Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah unik shalat tarawih dalam sejarah; bocil jadi imam

Avatar photo
26
×

Kisah unik shalat tarawih dalam sejarah; bocil jadi imam

Share this article

Sebagaimana lazimnya berbagai praktek ibadah dan berbagai ritual lain dalam agama Islam, shalat Tarawih mengalami banyak sekali dinamika dalam prakteknya. Mulai dari perdebatan panjang mengenai jumlah rakaat yang mesti dijalankan hingga yang paling mutakhir perihal praktik Tarawih kilat yang sedang ramai diperbincangkan.

Shalat Tarawih sendiri merupakan salah satu amalan utama di bulan Ramadhan. Rasulullah sendiri sangat menganjurkan umatnya untuk melakukan dan melanggengkan ibadah ini, mengingat shalat Tarawih ini merupakan shalat yang khusus hanya berada di bulan Ramadhan.

Dalam prakteknya  Rasulullah tidak setiap malam shalat berjamaah Tarawih bersama sahabat di masjid. Seringkali Rasulullah shalat sendiri di kediaman beliau, sebagaimana diceritakan dalam berbagai riwayat hadits. Mengenai jumlah rakaat, Rasulullah pun tidak secara sharih dan jelas menjelaskan. Hal inilah yang kemudian menjadi pangkal perdebatan.

Akan tetapi di balik semua itu, hikmah yang bisa diambil adalah andaikata Rasulullah selalu melakukan Tarawih bersama sahabat, dikhawatirkan Tarawih ini akan dikira wajib.

Seiring berjalannya waktu, Tarawih yang dilakukan  masyarakat muslim kemudian memunculkan banyak sekali kisah-kisah unik. Di antara fragmen tersebut adalah praktek Tarawih di sekitar Masjidil Haram pada akhir abad 6 hijriah. 

Secara umum pada masa itu Masjidil haram dipenuhi dengan para imam dari berbagai mazhab. Semua mazhab membuat jamaah tersendiri dalam melakukan Tarawih. Masing-masing melakukan Tarawih sesuai pendapat mazhabnya sendiri-sendiri tanpa saling mengintervensi satu sama lain. Mereka beribadah secara berdampingan. Hal yang membuat Masjidil Haram tampak semarak pada Ramadhan kali itu.

Namun, di balik semua itu ada hal unik yang mesti anda tahu. Dalam buku catatan perjalanannya Rihlah Ibnu Jubair, seorang geografer Muslim Ibnu Jubair ketika sedang menjalankan ibadah haji pada tahun 579 H mencatat salah satu tradisi unik di sekitar Masjidil Haram setiap malam-malam ganjil di akhir bulan Ramadhan.

Pada malam-malam itu, secara bergantian penduduk Mekah yang mempunyai anak yang telah khatam menghafalkan al-Quran mengadakan walimah atau perayaan. Ada yang dihelat secara mewah dan tak sedikit dengan acara sederhana. Para ulama setempat serta tokoh masyarakat diundang.

Biasanya anak yang khatam menjadi imam Tarawih, kemudian setelah itu dilanjutkan mengkhatamkan al-Quran, lantas sang anak yang khatam al-Quran naik ke mimbar untuk memberikan ceramah. Hal ini adalah sebuah bentuk penghormatan kepada sang anak.

Menurut catatan Ibnu Jubair, pada malam 21 Ramadhan yang khataman adalah salah satu putra asli Mekkah. Pada malam 23 Ramadhan giliran yang khatam adalah anak dari seorang yang terpandang di Mekkah. Umurnya belum genap 15 tahun, namun ia begitu istimewa. Karena ia bukan anak orang biasa, pada malam itu perayaannya sangat mewah. Lentera dan lilin bertebaran di setiap sudut tempat. Gemerlapan cahaya pun semakin melengkapi suasana mengharukan sekaligus menyenangkan malam itu. Jamuan makan pun tersedia sangat bervariatif. Tidak hanya itu, di sekitar pintu Bani Syaibah (salah satu pintu Masjidil Haram) juga dipasang semacam mihrab dari kayu yang elegan. Tak lupa dengan berbagai ornamen dari lilin dan lentera yang menghiasinya.

