Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Esai

Mengapa Sebagian Orang Alergi Kitab Ihya’ Ulumiddin?

Avatar photo
45
×

Mengapa Sebagian Orang Alergi Kitab Ihya’ Ulumiddin?

Share this article

Penilaian seseorang terhadap sebuah kitab dan penulisnya
dipengaruhi oleh banyak hal; latar belakang keilmuannya, informasi yang
diperolehnya tentang kitab itu juga penulisnya, seberapa jauh ia memahami kitab
itu dan seterusnya. Biasanya, semakin terkenal sebuah kitab dan penulisnya,
semakin banyak pro-kontra tentang kitab itu. Atau sebaliknya, semakin banyak
pro-kontra tentang sebuah kitab, semakin ia terkenal.

Kitab Ihya’ Ulumiddin yang dikarang oleh Imam Abu
Hamid al-Ghazali termasuk di antara kitab yang menimbulkan pro-kontra sejak
dulu, bahkan di saat penulisnya masih hidup.

Orang-orang yang melancarkan kritikan terhadap kitab ini
bukan orang sembarangan, dan mereka memiliki latarbelakang keilmuan serta
mazhab yang berbeda-beda. Sebutlah tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Maziri,
Abu al-Walid ath-Thurthusyi, al-Qadhi ‘Iyadh, Ibnu Shalah, Ibnu al-Jauzi, Ibnu
Taimiyyah, Ibnu al-Qayyim dan lain-lain. Sebaliknya, orang-orang yang memuji
kitab ini dan mengagungkannya juga tidak kalah banyaknya, bahkan boleh jadi
lebih banyak dari mereka yang mengkritiknya.

Pihak yang melancarkan kritikan terhadap kitab Ihya’,
sebagian dengan uslub yang berlebihan, tentu memiliki alasan untuk itu. Secara
umum, yang menjadi fokus kritikan mereka adalah warna tasawuf yang sangat
kental dalam Ihya’ sehingga ada beberapa ungkapan Imam al-Ghazali yang
dinilai sudah keluar dari jalur syariat. Di samping itu, banyak hadits yang
dicantumkan di dalamnya ternyata lemah, dan bahkan palsu.

Kritikan ini telah dijawab oleh banyak ulama, seperti
Imam Taqiyyuddin as-Subki dan puteranya Imam Tajuddin as-Subki, Imam Abdul
Ghafir al-Farisi, Imam Murtadha az-Zabidi, Imam as-Suyuthi, Imam asy-Sya’rani,
Imam Abdullah al-‘Aidarus, dan lain-lain.

Ketika menjawab kritikan Imam Maziri, Imam Taqiyyuddin
as-Subki memberikan penjelasan yang bisa disebut sebagai kunci dalam memahami
akar terjadinya perbedaan penilaian terhadap kitab Ihya’.

Ia mengatakan :

لا يخفى أن طريقة الغزالي التصوف والتعمق فى الحقائق ومحبة
إشارات القوم وطريقة المازري الجمود على العبارات الظاهرة والوقوف معها والكل حسن
ولله الحمد إلا أن اختلاف الطريقين يوجب تباين المزاجين وبعد ما بين القلبين لا
سيما وقد انضم إليه ما ذكرناه من المخالفة فى المذهب

“Tidak asing lagi bahwa metode yang ditempuh oleh
al-Ghazali adalah metode tasawuf, pendalaman terhadap hakikat dan kesukaan
kepada bahasa isyarat kalangan shufiyyah. Sementara metode yang ditempuh
al-Maziri adalah berfokus (jumud) kepada ungkapan yang lahir dan menjadikannya
sebagai pijakan. Semuanya baik, alhamdulillah. Hanya saja perbedaan kedua
metode ini menyebabkan berbedanya mizaj (mood) masing-masing mereka dan
berjaraknya hati. Ditambah dengan berbedanya mazhab keduanya (al-Ghazali
bermazhab Syafi’i sementara al-Maziri bermazhab Maliki).”

Tampak dalam jawaban ini, Imam as-Subki mencoba
menemukan benang merah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pandangan antara
kedua imam, dengan tetap menghormati keduanya dan tidak merendahkan siapapun.

Hal senada beliau sampaikan ketika menjawab kritikan
Imam Ibnu ash-Shalah :

ولا ينكر فضل الشيخ تقي الدين وفقهه وحديثه ودينه وقصده
الخير ولكن لكل عمل رجال

“Kemuliaan, keutamaan, kefaqihan, keahlian dalam hadits,
ketaatan dan niat baik Syekh Taqiyyuddin (Ibnu Shalah) tidak diragukan lagi.
Namun setiap bidang ada tokohnya masing-masing.”

Demikian juga yang disampaikannya tentang Imam
al-Maziri: “Ketinggian ilmu al-Maziri tidak diragukan lagi. Tapi sesuatu yang
tidak diketahui secara baik, tidak dirasakan dan tidak didalami, wajar jika ada
yang mengingkari. Setiap orang hanya bisa beradaptasi dengan sesuatu yang
sesuai dengan kebiasaannya dan dalam kadar yang diketahuinya.”

***

Sudah bukan rahasia lagi bahwa di antara pihak yang
paling sering memperingatkan kitab Ihya’ Ulumiddin ini adalah sebagian
kalangan salafi. Bahkan di sebagian tempat, kajian kitab ini diwanti-wanti,
atau bahkan dijegal. Alasannya tidak jauh beda dengan dua hal pokok di atas ;
warna tasawuf yang sangat kental dalam kitab Ihya’ dan sebagian
hadits-haditsnya yang dhaif dan maudhu’ (palsu).

Terkait hal pertama, dari penjelasan Imam as-Subki di
atas bisa ditangkap bahwa memang ada perbedaan pendekatan antara Imam al-Ghazali—yang
lebih cenderung kepada tasawuf dan hakikat—dengan pendekatan fuqaha (ulama
fikih) dan muhadditsin (ahli hadits) yang lebih cenderung kepada hal-hal yang
tampak (zhawahir). Berbedanya metodologi dan pendekatan tentu berdampak kepada
berbedanya natijah dan kesimpulan.

Terkait hal kedua, para ulama sudah men-takhrij dan
menjelaskan status hadits-hadits yang terdapat di dalam kitab Ihya’. Seperti
yang dilakukan Imam Tajuddin as-Subki dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah al-Kubra
dan Imam al-‘Iraqi yang secara khusus men-takhrij dan menghukumi hadits-hadits
dalam Ihya’ dengan karyanya yang sangat masyhur : al-Mughni ‘an Haml
Asfar. Dengan demikian, pembaca kitab Ihya’ bisa mengetahui dengan mudah
mana hadits yang bisa diterima dan mana yang mesti ditolak.

***

Terlepas dari itu, kalau kita melihat komentar para
ulama yang menjadi rujukan kalangan salafi, kita akan melihat komentar yang
lebih moderat dan objektif.

Imam Ibnu Taimiyyah ketika ditanya tentang kitab Ihya’
Ulumiddin
, ia menjawab:

وأما ما في (الإحياء) من الكلام في المهلكات مثل الكلام
على الكبر والعجب والرياء والحسد ونحو ذلك فغالبه منقول من كلام الحارث المحاسبي
في الرعاية ، ومنه ما هو مقبول ومنه ما هو مردود ومنه ما هو متنازع فيه ، و
الإحياء فيه فوائد كثيرة ؛ لكن فيه مواد مذمومة فإنه فيه مواد فاسدة من كلام
الفلاسفة تتعلق بالتوحيد والنبوة والمعاد

 “Adapun
pembahasan tentang al-muhlikat (hal-hal yang membinasakan) yang terdapat dalam
kitab al-Ihya’ seperti pembasan tentang sombong, ujub, riya, hasad dan
sebagainya, maka sebagian besarnya dinukil dari al-Harits al-Muhasibi dalam
kitab ar-Ri’ayah. Di antaranya ada yang diterima, di antaranya ada yang
ditolak, dan di antaranya ada yang diperselisihkan. Di dalam kitab al-Ihya’
banyak faidah, tetapi di dalamnya juga ada materi-materi yang berbahaya, karena
di dalamnya mengandung ucapan para filosuf yang berhubungan dengan tauhid,
kenabian dan hari akhir.”

Ia melanjutkan :

وفيه أشياء من أغاليط الصوفية وترهاتهم ، وفيه مع ذلك من
كلام المشايخ الصوفية العارفين المستقيمين في أعمال القلوب الموافق للكتاب والسنة
، ومن غير ذلك من العبادات والأدب ما هو موافق للكتاب والسنة ما هو أكثر مما يرد
منه ، فلهذا اختلف فيه اجتهاد الناس وتنازعوا فيه

“Di dalam kitab Ihya’ ada beberapa hal kesalahan
dan turrahat kalangan shufi. Tapi di dalamnya juga terdapat perkataan masyayikh
shufi yang ‘arif (mengenal Allah), istiqamah dalam masalah hati dan sejalan
dengan al-Quran dan Sunnah. Di dalamnya juga mengandung pembahasan tentang
ibadah dan adab yang sesuai dengan al-Quran dan Sunnah, dan itu lebih banyak
dari yang tidak sesuai. Karena itulah pandangan (ijtihad) manusia berbeda-beda
dalam menilainya.”

Imam adz-Dzahabi; salah seorang murid Ibnu Taimiyyah
yang juga rujukan salafi, setelah menukil berbagai kritikan terhadap Imam
al-Ghazali, berkata:

فرحم الله الإمام أبا حامد، فأين مثله في علومه وفضائله،
ولكن لا ندعي عصمته من الغلط والخطأ، ولا تقليد في الأصول

 “Semoga Allah
merahmati Imam Abu Hamid. Di mana bisa ditemukan tokoh seperti dirinya dalam
keilmuan dan keunggulan. Tapi kita tidak mengatakan ia maksum dari kesalahan
dan kekeliruan, dan tidak boleh bertaqlid dalam masalah ushul.”

Hal senada juga disampaikan oleh Imam Taqiyyuddin
as-Subki:

وماذا يقول الإنسان فيه وفضله واسمه قد طبق الأرض ومن خبر
كلامه عرف أنه فوق اسمه

“Apa yang bisa dikatakan orang tentangnya (Imam
al-Ghazali). Keutamaan dan nama besarnya sudah tersebar ke seantero dunia.
Siapa yang mengkaji ucapannya (karya-karyanya) akan tahu bahwa ia lebih tinggi
dari namanya yang terkenal.”

***

Sah-sah saja kalau ada yang men-tahdzir kitab Ihya’
Ulumiddin
atau mewanti-wanti masyarakat untuk tidak mendengarkan kajian
itu. Tapi, yang namanya permata tidak akan berkurang nilainya ketika tidak ada yang
memungutnya. Justeru orang-orang yang tidak mau memanfaatkannya-lah yang akan
merugi.

Ada baiknya kita renungkan ungkapan Imam Tajuddin
as-Subki ini:

هو من الكتب التي ينبغي للمسلمين الاعتناء بها وإشاعتها
ليهتدي بها كثير من الخلق وقل ما ينظر فيه ناظر إلا وتيقظ له فى الحال

“Kitab Ihya’ termasuk kitab yang seyogyanya
dikaji oleh kaum muslimin dan disebarluaskan agar banyak orang yang mendapatkan
hidayah melaluinya. Jarang orang yang mengkaji kitab Ihya’ (dengan niat
yang benar) kecuali ia akan ‘terjaga’ saat itu juga.”

Imam Murtadha az-Zabidi yang tidak diragukan keilmuannya
dalam berbagai bidang, pengarang kitab Tajul ‘Arus dan kitab-kitab lain yang
sangat bermanfaat, ketika akan mensyarahkan kitab Ihya’, ia berkata:

وأنى لمثل العاجز القاصر عن تساجله وحسبي أن أقف لهذا
البحر عند ساحله

“Mana mungkin orang lemah dan serba kekurangan seperti
diriku bisa memadaninya. Tapi cukuplah bagiku bisa berdiri di pantai dari
lautan yang luas ini.”

Sebagai kesimpulan, kita kutip ungkapan Imam Taqiyyuddin
as-Subki berikut ini:

وإذا كان فى الإحياء أشياء يسيرة تنتقد لا تدفع محاسن
أكثره التي لا توجد فى كتاب غيره وكم من منة للغزالي

“Meskipun di dalam Ihya’  terdapat beberapa hal
yang dikritik tapi ini tidak mungkin menutupi keunggulan-keunggulannya yang
tidak terdapat dalam kitab yang lain. Betapa banyak jasa Imam al-Ghazali.”

رحم الله الإمام حجة الإسلام أبا حامد الغزالي ونفعنا
بعلومه فى الدارين ، آمين

Kontributor

  • Yendri Junaidi

    Bernama lengkap Yendri Junaidi, Lc., MA. Pernah mengenyam pendidikan di Perguruan Thawalib Padang Panjang, kemudian meraih sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Diniyyah Puteri Padang Panjang.