Scroll untuk baca artikel
SanadMedia
Pendaftaran Kampus Sanad
Kisah

Pesan Abu Musa Al-Asy’ari Menjelang Ajal (Bagian I)

Avatar photo
35
×

Pesan Abu Musa Al-Asy’ari Menjelang Ajal (Bagian I)

Share this article

Kematian adalah batas antara kehidupan duniawi dengan kehidupan ukhrawi. Dalam menjalani kehidupan duniawi, manusia terkadang lupa dengan nikmat hidup yang diberikan Allah kepadanya. Biasanya manusia akan mengingat nikmatnya kehidupan saat ajal sudah di depan mata.

Jika sudah demikian, seringkali nasehat bijak dalam kehidupan secara spontar terlontar dari mulut. Nasehat tersebut menjadi pesan elok untuk memberikan pencerahan bagi mereka yang masih diberikan nafas kehidupan. Hal yang sama pernah dialami Abu Musa Al-Asy’ari.

Dalam kitab Hilyatul Auliyâ’ wa Thabaqatul Ashfiyâ milik Abu Nua’im Al-Ashfahany (w. 430 H), di Juz 1 halaman 262-263, Dhahhak bin Abdurrahman bin ‘Arzab bercerita, “Saat Abu Musa al-Asy’ari dalam kondisi sakaratul maut, ia memanggil para putranya.

Ia lantas berkata pada mereka, “Pergilah dan berpetuanglah kalian semua. Perluaslah pengetahuan serta perdalamlah ilmu yang kalian miliki.”

Mereka seraya menjawab, “Kami telah berjalan jauh wahai ayah. Kami juga telah memperluas serta memperdalam ilmu yang kami miliki.”

Mendengar jawaban mereka, Abu Musa membalas seraya menasehati mereka, “Sesungguhnya kematian menyisakan dua tempat. Pertama, sungguh kuburku akan diluaskan di setiap sisinya hingga 40 hasta. Kemudian dibukakan salah satu pintu surga untukku. Dari situ aku akan dapat menyaksikan secara jelas istri dan rumahku.”

Dalam harapannya, ia berdoa, “Semoga Allah memberiku karamah sehingga aku dapat mencium aroma surga dan aku dapat menyebarkannnya sampai aku dibangkitkan pada hari kiamat nanti.”

Tempat yang kedua, Abu Musa menambahkan, “Bisa jadi kuburku akan menjadi tempat yang sempit sampai aku merasakan lebih sempit dari pada saluran pipa. Kemudian akan dibukakan salah satu pintu neraka untukku.”

“Aku pun akan melihat belenggu-belenggu rantai, air panas yang mendidih dan sungut-sungut serangga yang beracun. Kemudian aku didudukkan dengan bangku yang terbuat dari api neraka sambil menyaksikan rumahku di dunia.

Di saat itu, aku akan terus terkena sengatan serangga beracun dan tumpahan air yang mendidih dari neraka hingga aku dibangkitkan kembali.”

Mengenal Sosok Abu Musa Al-Asyari

Abu Musa adalah salah seorang sahabat Nabi yang berasal dari Yaman. Nama aslinya adalah Abdullah bin Qais bin Sulaim Al-Asy’ari. Ia menyatakan keislamannya beserta serombongan orang dari Yaman sebelum Hijrah.

Ia termasuk golongan assâbiqûnal awwalûn walaupun bukan berasal dari kota Mekkah. Meskipun bertubuh pendek dan kurus, Abu Musa mempunyai suara yang merdu. Ia merupakan salah satu anggota qari Rasulullah yang mampu melantunkan Al-Qur’an hingga menggugah hati para pendengarnya.

Dalam hadisnya, Rasulullah bahkan menyebut Abu Musa pernah diberi Allah salah satu seruling keluarga nabi Daud.

Abu Musa juga termasuk salah satu perawi yang banyak meriwayatkan hadis Rasulullah. Ad-Dzahabi menyebut bahwa Abu Musa adalah seorang ahli hadis dan termasuk kalangan yang melakukan muraja’ah Al-Qur’an secara langsung kepada Rasulullah.

Di antara yang meriwayatkan hadis dari Abu Musa adalah Abu Said Al-Khudri, Abu Umamah Al-Bahili, Buraidah al-Aslami, Abdurrahman bin Nafi’, Sa’id bin al-Musayyab, Zaid bin Wahb dan lainnya.

Di samping itu, di antara rutinitas Abu Musa setelah melakukan peperangan adalah menjadi seorang yang gemar melakukan pertaubatan. Ia memohon ampun seraya menangis kepada Allah. Amalan ini ia lakukan guna menghapuskan dosa-dosa yang dilakukannya, khususnya dalam medan perang.

Pesan-pesan Abu Musa di atas memiliki keterkaitan dengan kebiasaannya memohon ampunan kepada Allah. Hal tersebut menjadi wasiat yang berharga dari dirinya kepada para putranya menjelang ajal.

Yang paling utama adalah putra-putra Abu Musa dididik untuk mencintai ilmu. Bahkan jika itu harus dengan mengelilingi dunia. Sebab dengan ilmu, kebijaksanaan akan muncul dalam berbicara, bersikap dan mengambil setiap keputusan.

Kebijaksanaan Abu Musa dalam menjalani kehidupan tercermin dalam banyak hal. Salah satu sebabnya adalah nasehat Nabi kepada Abu Musa menjelang diutus ke Yaman bersama Mu’adz bin Jabal untuk mengajarkan Islam.

Sebelum berangka, Nabi Muhammad berpesan kepada mereka, “Hendaklah kalian mudahkan, jangan dipersulit. Beri kabar gembira, jangan membuat mereka lari. Saling patuhlah kalian berdua, dan jangan saling bersengketa!”  

Dalam menghadapi kematian, Abu Musa juga menyempatkan waktu untuk memberikan nasehat kepada para penerusnya. Ia menekankan kepada mereka bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti. Pilihan tempat setelah mati hanya ada dua. Satu adalah kubur yang dipenuhi kenikmatan, kedua adalah kubur yang dipenuhi siksaan.

Kegemaran Abu Musa dalam bertaubat menandakan kesiapannya dalam menghadapi kematian. Tanpa harus menunggu instruksi, perintah Allah dan Rasulnya dilakukan dengan kesadaran diri.

Tindakan-tindakan Abu Musa menjadikan pesan-pesannya menjelang kematian sebagai nasehat yang istimewa, baik kepada putra-putranya maupun umat Islam. Sebab pengalaman hidup merupakan guru terbaik yang bisa dijadikan sebagai acuan supaya tidak terjerumus dalam kubangan yang sama.

Bersambung.

Kontributor

  • Andi Luqmanul Qosim

    Mengenyam pendidikan agama di Ta'mirul Islam Surakarta dan Universitas Al-Azhar Mesir. Sekarang aktif sebagai pengajar di Fakultas Syariah IAIN Salatiga dan Guru Agama di SMAN 1 Parakan Temanggung.