Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah petani yang mengusir kelompok separatis dari Tarim

Avatar photo
32
×

Kisah petani yang mengusir kelompok separatis dari Tarim

Share this article

Tepat 200 tahun yang lalu terjadi ketegangan di kawasan Hadramaut. Sebuah ketegangan dan konflik politik yang dibungkus dengan perbedaan pendapat dalam ilmu akidah. Imbasnya, kelompok separatis meluluh-lantakkan kubah-kubah makam para ulama.

Klaim “keharaman menyembah kubur” menjadi motif mereka untuk melakukan hal tersebut. Ratusan kubah-kubah ulama di kawasan Hadramaut, di kota Mukalla, Syihr, dan sekitarnya harus hancur dan porak-poranda.

Ada hal yang perlu diperhatikan lebih jeli lagi. Di manakah kota Tarim dalam ketegangan politik saat itu? Apa alasan yang mencegah kelompok separatis tidak menghancurkan kubah-kubah makam dari ulama yang berjajar di kota Tarim?

Usai mendirikan kamp-kamp di bibir kota Tarim, kelompok separatis sibuk menyusun startegi guna menjebol pertahanan kuat dari aliansi ulama dan auliya kota itu keesokan hari. Di tengah hal tersebut, mereka dikejutkan oleh kedatangan salah seorang penduduk setempat yang terlihat sebagai petani ladang.

“Wahai sekalian, perihal apakah kalian datang untuk mengusik ketentraman kota Tarim?” tanya petani.

Mereka mengutarakan maksud kedatangan mereka. Kata mereka, “Kami ingin menemui para ulama kota ini, guna berdebat dan berdialog tentang hal-hal yang tidak akan kau ketahui.”

Petani menjawab, “Aku sering menghadiri majelis ulama, dan sedikit mendengar kajian mereka, jika kalian berkenan aku ingin mendengar argumen yang akan kalian ajukan kepada para ulama kami, serta mencoba untuk menjawabnya.”

Mereka terkejut mendengar pernyataan itu. Akhirnya mereka mengutarakan argumen dan pertanyaan mereka kepadanya. Pertanyaan demi pertanyaan mampu terbantahkan oleh jawaban petani. Dia seringkali berkata, “Jika kalian bertanya kepada ulama kami, niscaya mereka akan mengatakan hal yang sama dengan jawabanku.”

Saat masih terjebak dalam rasa takjub bercampur kebingungan, mereka harus tercengang dengan ucapan petani, “Setelah kalian mendapat jawaban atas apa yang kalian mau, biasanya ulama kami akan bertanya balik. Apakah kalian mampu untuk menjawab pertanyaan itu?”

Rasa gelagapan, dan keringat dingin mengucur di setiap mendengar pertanyaan yang menghantam telinga mereka. Mereka tak mampu menjawab, seraya mengakui kealiman petani tersebut.

Mereka berkata, “Jikalau pembantu ulama saja kadar keilmuannya seperti ini,  lantas bagaimana dengan ulamanya?”

Mereka mengibarkan bendera putih tanda putus asa, serta pergi jauh-jauh dari kota Tarim, dan tak berani mengusiknya kembali.

Setelah berhasil diusut, ternyata petani tersebut bukan petani biasa. Ia merupakan salah seorang ulama Tarim yang merangkap menjadi petani ladang. Beliau adalah Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih (cendekiawan dan pemikir dalam berbagai macam disiplin ilmu, khususnya ilmu fikih dan hakikat).

Dia lahir di kota ilmu, Tarim pada tahun 1089 H. Haus dan cinta ilmu sudah terpatri dalam hatinya sedari dini. Saat kanak-kanak ia sudah menghafal al-Quran. Bahkan ia mampu membaca sepertiga  Al-Quran dengan metode al-Qiraat al-‘Asyr (10 Qiraat) di luar kepala di hadapan gurunya, Syekh Abdurrahman bin Abul al-Ghaits al-Madani, dan Syekh Ibrahim bin Muhammad al-Mishri.

Dalam ilmu fikih, kredibilitasnya tak diragukan. Bahkan aliansi ulama, dan para mufti Tarim tunduk pada fatwa dan pendapatnya. Salah satunya Habib Abdullah bin Alwy al-Haddad.

Seringkali Habib Abdullah al-Haddad yang sekaligus gurunya melemparkan pertanyaan jamaah kepadanya. Kemudian dia langsung menuliskan jawaban secara yakin dan percaya diri—tanpa membuka kitab dahulu. Tak ayal bila gurunya pun menjulukinya, “Inilah (bermaksud al-Habib Abdurrahman bin Abdullah bilfaqih) sosok pakar keilmuan di seluruh dunia.”

Kadar keluasan ilmunya bisa dibuktikan melalui karya tulis yang ia karang. Diriwayatkan bahwa ia telah mengarang karya tulis yang mencakup 17 disiplin ilmu, sedang usianya masih di bawah 20 tahun. Dia menulis berbagai macam disiplin ilmu, baik ilmu syariat, ilmu sain, falak, dan lain sebagainya.

Menurut cerita yang penulis dengar dalam kajian bersama al-Munsib Ali bin Abdillah al-Hamid (Dewan Penasehat Majelis Syuro Universitas Imam Syafi’I Hadramaut), suatu ketika salah seorang murid Habib Abdurrahman bilfaqih datang berkunjung, seraya meminta izin kepada sang guru untuk pergi ke salah satu daerah di kawasan India. Anehnya, Habib Abdurrahman mewanti-wanti muridnya bahwa akan terjadi banjir besar di daerah tersebut, serta menyebutkan secara spesifik waktunya.

Atas kuasa Allah ta’ala peristiwa itu tepat dengan prediksi gurunya. Lantas sang murid bertanya, “Wahai guru, hal tersebut kau ketahui melalui kasyf (ilham dan petunjuk Allah), atau melalui ilmu logika dan sains?” Sang guru menetapkan, “Aku ketahui lewat ilmu logika dan sains.”

Tak heran bilamana di saat detik-detik menjelang wafat, beliau memaklumatkan,

ثلاثين علما ما سئلت عنها ولا مسألة واحدة، وتموت بموتي

“30 cabang ilmu ada padaku, yang tak pernah satu pun orang bertanya tentangnya. Hingga (ilmu tersebut) lenyap dengan kepergianku.”

Habib Abdurrahman bin Abdullah bin Ahmad Bilfaqih menghembuskan nafas terakhir pada malam Rabu, 4 Jumadil al-Akhir tahun 1162 H dalam usia 73 tahun. Beliau disemayamkan di kota kelahirannya Tarim, tepatnya di kompleks pemakaman Zanbal. Wallahu ‘Alam bis Showab.

Kontributor

  • Muhammad Fahmi Salim

    Alumni S1 Univ. Imam Syafii, kota Mukalla, Hadramaut, Yaman. Sekarang aktif mengajar di Pesantren Nurul Ulum dan Pesantren Al-Quran As-Sa'idiyah di Malang, Jawa Timur. Penulis bisa dihubungi melalui IG: @muhammadfahmi_salim