Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Ulama yang menulis karya di penjara (3): Ibnu Taimiyah, ulama besar sarat kontroversi

Avatar photo
23
×

Ulama yang menulis karya di penjara (3): Ibnu Taimiyah, ulama besar sarat kontroversi

Share this article

Dalam seri tulisan ketiga ini penulis akan menyajikan satu sosok ulama yang “sedikit kontroversial” dengan beberapa pendapat yang ia.pegang teguh dalam kehidupannya. Dalam beberapa hal, ia dianggap telah keluar dari pakem-pakem dasar yang telah disepakati oleh para ulama.

Akan tetapi di sini mari kita kesampingkan terlebih dahulu persoalan itu. Para ulama tentu kita yakini sangatlah alim. Dalam tulisan ini saya mengajak pembaca agar melihat sisi lain dari kehidupannya. Selalu ada hal baik yang bisa kita petik dan jadikan bahan renungan dari siapa saja. Urusan pendapat mereka dan para penentangnya biar diulas dalam forum dan tulisan lain. Di sini mari kita sama-sama menengok kembali sisi lain dari ulama tersebut untuk kita tiru dalam kehidupan kita.

Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah seorang pemikir Islam dan pembesar dari mazhab Hanbali.  Dia juga merupakan salah satu ulama yang sering dijadikan rujukan oleh kaum salafi wahabi.

Ibnu Taimiyah dikenal sebagai sosok ulama besar yang sarat kontroversi. Banyak sekali ulama semasanya yang memuji kealiman serta kecerdasannya, namun tidak sedikit pula yang menentang dan menolak keras beberapa pendapatnya.

Di antara ulama yang sering mengkritik pemikirannya adalah Taqiyuddin As-Subki dan Ibnu Hajar al-Haitami. Mereka berdua menyoroti beberapa pendapatnya yang dinilai sudah ‘terlampau’ melewati batas. Seperti dalam masalah menziarahi makam Nabi Muhammad dan faham tajsim.

Karena beberapa pendapat dan sikapnya yang ‘anti mainstream’ tersebut Ibnu Taimiyah berulang kali mendapat tantangan keras dari para ulama semasanya. Tidak hanya itu ia juga seringkali keluar masuk penjara. Tak kurang 7 kali ia masuk dalam penjara.

Karena begitu seringnya ia menghuni penjara, Ibnu Taimiyah merasa penjara bukanlah hal yang perlu ditakutkan. Di penjara dia justru masih bisa mengajar para santri, menulis karya dan aktivitas intelektual lainnya.

Suatu ketika ia dikunjungi oleh salah satu muridnya di penjara. Mereka sangat khawatir dengan kondisi gurunya di penjara. Mereka pun berbondong-bondong membesuk.

Di luar dugaan ibnu Taimiyah justru mengatakan hal yang sungguh mengejutkan. Dia sama sekali tidak mengeluh, apalagi merasa sedih. Ia justru bahagia dengan kondisinya saat ini. Hal ini sebagaimana dicatat oleh salah satu muridnya Ibnul Qayyim al-Jauziyyah dalam al-Wabil al-Shoib fi Kalam al-Thoyyib:

 لو بذلت ملء هذه القلعة ذهبًا ما عدل عندي شكر هذه النعمة

“Andaikata saya diberi emas sebanyak penjara ini, tentu tidak akan sebanding dengan syukur atas nikmat ini.”

Ia juga mengatakan:

 ما جزيتهم على ما تسببوا لي فيه من الخير

“Saya tidak akan mampu membalas atas mereka yang telah menyebabkan semua ini, karena banyak sekali kebaikan yang saya dapatkan.”

Menurut Ibnu Taimiyah, kebahagiaan sejati itu tidak terletak di mana seseorang berada. Bukan di mana seseorang bisa mendapat kenikmatan dan berbagai hal yang menyenangkan. Karena semua kebahagiaan itu pada dasarnya lahir dari kelapangan hati dan dada. Di penjara ia tidak merasa terkucil dan terasingkan. Ia selalu bahagia.

أنا جنتي وبستاني في صدري أين رحت فهي معي لا تفارقني، أنا حبسي خلوة وقتلي شهادة، وإخراجي من بلدي سياحة

“Sesungguhnya keindahan surga dan tamannya ada di hatiku, ia selalu bersamaku tak terpisahkan.”

Menurut Ibnu Taimiyah, sebenarnya orang yang terpenjara sebetulnya bukanlah orang yang secara fisik mendekam di balik tahanan. Akan tetapi orang yang terpenjara adalah orang-orang yang hatinya tertutup rapat oleh hawa nafsunya:

المحبوس من حبس قلبه عن ربه تعالى، والمأسور من أسره هواه

“Orang yang terpenjara pada hakikatnya adalah orang yang hatinya terpenjara dari mengenal Allah Swt. Dan orang yang tertawan adalah orang yang ditawan oleh hawa nafsunya.”

Di penjara Ibnu Taimiyah memfokuskan diri untuk menulis. Dia begitu menyadari selama di penjara akan mempunyai waktu yang begitu luang, tidak terganggu dengan apapun. Dia bebas menulis apapun di sini. Mengenai minimnya referensi dan buku di penjara, hal itu bukan menjadi masalah besar, karena kebanyakan semua ilmu sudah memenuhi otak Ibnu Taimiyah. Jadi selama menulis, dia mengandalkan kecerdasan dan ingatan. Hal inilah yang menjadi salah satu keistimewaannya. Sebagaimana dicatat oleh muridnya al-Hafidz Ibnu Abdul Hadi:

مع أنّ أكثر تصانيفه إنما أملاها من حفظه وكثير منها صنفه فى الحبس

“Kebanyakan karangannya ditulis berdasarkan hafalannya. Dan mayoritas kitab tersebut ditulis kala ia di penjara.”

Ibnu Taimiyah juga tipe orang sangat betah menulis. Dalam sehari dia bisa menulis sebanyak apa yang ditulis oleh penyalin naskah selama seminggu. Bisa dibayangkan, bagaimana dia menulis dan mengarang seperti tanpa berpikir, dan sudah di luar kepala. Bahkan melebihi kecepatan menulis seorang penyalin naskah yang pada dasarnya hanya menyalin tanpa berpikir.

Tak heran jika sampai akhir hayat total karya buku Ibnu Taimiyah tak kurang dari 500 judul buku.

Kontributor

  • Ahmad Yazid Fathoni

    Santri, Pustakawan Perpustakaan Langitan, suka menggeluti naskah-naskah klasik.