’ atau mengenai sesuatu yang tidak
kulakukan, ‘Kenapa tidak kaulakukan itu?’ Beliau adalah orang yang paling baik
akhlaknya. Aku juga tidak pernah menyentuh kain sutera atau apa saja yang lebih
lembut dari telapak tangan Rasulullah dan tidak pernah aku mencium minyak
kesturi (misik) atau wewangian apa saja yang lebih wangi dari keringat
Rasulullah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Setelah menjanda, Ummu Sulaim yang
berparas cantik menjadi dambaan banyak laki-laki untuk mempersuntingnya, tetapi
semua pinangan dia tolak. “Maaf, aku tak akan menikah lagi,” katanya
kepada setiap laki-laki yang meminangnya. Kemudian lanjutnya, “Kecuali
jika Anas menyuruhku setelah dia besar dan memimpin banyak forum di mana dia
akan berkata, “Semoga Allah membalas jasa besar ibuku yang telah mengasuhku
dengan baik sehingga aku menjadi orang.”

Sementara itu, di pihak lain, seorang
laki-laki bernama Abu Thalhah diam-diam mengincar Ummu Sulaim. Dengan penuh
kesabaran ia menunggu hari demi hari sampai Anas besar dan menjadi tokoh
sebagai syarat untuk meminang ibunya. Ketika syarat itu telah terpenuhi dan
kesempatan tiba, dengan sangat percaya diri, Abu Thalhah menemui Ummu Sulaim
untuk meminangnya.

“Wahai Ummu Sulaim,” kata Abu
Thalhah, “sekarang Anas sudah besar dan sudah memimpin berbagai forum.”

“Begini, Abu Thalhah,” jawab
Ummu Sulaim, “Laki-laki sepertimu memang tak pantas ditolak (maksudnya
karena dia tampan), tetapi aku ini perempuan mukminah, sedang engkau musyrik.
Coba kaupikir, Abu Thalhah, bukannya yang kausembah itu batu yang tak bisa
memberi manfaat atau bahaya apa-apa atau kayu yang diukir oleh tukang ukir?
Manfaat atau bahaya apa yang kauperoleh darinya? Apa engkau tidak malu
menyembah benda yang buta-tuli itu? Nah, kusarankan sebaiknya engkau masuk
Islam saja. Jika engkau masuk Islam, aku tak akan minta maskawin apa-apa lagi
selain masuk Islammu itu.”

Abu Thalhah terdiam. Jiwanya tersentuh
dengan jawaban Ummu Sulaim. Lebih-lebih penggal kalimat terakhir yang memberi
secercah harap untuk bisa menikahinya. Pelan tetapi pasti, ajaran tauhid mulai
merasuki relung hatinya yang paling dalam hingga akhirnya ia pun benar-benar
berucap syahadat di hadapan perempuan tambatan hatinya itu.

Tetapi Abu Thalhah bukan tipe laki-laki
penjual keyakinan yang mau pindah agama hanya untuk mempersunting seorang
perempuan seperti kerap terjadi di zaman now, tetapi benar-benar menjadi muslim
yang baik dan taat beragama. Buktinya, saat terjadi pembaiatan di bukit Aqabah
yang dikenal dengan Baiat Aqabah itu, Abu Thalhah termasuk di antara 12 nuqaba
yang dibaiat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Maka
jadilah maskawin Ummu Sulaim maskawin termahal dalam sejarah Islam. Belakangan,
beberapa ulama fikih berpolemik tentang bolehkah masuk Islamnya seorang
laki-laki dijadikan maskawin atau tidak. Hal ini karena, menurut fikih,
maskawin itu harus memberi manfaat riil pada si istri. Nah, pertanyaannya,
manfaat apa yang bisa diperoleh istri dari masuk Islamnya si suami? Tetapi itu
domainnya para fuqaha untuk membahasnya, bukan alfaqir. wallahu a’lam.

Disarikan dari Ath-Thabaqat
al-Kubra
karya Ibnu Sa’ad dan Al-Ishabah karya Ibnu Hajar
al-Asqalani.

 

Kontributor

  • KH. Zainul Muin Husni

    Dekan Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Universitas Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur