Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Kisah Syekh Yusuf al-Makassari: Emas Tetaplah Berharga Sekalipun Hancur

Avatar photo
42
×

Kisah Syekh Yusuf al-Makassari: Emas Tetaplah Berharga Sekalipun Hancur

Share this article

Hubungan antara Ulama Nusantara dengan Ulama-ulama di Timur Tengah telah terjadi beberapa abad yang lalu. Tak sedikit yang menceritakan bahwa mata rantai keilmuan  diantara keduanya terjalin kokoh sekalipun berbeda benua, berbeda belahan bumi sekalipun.

Ulama-ulama Nusantara juga tak hanya memiliki tunas-tunas bangsa yang harum di negerinya sendiri, namun bermekar dan berbekas di belahan bumi lain. Adalah Syekh Yusuf al-Makassari, ulama kenamaan yang hidup pada medio abad 17. Kelahiran 3 Juli 1627 M/8 Syawal 1036 H dari keluarga kerajaan Goa.

Syekh Yusuf dikenal oleh penduduk Makassar dengan sebutan Tuanta Samalata (guru kami yang mulia). Usia belianya dihabiskan untuk belajar agama di kawasan sekitar, Kerajaan Gowa. Berguru kepada beberapa ulama kenamaan, seperti Sayed Ba’Alawy Abdullah al-Allamah Thahir di Bontoala dan Syekh Jalaluddin al-Aidit ketika di Cikoang, Sulawesi Selatan.

Namun hasratnya menuntut ilmu sangatlah besar. Ketika usia 18 tahun Syekh Yusuf meninggalkan kampung halamannya untuk menuju ke Mekkah. Sebelum sampai, Syekh Yusuf singgah terlebih dahulu di Banten dan Aceh.

Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah karya Azyumardi Azra disebutkan bahwa kehadiran Syekh Yusuf di Banten diterima oleh masyarakat dengan baik. Banyak yang belajar agama Islam kepadanya. Bahkah, Pangeran Surya (kelak adalah Sulan Ageng Tirtayasa) berkawan baik dengan Syekh Yusuf.

Sedangkan ketika di Aceh setelah dari Banten, Syekh Yusuf  berdialog dengan banyak ulama di Kerajaan Aceh. Setelahnya beliau menuju Mekkah untuk menuntut ilmu sekaligus menunaikan ibadah haji.

Perjalanannya pun dimulai dan singgah di Yaman hingga bertemu Syaikh Abdul Baqi’ dan menerima tarekat Naqsyabandiah. Di Zubaid (Yaman) ia juga menerima ijazah tarekat al-Ba’lawiyah dari Maulana Sayyid Ali. Dari Yaman Syekh Yusuf bertolak ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ia pergi ke Madinah untuk menambah ilmunya. Disini ia memperoleh ijazah tarekat Syattariyah dari Syaikh Burhanuddin Al-Millah bin Syaikh Ibrahim bin Husain bin Syihabuddin Al-Khurdi Al-Madani.

Selanjutnya beliau pergi ke Syam (Suriah) dan berguru kepada Syaikh Abu Al-Barakah Ayyub bin Ahmad Al-Khalwati Al-Quraisy, yang menginisiasinya ke tarekat Khalwatiyyah. Dari sini juga Syekh Yusuf mendapakan gelar Taj Al-Khalwati Hidayatullah.

Perjuangan dan Pengasingannya

Sepulang perjalanan rihlah ilmiahnya dari Haramain, Syekh Yusuf pulang ke Nusantara langsung ke Banten pada tahun 1651 M. Ketika Syekh Yusuf kembali dengan membawa keunggulan keilmuan, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha menahannya untuk tetap di Banten dengan cara menikahkan Syekh Yusuf dengan putrinya. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa dapat mempertahankan reputasi Banten sebagai sebuah pusat pengetahuan dan keilmuan Islam yang penting di Nusantara.

Suatu ketika, ada prahara di kerajaan Banten yang dipicu oleh Kolonial Belanda. Rakyat Banten pun dalam kendali kekuasan Belanda. Saat itulah Syekh Yusuf al-Makassari mengambil peran utama.

Beliau memobilisasi rakyat Banten untuk melawan kesewenang-wenangan Kolonial Belanda. Namun segala taktik yang telah dirancang Belanda membuat Syekh Yusuf al-Makassari akhirnya ditangkap dan mengalami beberapa pengasingan.