Seperti biasa sang anak kemudian menjadi Imam Tarawih kemudian mengkhatamkan al-Quran lantas. Pada malam itu masih menurut catatan Ibnu Jubair jamaah yang mengikuti kegiatan ini sangatlah banyak. Baik pria dan wanita banyak sekali yang antusias melihat acara unik ini. Bahkan ketika sang anak hendak menuju mimbar untuk ceramah, ia agak kesulitan karena saking penuh sesaknya.

Begitu pula pada malam-malam berikutnya, setiap malam ganjil Masjidil Haram saat itu selalu dimeriahkan dengan perayaan khatam al-Quran anak yang sekaligus menjadi salah satu Imam Tarawih.

Pada malam 25 adalah putra dari salah seorang ulama Hanafi, usianya juga belum genap 15 tahun. (Abul Hasan Muhammad bin Ahmad ibn Jubair, Rihlah Ibnu Jubair, (Beirut: Darul Kutub Ilmiyyah, 2003) hal: 119-124)

Adat kebiasaan anak yang hafal al-Quran menjadi imam tampaknya juga masih berlaku ketika zaman Ibnu Hajar al-Asqalani. Sebagaimana diceritakan oleh muridnya As-Sakhawi dalam bukunya; al-Jawahir wa al-Durar fi Tarjamat Syaikh al-Islam Ibn Hajar. pada tahun 785 H, tepatnya ketika Ibnu Hajar genap berusia 12 tahun  ia bersama dengan Zakiyuddin al-Kharubi, seorang pedagang besar yang dipasrahi ayah Ibnu Hajar untuk mengasuhnya berangkat haji bersama. Di Mekkah ternyata Ibnu Hajar yang pada saat itu sudah menamatkan hafalannya diminta untuk menjadi salah satu imam Tarawih, sebagaimana adat kebiasaan yang berlaku.

Sementara itu di belahan bumi lain, tepatnya di Baghdad, Ibnul Jauzi pernah bercerita dalam Muntazham fi Tarikh Muluk pada tahun 394 H Abul Hasan bin Buwaih salah satu pemimpin dinasti Buwaih menunjuk Abul Husein al-Rofa’ dan Abdullah az-Zajjaj untuk menjadi Imam Tarawih. Padahal ketika ditunjuk itu, usia mereka masih belia. Hal tersebut mengingat keduanya memiliki suara yang bagus.Karena suaranya tersebut masyarakat baghdad  (Ibnul Jauzi, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk, (beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah) vol. 14 hal. 44)

Tentunya praktek shalat Tarawih dengan menjadikan anak-anak menjadi imam Tarawih seperti yang telah disebutkan di atas adalah salah satu bentuk penghormatan atas capaian-capaian dan prestasinya agar ia terus terpacu untuk belajar. Selain itu hal tersebut juga bertujuan untuk melatih sang anak agar berani tampil menjadi imam dari masyarakat. Dan itu hukumnya sah-sah saja hukumnya bagi orang baligh bermakmum kepada anak kecil, sekalipun belum baligh. Seperti yang disebutkan oleh An-Nawawi dalam Majmu’ Syarh Muhadzab:

(فرع) في مذاهب العلماء في صحة إمامة الصبي للبالغين: قد ذكرنا ان مذهبنا صحتها وحكاه ابن المنذر عن الحسن البصري وإسحاق ابن راهويه وابي ثور

“[Poin] Menerangkan tentang pendapat mazhab ulama mengenai keabsahan anak kecil menjadi imam orang dewasa. Telah kami sebutkan bahwa di kalangan kami ((Syafi’iyyah) anak kecil boleh menjadi imam dari orang dewasa. Pendapat demikian dikatakan oleh Ibn Mundzir dari Hasan al-Bashri, Ishaq, Ibn Rahaawih dan Abu Tsaur.”

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.