Pengasingan pertamanya adalah di Batavia pada September 1684 M. Tidak disangka, ternyata Syekh Yusuf masih memiliki pengaruh terhadap pengikutnya. Membuat Belanda akhirnya mengasingkan beliau ke luar negeri, yakni ke Srilanka. Salah satu tempat pembuangan para tahanan politik saat itu.

Di Srilanka, Syekh Yusuf menyiarkan agama Islam dan juga cukup produktif dalam menghasilkan karya tulis. Ilmu yang dimilikinya mengimplikasi Syekh Yusuf menjadi ulama yang produktif. Pelbagai ilmu dikuasainya. Kepekaan beliau dalam menghasilkan karya sangatlah kuat. Sebagai bentuk penyaluran ilmu, Syekh Yusuf menciptakan karya-karya untuk dipelajari oleh orang-orang di zamannya dan generasi seterusnya. Fan ilmu yang paling menonjol darinya adalah ilmu tasawuf.

Syekh Yusuf al-Makassari juga masih berhubungan dengan masyarakat Nusantara. Lewat jamaah haji asal Nusantara, mereka menyempatkan diri untuk singgah di Srilanka guna mengunjungi guru besar mereka, tabarrukan, dan belajar ilmu darinya.

Kesempatan ini membuat Syekh Yusuf al-Makassari dapat memberikan pesan politik supaya rakyat tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda. Lambat laun hal ini disadari Belanda bahwa pemicu gerakan rakyat terhadap penetrasi kekuasaannya atas Banten adalah seruan dari Syekh Yusuf al-Makassari. Kolonial Belanda pun memindahkannya ke Afrika Selatan.

Ketika di Afrika, Syekh Yusuf tidak seproduktif dulu karena sudah memasuki masa tuanya. Untuk terus mengembangkan dakwahnya, Syekh Yusuf  berdakwah melalui jalan Bi al-Lisan dan juga Bi al-Hal. Pemantapan pendidikan agama di sana membuat nama Syaikh Yusuf al-Makassari dikenal harum oleh masyarakat. Hingga usia senjanya, beliau akhirnya wafat dan dimakamkan di Cape Town, Afrika Selatan pada 23 Mei 1699 M.

Membaca Syekh Yusuf dalam Kacamata Anak Muda

Dari kisah ini dapat diambil banyak ibrah bahwa membaca Syekh Yusuf al-Makassari dalam kaca mata anak muda sangatlah diperlukan. Mengingat anak muda memiliki kondisi yang rentan goyah dengan keadaan. Mudah terombang-ambingkan olehnya hingga mengimplikasi mereka ke arah kenegatifan.

Merenungkan kembali keteguhan Syekh Yusuf al-Makassari dalam berdakwah adalah keharusan bagi kita saat ini. semangat menuntut ilmunya dan menebarkan kebaikan-kebaikan senantiasa Syekh Yusuf al-Makassari lakukan.

Kisah-kisah Syekh Yusuf al-Makassari yang telah terpublikasikan dapat kita baca kembali sebagai refleksi historiografis. Bahwa hidup tak dapat dipisahkan dari tantangan dan perjuangan.

Layaknya emas yang akan terus berharga sekalipun ditempa, dipipihkan, dibakar, bahkan dihancurkanpun. Emas akan tetap bernilai kebaikan meski di buang ke dalam got kotor, pun tak akan mengurangi nilainya. 

Kekokohan yang kita lihat dari Syekh Yusuf al-Makassari dapat menjadi pemantik kita bahwa seharusnya kita tak gampang putus asa di segala medan. Saat Syekh Yusuf al-Makassari mengalami tekanan dari segala permasalahan, beliau tak semudah mungkin menyerah. Tekanan dari problema masyarakat maupun tekanan dari pihak kolonial, alih-alih mendistorsi reputasinya justru Syekh Yusuf al-Makassari tetap memberi pencerahan dan kebermanfaatan kepada siapapun.

Kontributor

  • Achmad Dhani

    Asal Grobogan, Jawa Tengah. Alumnus pesantren Al-Isti'anah Plangitan Pati. Sekarang menjadi mahasantri Mahad Aly Sa'iidus Shiddiqiyah Jakarta.